Assalamu’alaikum wr. wb.
Ustadz yang dirahmati oleh Allah SWT. Saya mempunyai seorang kakak yang bekerja di salah satu stasiun televisi swasta. Selama ini dia selalu merasa bimbang dengan gaji yang didapat, karena merasa mendukung terhadap berbagai tayangan di televisi yang terkadang lebih banyak mudharatnya daripada manfaatnya. Kakak saya bekerja di situ sebagai teknisinya karena dia seorang sarjana teknik, saya ingin bertanya halalkah penghasilan/gajinya mengingat perkembangan tayangan di pertelevisian saat ini sangat mengkhawatirkan dan banyak yang tidak mendidik?
Terima kasih atas perhatiaannya, mohon maaf bila ada yang kurang jelas dan mohon jawabannya segera. Terima kasih.
Wassalam,
Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Berhati-hati dalam menjalankan agama memang sangat baik. Demikian juga bersikap wara’ terhadap rizki yang kita terima, memang sangat dianjurkan.
Bekerja di sebuah perusahaan yang produknya haram, sehingga penghasilan utama perusahaan itu memang semata-mata dari sumber yang haram, memang hukumnya haram. Sebab secara langsung akan terkena larangan dari Allah SWT untuk tidak saling tolong dalam dosa dan permusuhan.
Allah SWT telah berfirman:
وَتَعَاوَنُواْ عَلَى الْبرِّ وَالتَّقْوَى وَلاَ تَعَاوَنُواْ عَلَى الإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ وَاتَّقُواْ اللّهَ إِنَّ اللّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ
Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya. (QS. Al-Maidah: 3)
Misalnya bekerja di perusahaan yang bergerak di bidang pelacuran, atau mengelola tempat-tempat maksiat, atau usaha pengedaran narkoba, jual beli manusia (trafiking), mafia kejahatan dan seterusnya, maka semua itu memang diharamkan oleh ayat di atas.
Karena meski tidak secara langsung melakukan kejahatan dan dosa, tetapi bekerja di dalam perusahaan itu sama saja dengan memberikan darah segar, tenaga ektra atau vitalitas tersendiri di dalam maksiat kepada Allah SWT. Mengingat usaha seperti itu memang jelas-jelas haramnya.
Apakah Stasiun TV itu Maksiat?
Sebenarnya televisi adalah teknologi yang bebas nilai. Tergantung siapa yang menggunakannya. Kalau yang menggunakannya Hitler untuk kampanye idealisme facisme-nya, atau para gembong penjahat tak bermoral yang melancarkan usahanya, maka TV itu adalah kejahatan dan kemaksiatan.
Namun bila yang menggunakannya orang-orang bermoral yang menyiarkan hal-hal yang bermanfaat, mininal tidak ada unsur maksiat, syirik, dosa dan fitnah, maka TV itu menjadi media kebaikan.
Dalam kenyataannya, selama ini nyaris belum kita temukan TV yang isinya 100% maksiat dan dosa, sebagaimana tidak yang isinya 100% kebaikan semua. Nilai-nilai keburukan dan kebaikan saling berebut tempat di dalam setiap stasiun TV. Kesuksesan masing-masing sangat ditentukan oleh orang yang mendukungnya di dalam tiap stasiun TV.
Kalau orang-orang di dalam sebuah stasiun TV lebih banyak dan lebih dominan dari kalangan yang baik-baik, maka acara yang buruk dan merusak biasanya sangat minimal. Sebaliknya, kalau didominasi oleh para pendosa, isinya pun akan didominasi oleh maksiat dan kemungkaran.
Tinggal bagaimana posisi kita sekarang ini, apakah kita akan tinggalkan semua stasiun TVyang berbau maksiat begitu saja, lalu mendirikan TV Islam sendiri? Ataukah kita masih berpikir untuk melakukan ‘Islamisasi’ dari dalam tubuh?
Idealnya, umat Islam memang harus punya TV sendiri, bahkan bukan hanya satu buah, minimal 10 buah stasiun. Mengingat luas wilayah negeri ini dan jumlah umat Islam terbesar di dunia ada di negeri ini.
Tapi jangankan sepuluh, satu pun kita tidak punya. Cita-cita yang ideal memang harus selalu didengungkan, namun selama belum terwujd bukan berarti kita berpangku tangan diam saja. Semua upaya ke arah penguasaan teknologi pertelevisian harus dimiliki oleh umat Islam. Dan salah satu tempat pelatihan yang paling utama adalah bekerja pada stasin televisi, baik sebagai redaksi, teknisi, kru atau bagian lainnya.
Semua itu dilakukan hingga suatu saat nanti umat Islam berkesempatan punya stasiun TV sendiri, lalu saat itu kita sudah punya SDM yang berpengalaman di bidangnya, tidak lagi meraba-raba.
Di sisi lain, rasanya juga kurang tepat kalau kita memvonis bahwa semua stasiun TV itu 100% berisi maksiat. Banyak program yang baik-baik, meski tidak harus selalu program dakwah dan agama. Berita, dialog, beberapa jenis film atau bahkan beberapa jenis tayangan ringan, banyak yang masih boleh dibilang baik. Tentu kriterianya masih perlu didiskusikan lagi.
Mengapa kita tidak berpikir untuk meningkatkan kuantitas program yang baik dan bermanfaat? Atau meningkatkan kualitas program yang sudah ada sehingga menjadi lebih baik. Berdasarkan sebuah kaidah: Malaa yudraku kulluhu la yutraku julluhu (sesuatu yang tidak bisa didapat semuanya, tidak harus ditinggalkan semua).
Wallahu a’lam bishshawab, wassalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Ahmad Sarwat, Lc.