Assalamu’alaikum Wr. Wb
Ust. Mau tanya neh….PNS (pegawai negeri sipil) sekarang kan banyak diminati, tapi saya belum yakin apakah gaji rutin perbulan dari PNS itu halal?
Memang gaji PNS didapat mereka karena jasa yang mereka lakukan untuk melayani masyarakat. Masalahnya gaji yang dibayarkan untuk PNS kan berasal dari pendapatan negara, sedangkan pendapatan terbesar negara di dapat dari pajak yang di ambil dari masyarakat.
Masalahnya ga semua pajak datang dari jalan yang halal. Banyak dari pajak itu di ambil dari pajak-pajak tempat hiburan, bar, diskotik dll. jadi menurut ust. Atau ijtihad para ulama yang ust. Ketahui bagaimana seh status kehalalan gaji PNS/ pejabat negara?
Jazakumullah Khair
Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Seandainya logika yang anda gunakan itu kita jalankan, yaitu kita menganggap bahwa gaji PNS haram lantaran pendapatan negara ada yang bersumber dari yang haram, karena memungut pajak dari yang haram, maka ada banyak masalah yang muncul nantinya.
Kalau uang negara hukumnya haram, maka semua yang dilakukan negara juga haram. Bukankah begitu logikanya?
Nah, kalau semua uang negara haram, maka akan ada begitu banyak kegiatan dan fasilitas yang menjadi haram hukumnya, tidak terbatas pada gaji PNS saja.
Terpikirkah oleh kita bila memang logika itu yang digunakan bahwa listrik itu haram kita gunakan, karena listrik itu dibiayai negara lewat PLN. Artinya, semua lampu di negara ini haram, karena listriknya dibiayai negara.
Dan bukan hanya lampu yang haram, tetapi mesin cuci, setrika, TV, radio, komputer, kulkas, tape, VCD, kamera, telepon, hp, faksimile, microwave, mesin potong rumput, sampai pemanas air juga tidak boleh digunakan. Karena semua hanya bisa hidup kalau pakai listrik. Dan listrik di negeri ini masih disuplai PLN. PadahalPLN disubsidi dari uang negara.
Kita tidak bisa membayangkan sebuah negara tanpa listrik. Dan anda tidak bisa mengirim pertanyaan ke Eramuslim kalau tidak pakai listrik, bukan?
Selain listrik, semua kendaraan bermotor, mulai dari sepeda motor, mobil, bus kota, kereta api, pesawat terbang, kapal laut juga haram ditumpangi. Mengapa? Karena semua kendaraan itu menggunakan bahan bakar yang dibiayai atau disubsidi oleh negara.
Kalau semua uang negara haram, jika masih bersikeras menggunakan logika di atas, seharusnya semua kendaraan bermotor haram ditumpangi, bukan?
Bahkan kita pun tidak boleh berjual beli dengan menggunakan uang rupiah, karena uang sebagai alat tukar dibuat oleh negara, dalam hal ini Bank Indonesia dan Peruri. Kesemuanya dibiayai oleh negara. Kalau semua uang negara haram, maka haram pula berjual beli dengan menggunakan uang rupiah.
Intinya, kita mustahil hidup di negeri ini. Karena kita sudah menuduh bahwa negara ini hidup dari uang haram.
Lalu kita mau pindah ke mana?
Ke Arab? Atau ke Afghanistan?
Ternyata di sana sama saja. Negara arab pun banyak berdagang dengan yahudi. Saudi Arabia banyak berkolaborasi dengan Amerika dan Eropa. Bahkan sebagian besar uang orang arab itu malah diparkir di bank-bank Amerika dan Eropa. Tentunya ada bunganya, bukan? Bukankah bunga itu haram?
Sementara negeri arab pun membangun sarana dan prasarana dengan keuangan mereka, tentunya juga dari bunga ribawi.
Maka logikanya, kita pun haram tinggal di negeri arab, karena uang mereka pun haram juga, kalau menggunakan logika di atas. Bukankah begitu?
Maka satu-satunya jalan, kita harus pindah ke bulan. Karena di sana tidak ada uang haram. Tapi masalahnya, di sana juga tidak ada sarana penunjang kehidupan. Setidaknya di sana tidak ada oksigen. Berarti harus beli. Eh, ternyata yang jual juga orang kafir yang duitnya didapat dengan cara yang haram.
Mungkin meninggal adalah salah satu cara terakhir yang paling mudah. Tapi kain kafan dan mobil jenazahnya buatan orang kafir.
Bayangkan, kalau logika yang anda sampaikan di atas mau secara konsekuen dijalankan, jangankan hidup, mati saja susah.
Maka dari semua hal di atas, rasa-rasanya yang perlu diperbaiki adalah logika berpikirnya. Bahwa sesuatu yang haram sebenarnya tidak bersifat menular. Dan dalam Islam tidak ada dosa turunan, sebagaimana juga tidak ada istilah haram turunan.
Kalau pemerintah negeri ini memungut pajak dari dunia hiburan dan maksiat, kita tidak bisa mengatakan bahwa semua uang milik negara ini ‘tertular’ keharamannya. Yang haram adalah sikap mengizinkan tindakan haram dan maksiat, bukan uangnya. Uang tidak pernah berstatus haram. Yang ada hanya istilah uang yang didapat dengan jalan haram. Yang haram adalah jalannya, bukan bendanya.
Seandainya ada maling membeli bensin di sebuah pom bensin, apakah semua uang yang dimiliki oleh pom bensin itu lantas menjadi haram? Dan apakah keharaman menular ke semua bensin sehingga akhirnya keluar vonis bahwa haram hukumnya membeli bensin di pom bensin itu?
Maka kesimpulan sederhananya, sebelum membuat logika fiqih, sebaiknya kita belajar dulu ilmu ushul fiqih, agar kita tidak menjadi pembuat fatwa dadakan. Kalau mendadak menjadi penyanyi dangdut, mungkin orang maklum. Tetapi bikin fatwa tidak bisa mendadak.
Wallahu a’lam bishshawab, wassalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Ahmad Sarwat, Lc