Assalamu’alaikum wr. wb.
Mohon bantuan Pak Ustaz,
Saya bekerja di sebuah perusahaan BUMN yang menyediakan pinjaman bagi karyawan yang ber-masa kerja minimal 5 tahun, untuk kepemilikan rumah maupun kendaraan bermotor. Dalam klausul perjanjian dijelaskan bahwa karyawan peminjam akan dibebani "biaya administrasi" berupa bunga yang rendah jauh di bawah bunga kredit yang berlaku di pasar. Prosedurnya adalah karyawan mengajukan permohonan dan bila syarat terpenuhi maka karyawan akan dipinjami uang untuk membeli rumah/kendaraan yang harus dikembalikan secara mengangsur. Apakah ini termasuk praktek riba?
Bila jawabannya adalah ‘ya’ maka apabila insya Allah prakteknya dapat saya ubah dengan mengatasnamakan perusahaan saya sebagai pembeli dalam transaksi pembelian rumah/kendaraan dan kemudian perusahaan menjualnya kepada saya yang pembayarannya dilakukan dengan angsuran, sudah dapat dianggap sebagai transaksi yang syar’i yaitu murabahah?
Jazakallah khairan katsira..
Wassalam,
Assalamu ‘alaikum warhmatullahi wabarakatuh,
Kalau menilai dua contoh kasus di atas, maka pada kasus yang pertama memang telah terjadi riba. Sebab esensi transaksinya adalah pinjaman uang dengan kewajiban pengembalian plus bunganya.
Sedangkan pada kasus yang kedua, bisa dikatakan transaksi yang halal dan dibenarkan syariah. Sebab esensi transaksinya bukan pinjam uang tetapi jual beli. Di mana perusahaan menjual rumah atau kendaraan kepada anda dengan harga yang disepakati dan cara pembayaran cicilan.
Tapi ada syaratnya, terutama adalah bahwa perusahaan tidak boleh mengeluarkan dalam bentuk uang tunai kepada anda. Sebab bila demikian, maka tetap saja judulnya pinjam uang dengan bunga.
Maka kalau pun seandainya perusahaan tidak punya source dalam pengadaan barang dan terpaksa menggunakan jasa anda, tetap masih dimungkinkan, tetapi harus ada dua transaksi yang berbeda dan terpisah.
Pertama adalah transaksi penggunaan jasa anda untuk pengadaan barang. Bentuknya, perusahaan boleh meminta tolong kepada anda untuk menjadi wakil perusahaan dalam pengadaan barang (membelikan barang). Tapi harus dipastikan bahwa posisi anda bukan sebagai pihak yang membeli, tetapi sebagai ‘orang suruhan’ pihak perusahaan. Maka dalam semua dokumen pembelian dan sebagainya, harus jelas tercantum nama kedua belah pihak, di mana perusahaan sebagai pembeli dan pihak kedua sebagai penjual.
Anda tidak perlu memegang uangnya, sebab dalam pembelian itu, perusahanaan akan langsung mentransfer uangnya kepada pihak yang menjual (produsen) mobil. Keberadaan anda hanya sebagai perwakilan dalam masalah memilih jenis mobil, negosiasi harga serta membantuk pengurusan semua dokumen. Tapi transaksi tetap antara perusahaan anda dengan produsen mobil.
Setelah lengkap dan paripurna transaksi yang pertama ini, kemudian barulah transaksi yang kedua dimulai, yaitu perusahaan menjual kembali rumah atau kendaraan itu kepada anda, di mana kali ini anda adalah pembeli dan perusahaan adalah penjual.
Dalam pada itu, perusahaan berhak memark-up harga. Dari harga belinya dinaikkan beberapa persen ketika barang itu dijual kepada anda. Misalnya, perusahaan membeli mobil secara tunai seharga 200 juta. Kemudian perusahaan menjual kembali mobil itu kepada anda seharga 300 juta. Itu boleh dan halal.
Pembayaran dari pihak anda boleh dengan tunai dan boleh dengan kredit. Kalau dengan kredit, maka anda boleh mencicil tiap bulan sebesar harga cicilan yang anda sepakati dengan pihak perusahaan.
Meski sekilas terkesan mirip, tapi kedua kasus di atas secara esensi sangat berbeda. Yang pertama haram sedangkan yang kedua halal. Subhanallah…
wallahu a’lam bishshawab, wassalamu ‘alaikum warhmatullahi wabarakatuh,
Ahmad Sarwat, Lc.