Assalamu ‘alaikum wr. wb.
Pak Ustadz, saya mau menanyakan bagaimanakah sistem perdagangan yang sesuai syariah Islam? Jika saya mempunyai teman yang memayungi beberapa pengrajin, kemudian dia meminta saya untuk ikut menjualkan kerajinan hasil dari pengrajin yang dipayunginya itu. Bagaimana sebaiknya sistem jual belinya?
Apakah dia menetapkan suatu harga dan menyerahkan pada saya harga yang akan saya jual ke konsumen? Ataukah dia menetapkan suatu harga untuk dijual ke konsumen dan saya diberikan sejumlah komisi?
Saya pernah mendengar bahwa jika komisi untuk si penjual dibebankan pada harga barang, maka itu tidak diperbolehkan dalam Islam. Namun bagaimana mengimplementasikannya, jika harga suatu barang pastilah merupakan gabungan dari biaya produksi dan biaya penjualan (misalnya promosi, dll.)?
Satu lagi pak, bagaimana hukum pemakelaran dalam Islam?
Mohon penjelasannya Pak. Terima kasih.
Wassalamu ‘alaikum.
Assalamu `alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Keduanya boleh-boleh saja dilakukan, yang sejak awal sudah disepakati sebelumnya. Komisi yang dibebankan pada harga barang tidak menjadi masalah. Asalkan prosesnya bukan dalam jual beli yang tidak pilihan lain. Tapi jual beli yang bebas.
Contoh yang haram adalah dalam mafia pertanahan, di mana para calo tanah untuk suatu wilayah yang akan mendapatkan ganti rugi sudah mematok harga tertentu. Padahal anggaran yang disediakan oleh pembeli tanah sebenarnya jauh lebih tinggi. Dengan adanya calo tanah ini, akhirnya warga pemilik tanah hanya mendapatkan ganti rugi yang sangat kecil, tidak layak dengan nilai tanah seharusnya. Inilah yang dimaksud dengan haramnya membebankan biaya komisi kepada harga barang.
Adapun dalam jual beli yang bebas seperti alat rumah tangga, di mana konsumen tidak terikat dengan keharusan membeli, lalu salesman mengambil untuk dari alat rumah tangga yang ditawarkan, tentu saja tidak mengapa. Calon konsumen bebas memilih dan tidak terpaksa harus beli. Kalau harganya cocok, dia beli. Tapi kalau harganya dirasa terlalu mahal akibat salesnya mengambil untung terlalu banyak, tidak usah dibeli saja.
Pemakelaran dalam Islam
Dalam bahasa Arab, istilah makelar disebut dengan simsar. Dan kerja makelar disebut simsarah.
Para ulama memandang secara umum bahwa simsarah itu adalah halal. Sebab dia telah berjasa dalam rangka menjualkan barang kepada pihak lain. Bila tidak ada simsar, bisa jadi barang itu tidak laku-laku terjual.
Dalam shahih bukhari disebutkan bahwa Ibnu Sirin, Atho`, Ibrahim dan Al-Hasan memandang bahwa samsarah itu adalah hal yang tidak ada masalah dengannya.
Dan Ibnu Abbas ra. berkata bahwa tidak mengapa seseorang berkata kepada temannya,"Juallah barangku ini, bila kamu bisa menjaul dengan harga sekian dan sekian, maka lebihnya untukmu."
Ibnu Sirin sendiri mengatakan bahwa bila seseorang berkata kepada temannya, "Juallah barang ini dengan harga sekian," tapi kalau dia berhasil menjual di atas harga itu, maka kelebihannya boleh dimilikinya.
Sedangkan secara umum, kebolehan simsarah itu sebagaimana sabda Rasulullah SAW, "Seorang muslim itu terikat kepada syarat yang telah disepakatinya."
Sedangkan yang diharamkan adalah praktek-praktek yang merugikan seperti mafia tanah yang sering juga disebut makelar. Kerja mereka adalah memborong tanah penduduk dengan harga semurah-murahnya dan terkadang dengan pemaksaan, intimidasi, gangguan dan seterusnya.
Sebab mereka tahu bahwa tanah di sekitar wilayah itu akan dibangun proyek tertentu. Maka bermunculanlah para makelar dan mafia tanah mengambil keuntungan sebesar-besarnya dari proyek itu. Dan tentunya negara dirugikan karena tanah yang semula dihitung dengan harga yang wajar, tiba-tiba naik hingga berkali lipat.
Atau seperti yang dilakukan oleh para calo tiket. Pada dasarnya membel tiket resmi untuk dijual lagi dengan mengambil keuntungan boleh-boleh saja asal rela sama rela dan tidak merugikan pihak konsumen. Misalnya, dari pada capek antri dan belum tentu kebagian, seseorang mengupah orang lain untuk antri di loket dan untuk jasanya itu, orang itu mendapatkan upah. Inilah argumen pembenaran yang selalu dijadikan tameng oleh para calo tiket itu.
Namun disisi lain, yang terjadi adalah semua tiket habis diborong para calo sehingga harga yang seharusnya terjangkau calon penumpang menjadi naik berkali lipat. Tentu saja ini merupakan tindak yang merugikan konsumen, karena mereka diharuskan untuk membayar lebih. Maka dalam contoh kasus ini, calo tiket mengambil kesempatan dalam kesempitan orang lain. Ini contoh bentuk kemakelaran yang merugikan orang lain.
Wallahu a`lam bishshawab, wassalamu `alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Ahmad Sarwat, Lc.