Assalamualaikum Wr. Wb.
Ustadz, apa yang dimaksudkan aqad ganda?
Misalnya saya membuka usaha kredit barang dengan harga yang disepakati di muka, kemudian dicicil 10 kali. Saya juga menawarkan yang saya sebut dengan ‘refund kredit lancar’ sebesar 1% bagi pelanggan yang membayar cicilan dengan lancar. Misalnya harga barang tersebut 3 juta, dan dicicil 300 ribu per bulan.
Saya sertakan jaminan 1% dari harga 3 juta tersebut, jika pelanggan membayar cicilannya dengan lancar dan tepat waktu, maka jaminan tersebut saya kembalikan sebesar 1% x 300rb x 10=30.000 kepada pelanggan.
Tetapi jika kreditnya macet dan waktu pembayarannya terlambat, maka jaminan tersebut tidak saya kembalikan. Apakah yang seperti ini termasuk aqad ganda yang dilarang oleh Islam?
Karena saya pernah mendapat penjelasan bahwa di dalam transaksi tidak boleh ada dua aqad sekaligus.
Mohon penjelasannya.
Wassalamualaikum. Wr. Wb
Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Rasulullah SAW memang pernah bersabda yang intinya melarang dua jual beli dalam satu jual beli. Atau dalam bahasa arab disebut bai’ataini fi bai’atin.Biar lebih mudahnya, kami sertakan teks haditsnya dalam bahasa arab.
وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ: نَهَى رَسُولُ اَللَّهِ عَنْ بَيْعَتَيْنِ فِي بَيْعَةٍ رَوَاهُ أَحْمَدُ, وَالنَّسَائِيُّ, وَصَحَّحَهُ اَلتِّرْمِذِيُّ
Dari Abi Hurairah ra berkata bahwa Rasulullah saw. melarang penjualan dengan dua transaksi pada satu barang` (HR Ahmad, Nasai dan At-tirmizy yang juga menshahihkan)
Namun apakah yang dimaksud dengan istilah itu, ternyata para ulama malah berselisih dalam penafsirannya. Setidaknya kami menemukan adalima pendapat yang saling berbeda.
1. Pendapat Pertama
Yang dimaksud dengan bai’ataini fi bai’atin adalah transaksi jual beli antara harga tunai dan harga kredit berbeda. Dan harga kredit lebih tinggi. Seperti, saya jual mobil ini tunai 100 juta, atau kredit 110 juta.
Transaksi jenis pertama biasa disebut bai` bits-tsaman ajil atau disingkat menjadi BBA dan ini disepakati bolehnya oleh ulama.
2. Pendapat Kedua
Yang dimaksud dengan bai’ataini fi bai’atin adalah sama dengan pendapat pertama, tetapi transaksi itu terjadi kemudian berpisah tanpa ada kejelasan mana yang diambil.
Seperti, saya jual mobil ini tunai 100 juta, atau kredit 110 juta. Keduanya sepakat tanpa menjelaskan transaksi mana yang diambil. Para ulama melarang jenis kedua ini, karena ada ketidakjelasan pada transaksi tersebut.
Tetapi jika sebelum berpisah ada kejelasan akad, yaitu memilih salah satunya maka boleh, dan itu seperti transaksi pada jenis pertama.
Namun demikian kedua transaksi itu dilarang jika barangnya berupa harta riba, misalnya emas, atau perak atau uang.
3. Pendapat Ketiga
Yang dimaksud dengan bai’ataini fi bai’atin adalah membeli barang dengan harga tertangguh, dengan syarat barang itu dijual kembali kepadanya secara tunai dengan harga yang lebih rendah.
Transaksi jenis ketiga ini diharamkan dalam Islam karena ada unsur riba. Dan transaksi ini disebut juga dengan ba`iul `inah.
4. Pendapat Keempat
Yang dimaksud dengan bai’ataini fi bai’atin adalah transaksi yang mensyaratkan penjualan lagi. Seperti menjual suatu barang yang tidak ditentukan barangnya dan harganya. Atau ditentukan harga dan barangnya.
Seperti A membeli sebuah rumah dengan harga 1 Milyar dari B dengan syarat B membeli mobilnya dari A seharga 1, 5 Milyar. Transaksi jenis keempat ini juga termasuk yang dilarang dalam Islam dan disebut juga bai`u wa syart.
5. Pendapat Kelima
Yang dimaksud dengan bai’ataini fi bai’atin adalah mensyaratkan manfaat pada salah seorang di antara yang melakukan transaksi. Misalnya, saya jual rumah ini dengan syarat saya tinggal dahulu satu tahun.
Transaksi jenis kelima diperselisihkan ulama. Madzhab Malik dan Hambali membolehkannya, sedangkan madzhab Syafi`i melarangnya.
Kasus Anda
Dalam kasus yang anda tanyakan, adanya sistem ‘refund kredit lancar’ itu pada hakikatnya anda memungut nilai tertentu kalau kreditnya tidak lancar. Sedangkan kalau kreditnya lancar, pungutan itu menjadi tidak ada.
Padahal syarat kebolehan akad kredit ini adalah kesepakatan harga di awal, di mana harga itu tidak boleh diubah-ubah oleh masing-masing pihak. Dengan adanya refund itu, maka ketentuan tidak boleh mengubah harga itu menjadi batal. Sebab ada dua harga yang belum ketahuan, karena kredit itu akan lancar atau tidak belum terjadi. Sehingga di sini terjadi unsur jahalah, apakah harga barang itu sesuai dengan harga yang ditetapkan di awal ataukah harga itu lebih besar? Yaitu harga yang telah ditetapkan plus 1 persen?
Kalau dipertimbangkan, maka nampaknya kasus anda ini masuk ke dalam kategori kedua, yaitu ketidak-jelasan harga. Maka menurut hemat kami, apa yang sebut dengan ‘refund kredit lancar’ adalah termasuk bagian dari bai’taini fi bai’atin yang hukumnya termasuk terlarang.
Solusi
Namun kami paham bahwa setiap bentuk pembayaran kredit pasti membutuhkan jaminan. Dalam hal ini, ada banyak solusi yang bisa ditawarkan, namun sebaiknya anda menghindari metode refund itu.
Mungkin anda bisa melakukan menyitaan barang, setidaknya seperti yang dilakukan beberapa perusahaan kredit motor yang belum menyerahkan PBKB kepada pihak yang mengambil kredit. Sehingga kendaraan itu masih belum sepenuhnya menjadi milik.
Atau anda bisa menerapkan sistem sanksi dalam bentuk denda uang, namun uangnya bukan untuk anda. Uang denda itu harus ditarik oleh pihak lain seperti pemerintah dan sebagainya. Kalau uangnya untuk anda, maka hukumnya kembali seperti kasus refund di atas. Maka pemerintah berhak mengenakan denda kepada kreditur nakal ini.
Bahkan kalau bentuknya perusahaan, maka bisa dengan pencabutan izin atau tidak memperpanjangnya. Dan masih banyak lagi trik yang bisa dilakukan, selama tidak mengandung unsur riba yang diharamkan.
Wallahu a’lam bishshawab, wassalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Ahmad Sarwat, Lc