Sekarang, setiap lima tahun sekali berlangsung pemilihan anggota legislative, presiden, dan wakil presiden, gubernur, bupati dan walikota. Setiap kali pemilihan berlangsung, umat menginginkan dan mengharapkan perbaikan, dan akan lahirnya pemimpin baru, yang nantinya dapat menjaga, melindungi, mengayomi, dan mensejahterakan, serta memberikan rasa keadilan. Harapan umat itu tidak salah. Mereka yang sudah memberikan suaranya itu, tak lain, merupakan pemberian sebuah bentuk kontrak sosial dan adanya kepercayaan antara umat dengan yang dipilihnya.
Tetapi, sekarang di sebagian kalangan umat, mulai nampak adanya rasa ketidak percayaan, skeptisme, dan mungkin pasrah. Karena, setiap kali berlangsung pemilihan, dan lahir pemimpin baru, kenyataannya apa yang diinginkan, diharapkan, serta dicita-citakan umat secara kolektif, selalu tidak terwujud. Kehidupan tidak berubah. Terkadang malah mengalami kemunduran kehidupan dalam berbagai sektor kehidupan.
Selalu realitas tidak sesuai dengan diangankan yang sifatnya ideal. Maka, sebagai bentuk protes dari umat ini, sangat jelas melalui gerakan ‘disebodient’ (pembangkangan), yang ditunjukkan dalam pemilu lalu, di mana jumlah orang yang tidak ikut memilih jauh lebih besar, dibandingkan dengan partai pemenang.
Tentu, umat sudah paham, sudah mengerti kehidupan politik yang dijalaninya, sejak Indonesia merdeka, tahun 1945. Sudah lebih dari 60 tahun sebagai bangsa yang berdaulat. Setidaknya umat ini sudah pernah merasakan enam kali adanya pergantian pemimpin.
Mulai dari Soekarno, Soeharto, BJ.Habibi, Abdurrahman Wachid, Megawati, dan Susilo Bambang Yudhoyono. Pergantian dari satu pemimpin ke pemimpin lainnya, adakah kemajuan yang dialami umat ini? Secara phisik ia. Kalau yang menjadi indikator dalam bentuk benda. Apalagi, kalau dilihat dari segi bangunan phisik, seperti dalam sepuluh tahun terakhir ini, khususnya di kota Jakarta. Perubahan sudah sangat luar biasa. Tetapi, sesungguhnya, secara kesuluruhan, rakyat Indonesia tidak banyak mengalami perubahan, dibandingkan 60 tahun yang lalu, terutama segi pembangunan karakter.
Karena, pemerintah dari waktu ke waktu, dan siapapun yang berkuasa, tidak mampu menegakkan apa yang disebut dengan ‘hisbah’ (amar ma’ruf nahi munkar). Dan, hakekatnya tugas kekuasaan itu, dan siapapun yang menjadi penguasa, misinya adalah menegakkan hisbah. Ada kemajuan secara phisik. Tapi, dari segi karaker dan moral, bangsa ini telah melemah, dan tidak lagi memiliki nilai kehidupan yang berharga. Indonesia tidak lagi diperhitungkan. Dipanggung internasional. Indonesia hanya menjadi bangsa atau entitas sapi perahan oleh fihak asing. Indonesia menjadi bangsa yang inferior, tak mampu berdiri dengan tegak dihadapan orang asing. Bahkan, Indonesia menjadi bangsa yang penuh dengan paradok, dan kehilangan jati dirinya yang sesungguhnya.
Setiap lahir pemimpin baru, dan diawali dengan sumpah terhadap ideologi negara, dan UUD ’45, tapi setiap kali itu pula, lahir ketidak jelasan terhadap komitment dan sumpah serta janji terhadap ideologi negara, dan UUD ’45 itu. Pelaksanaan pengelolaan negara tidak sesuai dengan prinsip-prinsip dari dasar ideologi itu. Maka,hakekatnya mereka tidak sungguh-sungguh memiliki komitment, ketika menjalankan dan melaksanakannya. Penyimpangan ini lahir, sejak Presiden Soekarno, yang tidak lagi setia dengan ideologi ciptaannya sendiri, yaitu Pancasila dan UUD’45.
Sekarang umat ini hidup dibawah falsafah dan ideologi, dan para pemimpin yang mendasari pola pengelolaan negara dengan dasar ideolig itu, dan berulang kali mengalami kegagalan. Dan, sampai hari ini rakyat tidak pernah mendapatkan kebahagiaan. Apakah, dasar dan ideologi negara, yang menjadi rule of conduct itu, tidak lagi memiliki legitimasi (keabsahan) menjadi sebuah doktrin kehidupan umat dan bangsa ini?
Indonesia membutuhkan pemimpin baru, yang memiliki komitment baru, dan dasar tujuan yang baru, dan yang dapat membebaskan umat dari belenggu penjajahan asing. Meskipun, Indonesia sudah menjadi sebuah negara yang berdaulat. Tapi, kenyataan pengaruh asing, masih sangat melekat di dalam semua sektor kehidupan. Maka, dibutuhkan pemimpin yang memiliki visi, misi, serta keberanian, tidak hanya bersikap konservatif dengan paradigma lama, yang sudah terbukti tidak mampu menyelesaikan problem umat.
Pemilihan pemimpin bukan hanya sebuah rutinitas, lima tahun sekali, tapi hakekatnya tidak dapat melahirkan sebuah khasanah baru bagi kehidupan umat. Umat terus dihadapkan ancaman yang semakin mengancam kehidupan mereka. Umat menghadapi ‘badai tsunami’ budaya materialisme yang terus menggerogoti sendi-sendi kehidupan umat. Rusaknya struktur keluarga dan masyarakat, serta semakin rapuhnya nilai-nilai umat dan bangsa ini, dan redupnya nilai-nilia luhur yang bersumber dari ajaran agama (Islam), sebagai akibat semakin kuatnya arus budaya materialisme, akibat kehidupan sekuler. Karena, tidak satupun pemimpin yang mampu menegakkan prinsip ‘hisbah’ di dalam pengelolaan negara, sepanjang pemerintahan yang ada. Di biarkannya budaya materialisme itu menjajah setiap keluarga dan anak keturunan kita. Pemimpin dan negara tidak mampu melindunginya.
Setiap kali lahir pemimpin yang ada hanyalah tipe-tipe ‘pengikut’, bukan sejatinya ‘pemimpin’ yang mampu menjaga, melindungi, menjamin, dan mengayomi, serta memberikan rasa keadilan kepada umat. Dan, siapa diantara mereka yang dapat menjaga, melindungi, menjamin, dan mengayomi, nilai-nilai dasar kehidupan yang menjadi pegangan umat? Atau mungkin tidak lagi ditemukan diantara mereka?
Jalan panjang bagi umat yang menginginkan perubahan dan perbaikan kehidupan mereka, dan ini memerlukan kesabaran, dan usaha-usaha menegakkan ‘hisbah’ (amar ma’ruf nahi munkar), tidak boleh berhenti, dan semata-mata diserahkan dipundak para pemimpin dan penguasa. Umat secara kolektif harus berjuang menegakkannya. Wallahu’alam.