Menundukkan kehidupan publik ke dalam logika pasar merupakan fondasi dari pandangan neoliberal. Artinya, semua pelayanan publik yang selama ini dikerjakan dan menjadi tanggung jawab negara, haruslah menggunakan kaidah perhitungan untung rugi. Semuanya sektor publik yang selama ini menjadi tanggung jawab negara dialihkan kepada sektor swasta.
Semua jasa, yang masuk dalam pelayanan-pelayanan sektor publik, haruslah dijalankan layaknya perusahaan swasta, yang tujuan mengurangi tingkat ‘inefisiensi’, dan ‘keruwetan birokrasi’, yang menjadi penghambat industri nasional.
Sekolah harus berkompetisi mendapatkan siswa, rumah sakit harus berkompetisi mencari pasien atau pelanggan. Perlakuan khusus, kehidupan ‘publik’, yang dianggap berbeda dengan dunia industri dan perdagangan, sudah harus ditinggalkan. Karena, hanya menimbulkan pemborosan dan ekonomi biaya tinggi. Neoliberalisme tidak memberikan tempat kepada kehidupan publik diluar pasar dan pasar. Hanya satu kehidupan , dan seperti yang dikenal oleh kaidah neoliberalisme, kehidupan adalah kompetisi. Setiap orang didorong harus mampu berkompetisi. Ini adalah paham dasar dari neoliberalisme.
Maka, setiap kompetisi antara individu atau kelompok harus menghasilkan keuntungan yang sebesar-besarnya. Dengan keuntungan yang didapatkan itu, modal akan terus bertambah dan meningkat. Dengan kekuatan modal yang dimilikinya, identik dengan memiliki kekuasaan. Sehingga, sisi yang paling menakutkan dari neoliberalisme adalah seluruh semangat kehidupan sebagai sumber laba korporasi. Sekarang, bagaimana negara-negara maju mematenkan verietas padi, yang dilakukan perusahan Rice Tec yang menyebabkan dipaksa membeli bibit padi perusahaan tersebut. Inilah proses pemiskinan negara dunia ketiga secara absolute.
Di hampir semua negara di dunia yang menganut sistem neoliberalisme itu, maka kehidupan orang-orang miskin menjadi pupus. Semuanya jaminan bagi orang-orang miskin dihapus. Semua harus membawa keuntungan, dan melipatgandakan keuntungan. Semua sektor publik yang dibutuhkan bagi rakyat kecil, termasuk pendidikan, rumah sakit dikelola swasta, dan menjadi mesin pencetak uang. Semua perusahaan publik yang dulunya dibawah tanggung jawab negara, harus diswastakan, dan harus menghasilkan uang yang berlipat-lipat, agar keuntungan terus meningkat, dan menambah modal. Kaum pemilik modal harus mendapatkan keuntungan dari uang yang digunakannya.
Hakekatnya, neoliberalisme adalah fenomena intelektual yang sangat komplek, dan berbasis dari ambisi gerakan Iluminati, yang merupakan ‘gerakan kaum Yahudi’, yang sangat rasis dan ekstrim yang ingin meniadakan ekstistensi komunitas lainnya. Dengan kekuatan ‘uang’ itu, mereka ingin mengendalikan komunitas lainnya, sampai mereka menjadi secara total sangat tergantung, dan tidak memiliki hak eksis dan hidup sebagai komunitas. Karena, kelompok Iluminati ini menggunakan uang yang berbentuk modal itu, mendikte setiap komunitas, sesuai dengan tujuan-tujuannya, dan bahkan menghilangkan politik komunitas lainnya. Lembaga-lembaga multilateral, seperti IMF, World Bank, ADB, WTO, semuanya itu sarana, yang digunakan kelompok itu, tujuan menjerat negara-negara di dunia, agar masuk dalam perangkap utang, dan bergantung.
Tentu, yang tak kalah penting, neoliberalisme, secara ekstrim berusaha melakukan penyederhaan politik, mekanismenya lagi-lagi melalui ‘uang’. Di mana politik sangat ditentukan oleh pasar. Semua partai politik dan tokoh politik, sifatnya menjadi wajib diterima oleh ‘pasar’, jika ingin berkuasa. Bagi partai politik dan tokoh politik yang tidak dapat memenuhi kaidah-kaidah pasar, jangan berharap akan dapat berkuasa. Dan, yang disebut pasar, tak lain, para pemilik modal. Siapapun, tidak akan dibiarkan bila berkuasa, tidak dapat memihak atau pro-pasar.
Kaum neoliberal pasti akan meniadakan peran partai politik dan tokoh politik, dan mereka harus menjadi abdi pasar. Bagi neoliberal politik hanyalah menjadi hambatan, karena keputusan birokrasi yang bertele-tele, dan menghambat pertumbuhan pasar. Karena itu, neoliberalisme di manapun, pasti tidak menyukai birokrasi yang besar dan rumit.
Tak heran di era reformasi ini, hampir seluruh peran negara hampir lumpuh, dan digantikan oleh komisi-komisi. Ini merupakan bentuk penggembosan fungsi-fungsi negara, yang selama ini telah ada, dan peranya digantikan oleh komisi. Penyerdahaan peran negara ini, tak lain, sebuah skenario pelumpuhan negara secara total, dan akhirnya kekuatan neoliberal, yang hakekatnya kaum Iluminati, yang bermetamorfose dalam rangka menguasai sebuah dunia. Tak ada lagi kekuatan yang dapat membatasinya, bersamaan terbentuknya pemerintah global.
Mereka hanya menggunakan satu senjata bernama, ‘uang’. Sekarang semuanya tunduk kepada ‘uang’. Kekuatan apapun sekarang ini dapat ditundukkan dengan ‘uang’. Karena, seluruh aktifitas manusia menjadi tergantung kepada ‘uang’. Sepertinya, tidak ada satupun yang tidak tergantung dengan uang. Termasuk dikalangan kelompok atau komunitas Islam.
Neoliberalisme telah berhasil mengubah ‘mindset’ (cara berpikir) komunitas Islam, yang sekarang ini sudah menyerah kepada ‘uang’. Mereka tidak lagi bergantung kepada Allah Ta’ala, tapi bergantung kepada uang, dan berwala’ kepada ‘uang’. Dan, hakekatnya ‘The big capital’ itulah yang menang, di tengah-tengah semakin kuatnya para tokoh Islam, yang menjadikan ‘uang’ sebagai tujuan hidup mereka. Pemilu hanyalah artifisial belaka, karena yang ada dibelakang ini semua, tak lain adalah ‘The big capital’, yang akan mennentukan.
Sayyid Qutb mengutip ciri masyarakat modern, yang sudah tidak tunduk lagi kepada Allah Ta’ala, mereka tunduk kepada materi. Seperti digambarkan dalam al-Qur’an :
“Dan, orang-orang yang kafir itu bersenang-senang (di dunia), dan mereka makan seperti makannya binatang-binatang. Dan neraka adalah tempat tinggal mereka”. (Muhammad : 12).