Siapakah yang menjadi pemain utama dalam pemilu 2009? Apakah benar yang menjadi pemain utama dalam pemilu ini adalah partai politik (Parpol)? Ataukah ada fihak lain yang mempunyai peranan besar di dalam pemilu ini? Memang, dilihat dari fakta dan undang-undangnya, yang menjadi pemain atau pelaku adalah parpol. Tapi, di balik para pemain yang sekarang ini, adanya elemen yang paling penting, yaitu militer Indonesia.
Hanya dalam waktu yang sangat singkat militer Indonesia kembali ke pusat kekuasaan, sesudah Presiden Soeharto lengser di tahun 1998. Jeda itu diisi atau digantikan oleh seorang teknokrat, yaitu Prof. BJ.Habibie. Tapi, tokoh yang ahli dibidang eurontika ini, tak dapat bertahan lama, mengundurkan diri dari pencalonan presiden, ketika Sidang Umum MPR, sesudah pidato pertanggungjawaban ditolak, di tahun 1999. Berturut-turut muncul tokoh sipil Abdulrahman Wahid, yang menggantikan Habibi, dan sesudah tokoh dari Nahdiyin itu lengser, digantikan oleh Megawati.
Satu faktor pasca Soeharto, yang paling krusial, dan menjadi isu nasional adalah berkaitan dengan masalah keamanan. Karena, sejak Soeharto lengser, dan digantikan tokoh-tokoh sipil, seperti Abdurrahman Wahid dan Megawati, situasi keamanan menjadi sangat rentan. Muncul konflik di daerah-daerah, yang beraneka ragam. Termasuk yang paling bebahaya adalah konflik sektarian, antara kelompok-kelompok agama, seperti yang terjadi di Ambon.
Ditambah lagi isu masalah separatism yang muncul di daerah-daerah yang membahayakan integratis nasional Indonesia. Mengenai masalah separatism ini menjadi bahaya yang laten, bukan hanya menyangkut masalah internal Indonesia, tapi sudah kecenderungan campur tangan asing, yang ingin menciptakan desintegrasi atas wilayah negara kesatuan Indonesia. Pisahnya Timor Timur, di masa pemerintahan Habibi, menjadi isu besar, dan menyebabkan kejatuhan Habibie, ketika MPR, di mana masalah ini menjadi perdebatan.
Kecenderungan ini menjadi isu besar kala itu, maka media massa yang sudah sangat kawatir dengan kecenderungan itu, ikut memberikan sebuah legitimasi, dan opini yang berjalan dengan massif melalui pemberitaan mereka, termasuk diskusi seminar dan berbagai kegiatan lainnya, yang intinya Indonesia dalam bahaya.
Ini menyebabkan pemerintaha sipil menjadi tidak efektif, karena sudah termakan opini dan propaganda, yang menyudutkan mereka. Inilah yang sebenarnya pemerintahan Habibi, Abdurrahman Wahid, dan Megawati, akhirnya terseok-seok, bahkan Presiden Abdurrahman Wahid, sempat diturunkan ditengah jalan oleh gerakan massa, yang merupakan kolaborasi dari berbagai elemen masyarakat.
Tapi, satu hal yang paling mendasar, yang menyebabkan jatuh Abdurrahman Wahid, yaitu akibat sikap yang keras terhadap militer, yang waktu dipimpin oleh Jendral Wiranto, dan kemudian menggeser Jendral Wiranto, serta isu yang diangkat Abdurrahman Wahid, pembubaran terhadap Partai Golkar. Dan, jatuhlah Abdurrahman Wahid, sebagai presiden sebagai akbiat dari gerakan massa.
Dengan gambaran situasi yang tidak stabil dan penuh dengan ancaman dsesintegrasi itu, dalam pemilu di tahun 2004, tokoh-tokoh sipil, yang mencalonkan diri dalam pemilu, berguguran dan kalah telak, termasuk tokoh reformasi Amin Rais yang berpasangan dengan Siswono Yudhohusodo. Kemudian, dalam pemilu pilpres di 2004, kembali sosok militer yang dianggap oleh rakyat menjadi sosok, yang dapat membawa situasi aman, yaitu tokoh militer, Jendral Soesilo Bambang Yudhoyono, yang berpasangan dengan Jusuf Kalla, jadi sebuah kuasi (campuran) antara militer dan sipil.
Nampaknya, kalangan mantan jendral akan tetap menjadi faktor penting dalam kehidupan politik di Indonesia. Artinya, perpolitikan di Indonesia pasca kepemimpinan Jendral Soeharto itu, tak pernah akan bisa lepas dari para mantan jendral, yang tetap mempunyai obsesi dengan kekuasaan.
Setidak di pemilu 2009 ini, kondisi tetap sama, yaitu perebutan antara para mantan jendral, yang memang, mereka masih tetap mempunyai gairah tinggi terhadap kekuasaan (hungry power). Prediksi kekuasasan di Indonesia yang akan datang masih merupakan ‘kuasi’ (campuran) antara militer dan sipil. Dominasi ini nampaknya masih kuat kecenderungan dan belum akan berubah.
Ada tiga tokoh militer yang sekarang ini riil bertarung memperebutkan pusat kekuasaaan di tahun 2009 ini, yaitu SBY, Wiranto, dan Probowo Subianto. Selain ada tokoh-tokoh militer lainnya, yang kurang menonjol, seperti Letjen Sutiyoso, mantan gubernur DKI, dan seorang bekas Kasal, yang namanya akhir-akhir ini tenggelam lagi.
SBY didukung sejumlah pensiunan jendral, baik yang ada dijajaran elite kekuasaan atau yang menjadi kekuatan jaringan mesin politiknya, yang sekarang bergerak mendekati berbagai elemen masyarakat, serta berada di Partai Demokrat. Wiranto, yang menggunakan kendaraan Partai Hanura, juga sarat dengan mantan jendral, seperti Jendral Fachrurozi, Suadi Marasabesy, dan Laksamana Ken Sondakh, dan sejumlah jendral lainnya. Prabowo Subianto, juga mendapatkan dukungan sejumlah mantan jendral, seperti Kivlen Zen, Muchdi PR,dan sejumlah mantan jendral lainnya.
Tentu, yang menarik tokoh-tokoh militer mendapatkan dukungan kalangan partai-partai politik dan sipil. SBY melalui Partai Demokrat menggalang dukngan dari PKS, PAN, dan PKB. Artinya, partai-partai yang ada menjadikan para tokoh militer menjadi ‘patron’ (bos) mereka. Wiranto, medapatkan dukungan dari 15 partai politik. Sementara itu, Prabowo mendapatkan dukungan dari tokoh Zainuddin MZ, dan Abdurrahman Wahid serta Permedi.
Dibagian lainnya, dikalangan partai-partai politik juga terdapat tokoh militer yang mempunyai peranan penting, seperti PDIP dan Megawati, mendapatkan dukungan dari mantan Kepala BIN (Badan Intelijen Negara) Jendral Hendropriyono, dan sejumlah mantan pemimpin militer lainnya. Sementara itu, Golkar, yang mempunyai akar sejarah di masa lalu, dan partai ini didirikan oleh militer, dan selalu ketuanya seorang tokoh militer, dan ketika sekarang ini ketua umumnya dijabat Jusuf Kalla, Sekjennya dijabat oleh Letjen Soemarsono, mantan Wakasad.
Jadi hakekatnya perpolitikkan di Indonesia masih sepenuhnya di bawah kendali para mantan jendral, yang mereka mempunyai pengaruh luas, dan tetap memainkan peranan yang tidak dapat ditolak. Mereka ini, sekarang hanya sedikit merubah pendekatan, yang kelihatan lebih populis, dan tidak menggunakan pendekatan konvesional, yang memang sudah tidak sesuai dengan zaman, yaitu pola repressif, tapi melelaui pendekatan persuasive, seperti mengikuti paradigma baru yaitu demokrasi. Hakekatnya, sekarang ini ‘The Real Battle’ adalah hanyalah pertarungan sesama para ‘Jendral’, yang sudah berbaju sipil.
Karena itu, sejak jatuhnya kekuasaan Jendral Soeharto, segalanya tidak ada yang berubah secara fundamental, yang berubah hanyalah gaya pendekatan, yang lebih disesuaikan dengan perkembangan zaman, meskipun tentu ini tidak akan melahirkan perubahan yang sangat fundamental bagi rakyat Indonesia. Apalagi mengharapkan kearah terwujudnya prinsip-prinsip (mabda’) yang Islami menjadi dasar dalam pengelolaan negara. Itu masih jauh.
Kesalahannya, terletak pada kekuatan Gerakan Islam, yang para pemimpinnya tidak mau sabar, dan kemudian mereka terus membangun kekuatan, sehingga menjadi alternative, serta menciptakan solusi yang bersumber pada prinsip-prinsip (mabda’) yang Islami.
Tapi justru mereka – para pemimpin Islam hanya menjadi barisan kaum ‘oportunis’ dan ‘pragmatis’, yang mengejar rente kekuasaan, dan sudah merasa puas dengan menjadikan para tokoh militer menjadi patron mereka. Wallahu ‘alam.