Pada saat umat Islam seluruh dunia mengumandangkan takbir, tahlil, dan tahmid, menyambut datangnya Idul Fitri, dan hari kemenangan dengan penuh kegembiraan, di Gedung Putih, Presiden George W. Bush, sibuk dan bingung menyelamatkan ekonomi Amerika. Bahkan, sebuah media terkemuka, mengutip seorang ahli ekonomi, yang menganilisis krisis keuangan di Amerika, menyimpulkan bahwa Amerika sebagai adidaya akan punah. Krisis ekonomi yang disebabkan ambruknya lembaga keuangan di Amerika, dikawatirkan menuju kearah depresi ekonomi seperti yang terjadi di tahun l930.
Presiden George W. Bush sempat frustasi ketika mengajukan usulan mengeluarkan dana talangan (bailout) sebesar 700 milyar dolar di tolak oleh Kongres (DPR). Penolakan Kongres sempat menyebabkan harga indek Dow Jones Industrial Average di New York (DJIA), anjlok tajam, mencapai 778 point. Dan, menyebabkan runtuhnya berbagai lembaga keuangan di banyak Negara. Meskipun, melalui lobby yang intensif dengan Ketua Kongres, Nancy Peloci, akhirnya Kongres menyetujui usulan Presiden George Bush, mengeluarkan dana talangan sebesar 700 milyar dolar. Yang menarik, justru kalangan Demokrat, memelopori tercapainya dukungan Kongres, dari Republik dan Demokrat (bipartisan), atas kebijakan Presiden George Bush, yang ingin menyelamatkan ekonomi Amerika. Tak kurang-kurang Presiden Bush, menyatakan: “Krisis ekonomi dampaknya dapat mengancam seluruh rakyat Amerika ”, tegasnya. Menurut pengamat ekonomi dari CSIS, Hadi Susastro, dana talangan 700 milyar dolar, belum akan menyelesaikan akar masalah.
Situasi krisis ekonomi di Amerika, akibat ambruknya lembaga-lembaga keuangan di negeri Paman Sam. Warren Buffet, seorang investor, di Amerika, menggambarkan kondisi ekonomi di negerinya itu, seperti ketika Jepang menyerang ‘Pearl Harbour’, yang hancur lebur. Istilah ekonomi ‘Pearl Harbour’ itu, menggambarkan, bagaimana hebatnya akibat krisis ekonomi di Amerika sekarang ini. Seorang peraih hadiah Nobel Ekonomi tahun 2001, Joseph Stiglitz menyatakan, ia tidak kawatir dengan kerugian di Wall Street (investor dan korporasi), tapi yang ia kawatirkan, di mana lembaga keuangan menghentikan meminjamkan uang ke sektor riil. Akibatnya, jika hal itu terjadi, akan berhenti produksi dan pekerja. Dan, keadaannya akan lebih buruk dari resesi, ujar Stiglitz.
Krisis keuangan di Amerika menjadi perhatian seluruh dunia. Termasuk dua kandidat calon presiden, Mc. Cain (Republik) dan Barack Obama (Demokrat). Krisis keuangan ini juga menjadi tema kampanye kedua kandidat. Dalam debat antara Mc.Cain dan Obama, krisis keuangan di Amerika, mendapat perhatian utama mereka. Mc. Cain dan Obama, keduanya menyetujui kebijakan yang diambil Presiden George Bush, yang mengeluarkan dana talangan 700 milyar dolar. Tujuannya untuk menyelamatkan lembaga-lembaga keuangan di Amerika, yang menjadi sumber kehidupan ekonomi kaum Yahudi.
Sejak 2002, sudah lebih 45, bank di Amerika, yang bangkrut, dan ditutup. Puncaknya lembaga keuangan terbesar keempat di Amerika, Lehman Brothers, yang menghadapi kesulitan likuiditas, yang akhirnya bangkrut, dan ditutup. Karena pemerintah Amerika, melalui Bank Sentralnya (The Fed) menolak membantu mengeluarkan dana talangan, guna menyelamatkan lembaga keuangan itu. Karena, Lehman Brothers, banyak membantu dana kampanye Obama (Demokrat). Lehman Brothers adalah usaha dagang yang mula-mula didirikan oleh keluarga keturunan Yahudi Jerman, yang berimigrasi ke Amerika, dan menetap di Alabama. Tiga bersaudara berdarah Yahudi, yang mula-mula mendirikan perusahaan dagang, kemudian berubah menjadi lembaga financial, yang dikenal dengan ‘Lehman Brothers’.
Sesungguhnya, yang terjadi sekarang di Amerika, adalah hancurnya sistem keuangan riba, yang menjadi sumber kehidupan kaum Yahudi. Ekonomi kapitalisme adalah ekonomi riba, yang menjadikan uang, bukan lagi sebagai alat tukar, tapi sudah diperdagangkan. Ekonomi kapitalisme dengan bertumpu pada riba ini, menjadi sangat rakus, dan menghancurkan. Menurut Faisal Basri, kapitalisme mutakhir yang digerakkan sektor keuangann (financially-driven) tumbuh pesat sangat luar biasa, sejak awal dasa warsa 1980an. Transaksi di sektor keuangan tumbuh meroket ratusan kali lipat, dibandingkan dengan nilai perdagangan dunia. Di negara-negara maju, lalu lintas modal bebas bergerak. Praktis tanpa pembatasan. Sementara, semakin banyak negara-negara berkembang yang mengikuti. Uang dan instrument keuangan lainnya tak sekedar sebagai penopang sektor produksi riil, melainkan telah menjelma sebagai komoditas perdagangan, diternakkan beranak-pinak, berlipat ganda dalam waktu singkat. Produk-produk keuangan dengan berbagai macam turunannya menghasilkan ekspansi kapitalisme dunia yang semu, ungkapnya. (Kompas, 6/10/2008).
Awal krisis, akibat kebijakan ekonomi Presiden George W. Bush, yang bertahun-tahun membiayai perang Iraq, membiayai perang melawan terorisme, membiarkan defisit anggaran (APBN) terus menggelembung, dan dalam waktu yang sama mengalami defisit perdagangan luar negeri. Di sisi lainnya, tabungan rakyat Amerika sudah minus, melampui dengan yang dibelanjakan (disposable income). Guna membiayai ekonomi yang sangat boros, Presiden Bush, terus meningkatkan utangnya, yang semakin menggelembung, yang mencapai jumlah trilyunan dolar. Kondisi inilah yang mendorong kehancuran ekonomi Amerika
Kondisi ini ditambah sikap rakus para ekskutif korporasi di Amerika, yang mereka mengejar bonus, besar-besaran. Tanpa menyadari dampaknya. Korporasi di Amerika yang menerima pinjaman global telah menanamkan modalnya di sektor perumahan, yang kini tak laku, dan nilai harganya turun drastis. Keadaan ini seperti yang terjadi di kawasan Asia di tahun l990an, yang meminjamkan dana ke sektor perumahan (properti), yang jumlahnya sangat fantastis. Di sisi lain, terjadi praktik penipuan yang dilakukan para ekskutif di Amerika, yang tergiur iming-iming bonus besar, yang mereka menyalurkan pinjaman besar-besaran ke sektor properti. Praktek ini menurut Avery Goodman, ahli pasar uang Amerika, sudah terjadi sejak periode 200l-2007. Lehman Brothers hanyalah salah satu kasus, korban dari kerakusan para ekskutif. Para ekskutif korporasi Amerika tidak menaruh perhatian posisi keuangan korporasi, tapi membiarkan perusahaan terjerat utang. Maka,kehancuran sudah di depan mata.
Namun, kehancuran ekonomi Amerika ini, tak terlepas dari peran Bank Sentral Amerika (The Fed), di mana lembaga yang memiliki otoritas keuangan ini, berkomplot dengan sejumlah ekskutif Yahudi, yang memegang korporasi di Amerika, di mana saat korporasi keuangan melakukan jor-joran menyalurkan kredit ke sektor properti dan sudah gagal bayar, justru The Fed menurunkan suku bunga. Bahkan,sesudah krisis terjadi The Fed masih terus memasok dana kepada korporasi. Ketika perusahaan Lehman Brothers bangkrut, terbongkar kasus ketika Lehman Brothers mendapatkan pinjaman 10 milyar dolar dari Bank Sentral New York yang dipimpin Timothy Geithner, padahal Lehman sudah tidak mampu memenuhi kewajiban membayar (insolvent).
Tanda-tanda kehancuran ekonomi Amerika sudah didepan mata. Krisis ini tidak hanya terjadi pada pasar modal, pasar surat utang, dan sektor perumahan, yang juga mengalami penurunan secara drastis. Ratusan ribu orang kehilangan pekerjaan, sejak terjadinya krisis keuangan. Akibat lembaga-lembaga keuangan di Amerika tutup. Ditambah pertumbuhan ekonomi di Amerika minus. “Kita telah melihat data yang memburuk di depan mata, yang belum pernah terjadi sepanjang sejarah Amerika, dan ini mengawali kondisi yang buruk”, ujar Piere Ellis, seorang ekonom di New York.
Sebuah Koran The Pheladelphia Inquirer, yang terbit 30/9/2008, dalam sebuah artikelnya berjudul: “US Crisis Puts Global Standing in Peril”, menyebutkan krisis keuangan tidak saja menguras keuangan, dan dana pensiunan yang lenyap, tapi krisis keuangan ini akan berdampak bagi kepemimpinan Amerika. The Pheladelphia juga menyatakan, sejak Perang Dingin, Amerika menjdi kekuatan militer terbesar di dunia, menjadi kekuatan ekonomi terbesar di dunia, dan New York adalah pusat keuangan yang paling berpengaruh di dunia, serta dolar memiliki status sebagai nilai tukar internasioal, tapi dengan krisis yang terjadi sekarang, posisi Amerika sebagai adidaya akan terancam punah.
Daya krisis keuangan Amerika sekarang ini,lebih dahsyat, dibandingkan dengan invasi militer ke Iraq. Bahkan, dolar Amerika sudah mulai ditinggalkan, beberapa negara tidak lagi menggunakan dolar, seperti Amerika Latin, Timur Tengah, Uni Eropa, dan beberapa Negara Asia. Inilah akhir perjananan kapitalisme global. Satu setengah dekade, sejak runtuhnya Soviet, sebagai imperium, kini nampaknya kapitalisme global, yang dipimpin Amerika sebagai sistem idelogi dan ekonomi, diambang kehancuran.
Sangat ironis. Masih banyak para pemimpin Islam, yang berwatak dan bermental inferior. Mereka masih mendewakan Barat, sebagai kiblat mereka. Mereka masih memberikan loyalitasnya kepada Amerika. Mereka tidak hanya menjadikan Amerika sebagai partner strategisnya, tapi menjadikan Amerika sebagai ‘tuannya’, sebagai ‘doronya’, bahkan menyerahkan ‘hidup dan matinya’ kepada negara yang sudah bangkrut yaitu Amerika. Materialisme yang bersumber dari para pengikut penyembah ‘sapi emas’, kaum Yahudi sudah berakhir. Tak ada lagi yang layak dimitoskan. Karena nilai dan sistem yang mendasari kehidupan mereka adalah kebathilan.
Mestinya para pemimpin Islam mencari solusi dan alternative atas situasi krisis global sekarang ini. Bukan justru mereka ramai-ramai meninggalkan nilai dan prinsip-prinsip Islam. Dan, menjadikan nilai-nilai sekuler dan materialism yang menjadi dasar kehidupan mereka. Umat manusia mengharapkan solusi dan alternative. Bukan orang-orang yang hanya bisa mengekor dan mengejar kehidupan dunia, yang sudah diambang kehancuran, yaitu kapitalisme global. Wallahu‘alam.