Apakah mungkin orang-orang mlarat (miskin) bisa mengalami perubahan nasib mereka tanpa mendapt pendidikan yang baik? Nonsen. Mereka akan mlarat seumur-umur. Tidak akan pernah mengalami perubahan nasibnya. Dengan pendidikan yang rendah mereka akan sulit mendapatkan akses. Mereka tidak akan pernah mengalami mobilitas vertikal.
Pendidikan di Indonesia telah mengkotakkan orang-orang mlarat di dalam kotak hitam selamanya. Pendidikan di Indonesia hanya milik kaum borjuis. Pendidikan di Indonesia hanya milik para orang kaya. Sistem pendidikan yang ada di Indonesia hanyalah memanjakan bagi mereka yang berduwit. Pendidikan di Indonesia membuang ke tempat-tempat gelap orang-orang mlarat.
Menteri Pendidikan Nasional Mohammad Nuh mengakui bahwa mayoritas mahasiswa Perguruan Tinggi Negeri (PTN) dari keluarga menengah atas.
Angka-angka menunjukkan betapa nasib orang-orang mlarat sangat kecil, yang berhasil mendapatkan pendidikan sampai ke perguruan tinggi. Tahun 2004/2005, hanya 0,89 persen. Tahun 2008/2009 naik, 3 persen. Tahun 2009/2010, menjadi 4,6 persen. Tahun 2010, menjadi 6 persen. Artinya, 94 persen perguruan tinggi negeri diisi oleh kaum kaya. Sementara itu, kenaikkannya sangat kecil dan tidak signifikan bagi keluarga mlarat. Orang-orang mlarat tak pernah berubah nasibnya.
Suka atau tidak suka pendidikan di Indonesia, mengkotak-kotakkan dan mengkelompokkan orang berdasarkan status dan kedudukannya. Orang mlarat yang tanpa status dan kedudukan, takkan akan pernah bisa masuk ke perguruan tinggi. Persis komunisme yang membagi manusia dalam kelas sosial.
Kelas borjuasi, orang kaya, kaum pemilik modal, yang menguasi mesin industri, dan dibagian lain kaum proletar, yang mlarat sebagai buruh dan petani. Kemudian, terjadi pertentangan kelas, yang hebat, serta berakibat sangat mengerikan, seperti yang terjadi di Kamboja, yang di visualkan dalam sebuah film yang sangat menakutkan, "The Killing Fields".
Orang-orang mlarat yang berhasil membebaskan Nom Phen (Kamboja), menggiring orang-orang kaya, kaum borjuis ke ladang-ladang, yang kemudian melakukan pembantaian yang sangat mengerikan. Ini adalah puncak atau akumulasi yang terjadi pertentangan kelas antara kaum borjuis dengan kaum proletar.
Bayangkan. Di UGM, dulu tahun 1990, di kampus Bulak Sumur, masih banyak mahasiswa yang kuliah naik sepeda. Tetapi, sekarang para mahasiswa sudah lebih banyak yang mengendari mobil pribadi. Bulak Sumur penuh dengan mobil pribadi. Tidak seperti dulu. UGM dulunya kelihatan merakyat. Memang dulu yang menjadi mahasiwa di UGM, para anak petani di Jawa Tengah. Sekarang anak petani yang di kuliah di UGM bisa dihitung dengan jari.
Tentu pemandangan bergaya "borju" bukan hanya di UGM, tetapi di seluruh kampus negeri. Di kampus ITB tak berbeda jauh dengan yang ada di UGM. Mereka bermobil, dengan gaya "borju, menikmati hidup dan bergaya "jet set" sambil kuliah. Berpacaran dan rendevous. Menjadi pemandangan sehari-hari. Sudah jarang mereka yang menampakkan ciri mahasiswa. Gaya hidup mereka sangat mencolok, dan penuh hedonisme. Di Jakarta, Universitas Indonesia, parkir pelataran di seluruh fakultas penuh dengan mobil-mobil pribadi.
Tentu, lebih hebat lagi Universitas Indonesia membangun gedung perpustakaan di tepi danau, sangat megah, konon terbesar di Asia, dan dilengkapi dengan cafe "Starbuck". Tempat pemutaran film dan lainnya. Ini menandakan orientasi dan kecenderungan kampus UI, hanya bagi mereka-mereka yang berkelas "borju" yang dapat hidup dilingkungan kampus itu. Tidak mungkin anak-anak orang-orang yang mlarat akan bisa menikmati lingkungan kampus seperti itu.
Sekarang berapa biaya masuk di perguruan tinggi negeri? Di UGM, sumbangan bagi mahasiswa yang lolos seleksi masuk perguruan tinggi negeri (SMPTN), total yang harus dibayar Rp 37,12 juta. Sementara biaya masuk fakultas kedokteran mencapai Rp 100 juta. Di Universitas Hasanuddin (Unhas) Ujung Pandang, biaya kuliah bervariasi, antara Rp 15 juta sampai Rp 100 juta. Sementara, calon mahasiswa yang diterima di fakultas ekonomi Unhas harus menyiapkan uang Rp 40 juta. Di Bandung ITB mengenakan biaya Rp 50 juta bagi mahasiswa baru. Di Jakarta Universitas Indonesia mengenakan biaya antara Rp 15 juta sampai Rp 100 juta.
Mereka selama di kampus hanya belajar sambil "berha .. ha .. hi .. hi", dan mencari IPK (indek prestasi kumulatif), dan tentu cepat ingin selesai. Tak ada diantara mereka yang terlibat aktif dalam organisasi apapun. Tidak ada diantara mereka yang belajar organisasi dan kepemimpinan. Mereka hanya ingin cepat selesai, kemudian mencari kerja.
Tak ada lagi mereka yang memahami tentang tujuan pendidikan nasional, yang menciptakan manusia beriman dan bertakwa, seperti yang tertera di dalam undang-undang pendidikan nasional. Mereka hanya dicetak untuk menjadi manusia pemburu dan menuhankan "rupiah", dan menjadi lapisan baru, kaum "borjuis", disertai dengan segala karakternya.
Karena dasar filosofisnya seperti itu, perguruan tinggi negeri, hanya mencetak manusia-manusia yang akan menjadi alat produksi dan bagi kepentingan kaum kapitalis, maka tak ada lagi yang memiliki ruh dan moral agama. Agama sudah seperti "fashion", yang bisa dipakai dan ditanggalkan. Tempo-tempo beragama, dan tempo-tempo tidak beragama. Sekalipun mereka statusnya beragama, tetapi tidak menunjukkan mereka beragama.
Lihat. Dalam satu dekade terakhir ini di Indonesia, hanya muncul lapisan baru, orang-orang yang terdidik, tetapi mereka banyak yang melakukan "moral hazards" (kejahatan moral). Mereka menjadi kaum kleptokrat (maling) yang berdasi. Mereka memenuhi birokrasi, korporasi swasta, dan partai-partai politik. Ada pula yang menjadi maling berjubah dan bersorban. Merekalah yang menghabiskan uang negara. Dikorup dan dimaling.
Mereka semua seperti "tikus got", yang menggerogoti aset-aset negara, menggerogoti ABPN, ABPD, menjadi calo, menjadi makelar, yang semuanya berakibat bangkrutnya negara. Semuanya bermula dari orang-orang yang terdidik, dan masuk lembaga perguruan tinggi dengan biaya yang mahal, dan keluar dari perguruan tinggi, lalu menyebar ke seluruh sektor, dan mereka bukan menjadi pembaharu, tetapi mereka menjadi sumber kerusakan "disaster" (bencana) di mana-mana. Karena, karakter mereka sudah dibangun sejak di kampus dan kemudian menjadi "habit".
Berapa banyak urang negara yang raib? Mulai dari kasus BLBI, Century, Pajak, dan penjualan asset BUMN, penjualan asset-asset negara, semua sarat dengan kejahatan korupsi. Semua yang melakukannya orng-orang yang terdidik di perguruan tinggi.
Berapa banyak menteri, gubernur, bupati, walikota, anggota DPR, DPRD, masuk bui? Para pejabat menteri, gubernur, bupati, walikota, anggota DPR, DPRD, yang masuk bui? Mereka yang menjadi pejabat itu, orang-orang yang terdidik, dan menyandang gelar sarjana, serta semuanya berasal atau didukung oleh partai politik. Apalagi dengan adanya "koalisi" sekarang ini, mereka para kaum "moral hazards’ telah berhasil mengangkangi negara, dan berbuat dengan segala kejahatan yang mereka lakukan.
Tentu, yang paling mutakhir, ilustrasi yang paling menusuk perasaan rakyat, drama yang terjadi di Partai Demokrat, yang memporak-porandakan sistem kehidupan bangsa Indonesia. Di mana kejahatan yang dilakukan para pemimpin partai, tak dapat disentuh oleh hukum.
Orang-orang kaya yang masuk perguruan tinggi negeri yang mentereng, bukan menjadi pelopor bangkitnya bangsa ini, yang dapat menolong saudara mereka yang mlarat secara ekonomi, tetapi justru mereka melakukan berbagai komplotan "kleptokrat" (maling), yang semakin menindas orang-orang yang sudah miskin.
Mereka berkomplot terus ingin melanggengkan kekuatan dan kekuasaan mereka dengan cara mencekik rakyat mlarat, yang tidak memiliki akses apa-apa. Wallahu’alam.