Hari-hari bangsa Indonesia terus disuguhi adegan dan drama tentang bom bunuh diri, teroris, dan sekarang NII. Dari perisitwa ini dibentuk opini melalui media. Dengan skala yang massive. Ada ancaman teroris, bom bunuh diri, dan sekarang kelompok NII.
Rakyat terus disuguhi opini yang mengancam, menakutkan, dan perlunya tindakan preventif, serta perlunya melakukan tindakan repressif terhadap sumber ancaman. Teroris yang melakukan bom bunuh diri, terus disebarkan melalui media massa, yang berulang-ulang disertai dengan opini dari orang-orang yang disebut sebagai "pakar". Semuanya tujuannya untuk membenarkan bahwa Indonesia sedang dalam bahaya. Indonesia dalam ancaman teroris yang akut.
Presiden SBY menyatakan, Indonesia "siaga satu", karena begitu gentingnya negara ini, akibat ancaman teroris. Genting, karena dalam skala tertentu sudah membahayakan negara. Seperti peristiwa bom bunuh diri yang terjadi di Masjid Adz-Dzikro, Mapolres, Cirebon, yang berlangsung saat shalat Jum’at. Peristiwa di Mapolres Cirebon itu mengakibatkan puluhan korban luka-luka, dan menewaskan pelakunya, Mohamad Syarif.
Sebelumnya, terjadi ledakan di Utan Kayu, di Radio 68, yang menjadi tempat mangkal kelompok JIL (Jaringan Islam Liberal), dan dikaitkan dengan sasarannya Ketua JIL Ulil Abshor yang sekarang menjadi salah satu Ketua Partai Demokrat.
Dari ledakan "bom buku" di Utan Kayu itu, justru sekarang aparat Densus 88, telah menangkap puluhan orang, termasuk yang dituduh sebagai dalang "bom buku", yang tak lain alumni IAIN Ciputat, Pepi Fernando. Tentu, tak pernah di prediksi bagaimana IAIN Ciputat, yang selama ini dikenal gudangnya kaum "sekuler", tiba-tiba melahirkan kader-kader yang menjadi pelaku "bom"?
Pepi sendiri selama di IAIN tidak dikenal sebagai aktivis gerakan Islam. Pepi lebih dikenal sebagai anak "hura-hura", dan berkerja sebagai sutradara infotaiment, dan sekarang menjadi sosok yang sangat menakutkan, menjadi "mastermind" pelaku pemboman. Inilah yang menjadi teka-teki publik. Pepi sendiri mempunyai seorang isteri yang dikabarkan bekerja di BNN (Badan Narkotika Nasional), yang dipimpin oleh mantan Kepala Densus 88, Gories Mere, yang sekarang menjadi kepala BNN.
Di tengah-tengah situasi dan kondisi yang masih serba semrawut di bidang keamanan ini, muncul yang tak kalah heboh. Media massa melansir tentang NII, yang dinilai bukan hanya terlibat dalam pemboman yang ada sekarang ini, tetapi terjadinya sejumlah peristiwa yang berkaitan dengan "hilangnya" anak-anak muda, yang menjadi korban perekrutan NII.
Bangsa Indonesia terus disuguhi dengan peristiwa-peristiwa yang sebenarnya tidak terlalu menjadi ancaman serius. Tetapi, karena mendapatkan "covered" media massa, dan dibumbui dramatisasi dengan berbagai opini oleh orang-orang yang mempunyai tujuan untuk kepentingan tertentu, kemudian masalahnya menjadi sangat serius. Tidak mempunyai dampak keamanan yang sangat berbahaya. Tidak sampai mengancam kedaulatan negara, bahkan ancaman keamanan sekalipun.
Teroris, bom bunuh diri, dan NII hanyalah menjadi sebuah "shadow enemy" (musuh bayangan), yang diarahkan kepada kelompok Islam yang dianggap radikal dan fundamentalis sebagai "common enemy" (musuh bersama) seluruh bangsa. Pola strategi ini hanyalah pola gerakan intelijen, yang mendesain opini yang diarahkan kepada sasaran yang dianggap menjadi ancaman masa depan. Bukan ancaman sekarang. Benih-benih munculnya kelompok radikal dan fundamentalis itu, diantisipasi secara dramatis dengan menggunakan pola opini. Memisahkan dan menghilangkan dukungan dan simpati rakyat terhadap kekuatan radikal dan fundamentalis.
Ketika zaman Ali Murtopo masih menjadi Aspri Presiden Soeharto, pola yang sama diciptakan yaitu dengan menciptakan apa yang disebut sebagai"shadow enemy" dan di blow up yang sangat luar biasa, seperti membuat isu "Komji" (Komando Jihad). Ada tokoh-tokoh yang dikorbankan, seperti mereka-orang-orang yang mempunyai afiliasi dengan Ali Murtopo. Maka, "Komji" yang didesain Ali Murtopo itu, kemudian menjadi "common enemy", dan Ali Murtopo dapat memukul kelompok-kelompok garis keras Islam, yang dianggap menjadi ancaman rezim Soeharto.
Dalam skala global, Presiden AS George Bush, mendeklarasikan perang secara unilateral terhadap Saddam Husien, yang dituduh memiliki senjata pemusnah massal. AS melakukan agresi militer ke Irak, yang menimbulkan korban manusia yang tidak sedikit, terutama kematian rakyat Irak. Bukan hanya Saddam yang mati.
Tetapi, diujung sejarah kekuasaannya, Presiden George Bush, membuat pengakuan bahwa Saddam tidak memiliki senjata pemusnah massal. Isu senjata pemusnah massal Saddam, hanyalah rekaan palsu oleh agen CIA, seperti dituturkan saat ia meninggalkan Gedung Putih. Tindakan preventif CIA dengan menggunakan tangan Presiden George Bush memukul Saddam, karena dinilai sudah menjadi ancaman terhadap kepentingan AS dan sekutunya Israel.
Adakah cerita dan peristiwa tentang teroris, bom bunuh diri, NII, semuanya adalah "rekaan", yang tujuannya agar tidak akan muncul kekuatan Islam radikal (fundamentalis), dan tidak muncul di permukaan landskab politik di Indonesia menjelang pemilu 2014? Dengan terus-menerus diciptakan suasana "fears" (ketakutan) itu, kelompok yang dituduh sebagai Islam radikal dan fundamentalis tidak mampu lagi melakukan konsilidasi.
Selanjutnya, ketakutan yang akut dan kampanye media massa yang massive, dipastikan rakyat Indonesia akan menolak kelompok-kelompok radikal (fundamentalis) yang sejatinya mereka ingin mempraktekkan Islam secara "lurus", tanpa harus berkompromi dengan segala bentuk kemungkaran dan kebathilan.
Adakah di era reformasi ini, yang penuh dengan kebebasan dan keterbukaan, tiba-tiba berlangsung kampanye secara massive perang melawan "terorisme", sedangkan kekuatan yang disebut sebagai teroris, pelaku bom bunuh diri, dan NII, semuanya hanyalah berbentuk artifisial alias "jadi-jadian" belaka, karena tidak ada keterbukaan dalam penangan masalah ini.
Sementara itu, bahaya laten yang menggerogoti kehidupan bangsa ini, semakin membahayakan negara, seperti infiltrasi asing, yang terus menerus yang akan mencaplok dan menguasai Indonesia. Ancaman korupsi yang semakin meluas, tanpa adanya tindakan hukum yang memadai.
Sebuah negara yang menganut sistem demokrasi, tanpa adanya "law enforcement", hanyalah akan menjadikan Indonesia sebagai negara yang bangkrut, akibat para pengkhianat, yang tidak dapat dijerat oleh hukum. Di Cina yang menganut idelogi komunis (atheis), para pelaku korupsi dihukum mati, dan tidak ada toleransi. Tetapi, di Indonesia pelaku korupsi, bisa tidur nyenyak, karena mereka tahu hanya akan mendapatkan hukuman yang ringan.
Ancaman masa depan Indonesia bukan satu-satunya dari terorisme, bom bunuh diri, dan NII, tetapi ancaman yang nyata terhadap Indonesia, bangkrutnya moral para penyelenggara negara, yang sudah tidak mampu melindungi negara dan rakyatnya. Karena mereka sudah bermental korup dan tidak terjamah oleh hukum. Wallahu’alam.