Perasaan menjadi sedih dan hiba, saat melihat tukang semir sepatu. Mereka banyak ditemui di stasiun kereta, terminal bus, pasar-pasar, rumah-rumah makan, kantor-kantor, dan masjid-masjid, terutama saat shalat Jum’at. Mereka membawa kotak kecil, yang berisi semir dan kain yang digunakan untuk mengelap sepatu yang sudah selesai di semir. Mereka mendapatkan ibalan antara Rp 1.000 sampai Rp 3.000 rupiah.
Anak-anak dan orang dewasa yang tidak berpendidikan, dan tidak memiliki modal yang cukup, serta dari keluarga yang miskin, kebanyakan mereka memilih bekerja menjadi tukang semir sepatu. Pekajaan itu sekadar mempertahankan kehidupan mereka. Tanpa harus minta-minta. Mereka pergi dari tempat ke tempat lainnya. Kehidupan mereka berjalan dengan rutin. Tidak menunjukkan perubhan. Tetapi, ada pula yang lebih berat, karena mereka sudah memiliki keluarga, yang mereka tanggung.
Tukang semir itu pekerjaan seakan-akan mudah. Menjadikan sepatu yang kotor di setiap kaki orang menjadi bersih dan mengkilat. Orang-orang kantoran yang pergi tidak menggunakan kendaraan pribadi, pasti sepatunya akan kotor. Naik kendaraan umum, tentu resikonya sepatu yang dikenakan menjadi kotor, terkena kotoran, entah debu atau tanah, karena terinjak saat berada di kendaraan umum, yang di Jakarta, selalu berjubel.
Begitu mulia para tukang semir itu. Mereka menjadikan sepatu para pekerja kantoran, yang kotor menjadi bersih dan mengkilat lagi. Terkadang sepatu yang sudah ‘kunyel’, tampak seakan menjadi seperti baru. Hanya mengeluarkan uang Rp 1.000 – Rp 3.000 rupiah. Tidak banyak. Orang-orang kantoran sepatu yang dikakinya kotor itu menjadi bersih dan mengkilat lagi. Tidak lagi kotor dan dekil. Orang-orang kantoran itu menjadi ‘pd’, ketika masuk kantoran, karena walaupun sepatu itu, tempatnya dikaki, terkadang ada juga yang memperhatikan sepatu mereka, dan kalau jorok, orang lain melihat menjadi risi.
Sepatu walaupun tempatnya di kaki, bukan dikepala, tetap saja itu menjadi simbol atau status sosial, bagi orang-orang tertentu. Banyak orang yang menggunakan sepatu ‘branded’, dan harganya puluhan juta. Mereka menyukainya. Dengan enteng mereka mengeluarkan uangnya yang puluhan juta rupiah untuk membeli sepatu. Biasa di kantor-kantor di ruangan yang eksklusif, dan tertentu, atau di ruangan pertemuan, dan di lobi-lobi hotel, mereka dari kalangan ‘berkelas’, yang selalu mengunjungi tempat yang eksklusif itu, saat duduk selalu mengangkat kakinya, dengan rasa percaya diri ‘pd’, bertemu dengan orang-orang yang menjadi lawan bicaranya. Karena sepatu.
Tetapi, di zaman sekarang ini, ada profesi tukang semir baru, dan pekerjaannya bukan menyemir sepatu. Tetapi, menyemir ‘wajah’ pajabat atau penguasa. Wajah pejabat atau penguasa yang kotor dan legam itu, entah karena perbuatannya yang tidak patut, seperti membuat susah orang, tidak peduli dengan orang miskin, berdusta, menipu, berbohong, berkhianat, korup, membiarkan para koruptor, dan menumpuk-numpuk harta dengan sangat tamak, kemudian disemir , menjadi bersih dan mengkilat lagi.
Banyak ormas dan partai Islam, yang bersedia menjadi tukang ‘semir’ bagi para pejabat dan penguasa, agar sang pejabat dan penguasa itu, ‘wajahnya’ menjadi bersih dan mengkilat lagi. Citranya menjadi naik, mungkin lebih Islami, dan bahkan ‘wajah’ pejabat dan penguasa itu menjadi orang-orang yang berbudi, serta penuh dengan kebaikan. Semuanya itu, tak lain, hasil pekerjaan dari para tukang semir, yang sudah bersedia ‘menyemir’ mereka. Tak heran banyak rakyat yang menjadi pangling dengan para pejabat dan penguasa. Tidak seperti biasanya.
Persyarikatan Muhammadiyah di usianya yang ke 100 itu, memang mengalami pasang surut, dan terkadang terbawa oleh tarikan penguasa, dan meminta Muhammadiyah untuk ‘menyemir’ sang penguasa itu, seperti di masa-masa lalu. Tetapi, Muhammadiyah sebagai organisasi persyarikatan, yang sudah berumur itu, selalu melakukan ‘tajdid’ terhadap dirinya sendiri, sebagai sebuah gerakan dakwah. Tidak selalu berada dalam tarikan dan pelukan penguasa atau kekuasaan. Para pemimpin Muhammadiyah tetap dapat berjalan dengan proporsional (wasath), tidak menjadi ektrim mendukung penguasa, tetapi tidak ekstrim menentang penguasa.
Persyarikatan Muhammadiyah tetap melakukan tugas utamanya,yaitu melakukan ‘amar ma’ruf nahi munkar’, sampai hari ini. Persyarikatan Muhammadiyah menerima hal-hal yang ma’ruf yang dilakukan pemerintah, tetapi tetap melakukan nahyul munkar terhadap pemerintah. Tidak mau terjebak menjadi organisasi yang hanya sekadar stempel pemerintah atau penguasa. Prinsip yang dianut Muhammadiyah, ‘ta’awanu alal birri wat taqwa, wa lal ta’awanu alal ismi wal udhwan’, serta melanjutkan misinya untuk memberantas penyakit ‘TBC’ (Tahayul, Bid’ah, dan Churafat).
Di akhir Muktamar yang penuh dengan hikmah, dan terpilihnya kembali Din Syamsuddin sebagai ketua umum Muhamamdiyah, dan Agung Danarto sebagai sekretaris umum, perserikatan itu membuat rekomendasi kepada pemerintah, yang pertama, menghadapi korupsi yang sudah menjadi penyakit akut itu, Muhammadiyah meminta agar, pemerintah memberlakukan pembuktian terbalik atas kasus korupsi. Ini suatu yang sangat penting. Karena, Indonesia masih menempati negara yag paling korup sejagad, menurut Tranparancy Inernational. Persyarikatan Muhammadiyah juga menolak paham pluralisme, yang menginginkan semua agama itu sama.
Nampaknya, Muhammdiyah tetap sebuah gerakan yang penting bagi pembangunan Indonesia dimasa depan. Organisasi ini tidak mau hanya semata-mata menjadi ‘tukang semir’ wajah pejabat atau penguasa. Sepantasnya umat ini memberikan dukungan kepada Persyarikatan Muhamamdiyah. Wallahu’alam.