Dapatkah hari-hari mendatang umat Islam menjalani kehidupannya dengan bebas, terutama dalam menjalankan keyakinan agamanya? Dapatkah hari-hari mendatang umat Islam melaksanakan hak-hak dasar keyakinannya sebagai wargan negara, tanpa harus dicurigai?
Pasca terjadinya pemboman di hotel JW.Marriot dan Ritz Carlton, nampaknya telah melahirkan ide-ide, bagaimana menangani masalah keamanan di Indonesia. Setiap kali terjadi tindak kekerasan, apapun wujudnya, termasuk pemboman, tentu yang menjadi objek kecurigaan adalah umat Islam.
Memang pasca peristiwa pemboman di Hotel JW.Marriot dan Ritz Carlton itu, melahirkan gagasan atau ide menciptakan sistem keamanan yang sifatnya preventif. Seorang mantan komandan dibidang keamanan, sudah mengintrodusir gagasan atau ide, yang menginginkan diterapkan peraturan seperti di negeri Jiran, yang menggunakan undang-undang ISA (Internal Security Act).
Di mana fihak aparat dapat melakukan penangkapan dan penahahan terhadap siapapun yang dicurigai, tanpa melalui proses hukum, sampai dapat dapat dibuktikan, bahwa seseorang yang ditangkap dan ditahan itu, tidak membahayakan keamanan. Sebenarnya, pemerintah juga sudah memiliki legitimasi untuk bertindak dengan adanya undang-undang anti teroris, yang dapat digunakan sebagai payung hukum menghadapi ancaman terorisme.
Sebelumnya, gagasan ini sudah pernah dimunculkan oleh sebuah lembaga intelijen, yang sedang merumuskan undang-undang dibidang intelijen, di mana lembaga atau aparat intelijen diberikan kembali kewenangan untuk melakukan tindakan preventif, menangkap dan menahan seseorang yang dicurigai membahayakan keamanan negara.
Sekarang, memang aparat intelijen hanya memberikan informasi kepada ‘user’ (pengguna) tentang situasi keamanan, yang disebut dengan ‘ATHG’ (Ancaman,Tantangan, Hambatan, dan Gangguan). Jadi, badan intelijen tugasnya hanyalah memberikan informasi, menyajikan laporan, dan membuat perkiraan keadaan kepada ‘user’, tapi tidak sampai dapat bertindak repressif, seperti melakukan penangkapan dan penahanan.
Masalahnya, siapa yang dapat dianggap menjadi ancaman dan membahayakan keamanan, dan apa kriterianya, baik individu atau kelompok dapat disebut menjadi ancaman dan membahaykan keamanan negara? Apakah tindakan preventif itu hanya dikenakan kepada mereka yang benar-benar akan membahayakan negara saja dan melakukan tindakan kekerasan?
Sebaliknya, langkah-langkah tindakan preventif itu juga ditunjukkan setiap kelompok yang dicurigai sebagai sumber potensi konflik, bahkan perbedaan pendapat atau ideologi, yang berbeda dengan pemerintah dan kekuasaan, masuk dalam kategori ancaman?
Tentu, semua komponen masyarakat, merasa sangat kawatir jika diterapkan langkah-langkah preventif, yang akhirnya akan membunuh hak-hak dasar individu masyarakat, yang mereka mempunyai untuk mengekspresikan dan mengaktualisasikan diri mereka secara penuh. Setiap tindakan dapat dikenai hukuman kalau mereka secara materiil telah terbukti melanggar hukum.
Selama lebih dari tiga dasa warsa, ketika masa pemerintahan Orde Baru, dibawah Presiden Soeharto, mengetrapkan sistem yang sangat represif, dan mengedepankan pendekatan keamanan, justru mengakibatkan rakyat dan bangsa ini, ketinggalan dan terjajah oleh bangsa lain.
Potensi-potensi rakyat tidak dapat berkembang secara penuh, karena iklim kecurigaan yang terus dibangun, dan setiap masyarakat merasa tidak bebas mengekspresikan diri mereka. Kehidupan politik yang sangat represif yang berlangsung selama tiga dekade itu, baru sekarang kita dapat merasakan dampaknya.
Apakah dengan peristiwa yang terjadi di hotel JW.Marriot dan Ritz Carlton, bangsa ini akan mengulangi kembali sejarah yang sudah pernah dijalankan oleh rejim Orba yang lalu? Kemudian, yang terjadi adalah apa yang disebut dengan : ‘State of Crime’ (kekerasan negara).
Tentu, yang paling terkena dampaknya akibat peristiwa pemboman itu, pasti umat Islam, karena di Indoensia, mayoritas adalah pemeluk agama Islam. Dapatkah langkah-langkah keamanan yang akan diambil oleh pemerintah tidak merugikan dan membahayakan hak-hak dasar bagi umat Islam? Wallahu’alam.