Sebenarnya Program 100 Hari Kabinet Indonesia Bersatu Jilid II ini, diharapkan akan menjadi titik awal, yang bakal memberikan legitimasi bagi kelanjutan Presiden SBY memerintah. Presiden SBY dengan ‘miracle’ (keajaiban) 100 Harinya itu, menjadi lebih percaya diri dalam mengelola negara. Kenyataannya semua persoalan dan perkembangan politik yang ada, justru menjadi titik balik, kemerosotan yang dramatis bagi pemerintahan SBY.
Usai melantik Kabinet Indonesia Bersatu Jilid II, justru menghadapi badai ‘Cicak-Buaya’, yang menguras perhatian dan energi pemerintahan baru. Seluruh media hanya meng-‘cover’ peristiwa pertarungan antara ‘Cicak-Buaya’, sebuah usaha-usaha yang sistematis menghancurkan KPK, yang sudah menjadi momok, tapi justru dalam kasus ini, menunjukkan Presiden SBY, tidak tegas, dan terasa ambivalen, sampai harus membentuk sebuah tim, yang dipimpin Adnan Buyung Nasution.
Mengurai masalah ‘Cicak-Buaya’, dan mengembalikan posisi dua orang wakil ketua KPK, Bibit Samad Rianto dan Chandra M Hamzah, sangat panjang dan membutuhkan pressure politik dari masyarakat luas, dan semuanya itu semakin menurunkan kredibelitas Presiden. Karena, posisi Presiden tidak tegas ketika terjadi konflik antara Polri dengan KPK, yang terkesan menjadi berlarut-larut. Karena itu, kondisi yang demikian hanya menghabiskan energi pemerintah dan masyarakat yang terfokus perhatian mereka kepada kasus ‘Cicak-Buaya’. Hakikatnya, siapa yang mempunyai skenario dan ide menghancurkan KPK itu?
Babak kedua, yang tak kalah dramatisnya, kasus bailout Bank Century, yang menghabiskan dana Rp 6,7 triliun, yang keputusannya orang-orang kepercayaan Presiden SBY, yaitu Menkeu Sri Mulyani Indrawati dan Wapres Boediono, yang kala itu menjadi Gubernur BI. Kasus ini menjadi sangat menguras energi, dan tidak ada tindakan yang cepat, dan siapa sejatinya yang paling bertanggung jawab dalam pengambilan keputusan ini? Semuanya nampak ingin cuci tangan, dan saling melemparkan tanggung jawab. Termasuk Marsilan Simandjutak, yang diambil kesaksiannya di depan Pansus Bank Century oleh DPR RI, terkesan sangat menutup peranannya.
Semua fihak-fihak yang pada posisi mengambil keputusan ingin melepaskan tanggung jawab, dan tidak ingin dianggap terlibat dalam kasus pembobolan Bank Century yang menghabiskan dana Rp 6,7 triliun.
Sebenarnya, kesaksian yang diberikan oleh Wapres Jusuf Kalla, sangatlah jelas dan gamblang, pengambilan keputusan bailout Bank Century itu, ada pada Menkeu Sri Mulyani dan Gubernur BI Boediono, yang berkonsultasi dengan Presiden SBY. Meskipun, sekarang dibuat alibi-alibi, yang seakan-akan keputusan bailout Bank Century itu, diluar tanggung jawab Presiden, dan dalam hal ini Presiden tidak tahu menahu. Hal ini tergambar bagaimana Marsilan Simandjuntak, yang selaku orang kepercayaan Presiden SBY, dan sebagai Ketua KP3R, tidak dapat bertanggungjawab dalam pertemuan, dan menegaskan posisinya yang sama sekali tidak ada kaitannya dengan Presiden, ketika bersaksi di depan Pansus DPR.
Di satu sisi, Kabinet Indonesia Bersatu Jilid II ini, sangat ‘gemuk’, dan masih ditambah wakill menteri, yang jumlahnya cukup banyak, enam wakil menteri. Semuanya itu hanyalah akan menambah beban APBN, yang harus dialokasikan untuk anggaran departemen dan menterinya. Tidak tahu apa yang menjadi dasar mengambil keputusan dengan menambah jumlah wakil menteri itu?
Di masyarakat yang menjadi kontroversi, seperti mengganti mobil setiap menteri, yang harganya mobil baru Royal Saloon, Rp 1.3 rupiah. Kalau jumlah pengadaan mobil itu, sampai 70 buah, berapa anggaran yang harus dikeluarkan untuk memberikan fasilitas pejabat negara itu? Mereka belum menunjukkan prestasi apa-apa, tetapi Presiden sudah memberikan fasilitas dengan mobil baru. Padahal, sebelumnya Camry, masih layak untuk digunakan, dan tidak akan menambah anggaran.
Tidak cukup dengan mengganti mobil Camry dengan Royal Saloon, tapi Presiden konon juga sudah menaikkan gaji para pejabat negara per-1 Januari ini. Sungguh sangat luar biasa dan fantastis dengan segala fasilitas dan gaji, tapi tak jelas prestasi yang sudah dikerjakan para anggota Menteri Kabinet Bersatu ini. Belum lagi, kisah tentang pagar Istana, yang direnovasi, yang biayanya mencapai lebih Rp 20 milyar.
Sementara itu, kehidupan rakyat dihimpit dengan berbagai kanaikan harga-harga kebutuhan pokok, ditambah semakin sulitnya mencari penghidupan, karena langkanya lapangan kerja yang ada. Sehingga, rakyat tidak memiliki kemampuan daya beli, dan berakibat balik dengan bangkrutnya berbagai sektor industri dan gulung tikar pabrik-pabrik, termasuk usaha menangah di bidan home industri.
Kisah pahit ini disusul dengan keputusan pemerintah yang ikut dalam kerjasama perdagangan bebas antara Asean – Cina (AFTA). Menurut Deni Danuri, “Seperti saat menghadapi China – Asean Free Trade Area (AFTA) ternyata belum dipersiapkan”, ujar Deni. “Kalau tetap dipaksakan ditengah kondisi yang tidak siap ini, bisa berdampak pada melemahnya indeks industri. Kalau industi melemah, angka pengangguran akan semakin banyak. Akhirnya, inflasi tinggi”, tambah Deni.
Memang, sekarang ini sudah menjadi konflikasi, inflasi tinggi, pertumbuhan ekonomi rendah, pengangguran tinggi, daya beli masyarakat rendah. Semuanya mengarah kepada skenario masa depan yang tidak menggembirakan. Kondisi yang sangat parah ini, masih ditambah dengan hiruk-pikuk politik, akibat berlarut-larutnya kasus Bank Century, yang sekarang seperti menjadi tontotan ‘kejahatan’, yang sengaja dibuat. Maka, seperti dikatakan oleh peniliti senior Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Dr.Siti Zuhro, menilai pemerintahan SBY-Boediono, sejatinya sudah “tenggalam” sejak digelarnya National Summit, di mana dengan tidak adanya cover media massa tentang acara itu.
Mungkin, satu-satunya gebrakan yang menjadi hiburan untuk rakyat, gebrakan yang dilakukan Satgas Pemberantas Markus,yang dipimpin Kuntoro Mangkusubroto, yang melaku kunjungan ke Lembaga Permasyarakatan Wanita di Pondok Bambu, yang menemukan kamar tahanan ‘Ayin’, yang menyulap kamar tahanan , menjadi hotel bintang lima. Tak heran, karena ‘Ayin’ alias Artalyta ini, tak lain orang kepercayaan Syamsul Nursalim, obligor yang telah ngemplang Rp 27 triliun melalui BLBI, dan sekarang berada di Singapore. Apa yang dilakukan Satgas Markus yang dipimpin Kuntoro itu, seperti ‘reality show’, untuk mendongkrak 100 Hari Pemerintah SBY.
Nampaknya program 100 Hari itu, seperti jualan ‘kecap’, yang tak bakal dapat memuaskan keinginan dan harapan rakyat, yang menginginkan kehidupan yang lebih baik. Maka, jangan terlalu berharap terhadap Program 100 Hari, karena tak ada perubahan apapun, khususnya bagi rakyat miskin. Wallahu’alam.