“Aku hanyalah orang biasa seperti halnya kamu sekalian. Hanya saja aku memikul beban yang lebih besar”.
Penghasilannya sebelum dan sampai hari, di mana ia diangkat menjadi penguasa, mencapai 40.000 dinar. Semua itu merupakan pemasukan dari fasilitas yang diperolehnya sebagai seorang keturunan penguasa, yang berasal dari tanah-tanah yang dimilikinya dan peninggalan orangtuanya, yang juga seorang penguasa, yang melimpah ruah.
Justru, sesudah ia menjadi seorang penguasa dan mengenggam kekuasaan, terbukalah matanya terhadap kenyataan yang terpampang dengan sangat jelas dihadapannya, bahwa semua kekayaan yang dimiliki oleh para penguasa sebelumnya, bukan kekayaan yang diperoleh dengan cucuran keringat. Semua kekayaan yang didapatinya dan bertumpuk-tumpuk dalam keluarganya, semata-mata karena adanya hak-hak istemewa.
Dan, semua itu hakikatnya, tak lain adalah milik rakyat, yang dirampas secara sewenang-wenang. Dengan cara itulah para pendahulunya mendapatkan harta yang melimpah, bukan dari cucuran keringat. Sementara itu, rakyatnya dizalimi, dan tidak mendapatkan hak-haknya.
Maka, ketika ia mengambil alih tampuk kekuasaan, dimulailah dari dirinya sendiri, dan dipindahkannya semua hak milik dan kekayaannya ke Baitul Mal. Bahkan, salah satu kekayaan yang menjadi miliknya, dan dianggap paling berharga berupa kebun, diserahkan pula kepada Baitul Mal. Padahal, kekayaan itu bukan dari siapa-siapa, melainkan warisan dari yang diterima dari pendahulunya, yang pernah menjadi penguasa, yang sangat luas pengaruhnya.
“Dari mana ayahanda memperoleh kekayaan itu”, tanya anaknya yang sudah menjadi penguasa, dan memegang kekuasaan, yang amat luas itu.
Allah telah menetapkan kepada Rasul-Nya saat kemenangan di perang Khaibar, bahwa tanah ini (Khaibar) merupakan bagian khusus bagi orang-orang yang berada dalam perjalanan (Ibnu Sabil). Ketentuan ini terus berjalan sampai kekuasaan jatuh ke tangan penguasa sesudahnya, dan ia menghadiahkan tanah ini kepada pamannya, dan kemudian kepada ayahnya.
Sungguh, sangat luar biasa tanah itu juga diserahkan kepada Baitul Mal, meskipun itu menjadi hak miliknya, tapi tetap ia serahkan kepada Baitul Mal.
Kepada gubernurnya di kota Madinah, diperintahkannya agar menyita tanah, dan mengembalikannya sebagai milik negara. Tidak cukup sampai disitu saja, diserahkannya pula setiap keping gaji yang diperolehnya sebagai penguasa. Baginya, apa-apa yang ada sekarang sudah mencukupi kebutuhan dunianya.
Penghasilannya hanya dua ratus dinar pertahun, yang diperolehnya dari hasil sebidang tanah kykang tidak luas, yang dibelinya dengan uang hasil cucuran keringatnya sendiri. Dari penghasilan ini ia menghidupi keluarganya, padahal ia sebagai penguasa. Padahal, penghasilan menjelang diangkat menjadi seorang penguasa, masih 40.000 dinar.
Semua tanah yang menjadi miliknya telah diserahkan kepada negara. Semua kekayaan yang melimpah itu diserahkannya kepada Baitul Mal. Kendaraan dan ternak yang harganya mencapai 23.000 dinar, dijual dan diserahkannya pula.
Dicabutn ya pula hak-haknya yang sah sebagai seorang penguasa, yakni gajinya, bukan seperdua atau sepertiga, tapi seluruhnya. Akirnya, yang tinggal padanya hanya sebidang tanah yang tidak luas,dan dengan penghasilan dua ratus dinar pertahun itulah ia hidup sebagai kepala negara. Ini bukan sebuah fiksi. Tapi, fakta kejadian yang pernah di zaman ke khilafahan Islam.Wallahu’alam.