Eramuslim.com – Bendera merah dan putih kini banyak ditemui di mana-mana. Rakyat Indonesia, walau dalam kondisi mengenaskan, ramai-ramai masih mau menyambut Hari Kemerdekaan NKRI yang ke-72 tahun, 17 Agustus 2017. Namun banyak juga yang dengan nada kritis mempertanyakan relevansi kemerdekaan ini.
“Merdeka apanya jika cangkul dan garam saja masih impor?”
“Merdeka apanya jika menulis fakta di medsos sekarang bisa saja diciduk aparat?”
“Merdeka apa jika mengemukakan kebenaran hari ini bisa dimasukan ke dalam penjara?”
Mari kita tengok buku terbitan tahun 1964 karya Roeslan Abdulgani berjudul “Sosialisme Indonesia”. Dalam satu babnya, buku ini mengupas tentang Revolusi Perancis dengan sangat jujur. Slogan “Liberte, Egalite, Fraternite” (Kemerdekaan, Persamaan, dan Persaudaraan) sesungguhnya bukan untuk rakyat Perancis namun untuk kelompok borjuasi yang saat itu sedang naik daun di sana.
“Liberte” (Kemerdekaan atau Kebebasan) memiliki arti sebagai Kemerdekaan atau Kebebasan kaum pemodal untuk berbuat sesukanya setelah menghancurkan sistem monarki atau kerajaan yang ada. Kaum pemodal atau orang-orang kaya bebas berbuat sesuka hati dengan kekuatan uangnya. Mereka bisa membangun apa saja tanpa peduli dengan urusan regulasi atau peraturan yang ada. Bahkan regulasi atau peraturan bisa dibuat dengan disesuaikan dengan kepentingan kaum kaya ini.
“Egalite” (Persamaan) adalah gotong-royongnya sesama kaum Borjuasi (Pemodal) untuk bersama-sama menjaga situasi dan kondisi yang sudah dikuasainya agar jangan sampai berubah, Rakyat banyak harus ditipu terus menerus dengan kekuatan media dan propaganda agar jangan sampai sadar jika sistem yang ada adalah penjahahan modal yang terselubung. Jika ada rakyat yang menyadari kondisi ril yang berlangsung, maka kekuasaan lewat tangan-tangan aparatur hukum dan keamanan, harus cepat-cepat memberangusnya atau menjebloskannya ke dalam penjara. Bahkan jika perlu, teror pun dilakukan.
“Fraternite” (Persaudaraan), ini adalah Persaudaraannya, Corps d’esprit nya sesama kaum pemodal. Istilah sederhananya bisa dilihat di kaca belakang bus-bus kota zaman dahulu yang bertuliskan “Sesama buskota dilarang saling mendahului” atau bisa diartikan sebagai “Sesama orang kaya dilarang saling ganggu dan saling buka-bukaan”. Mereka menciptakan suatu sistem agar kepentingan mereka bisa terus terjaga.
“Liberte, Egalite, Fraternite” di atas hanya berlaku bagi kaum pemodal, bagi kaum kaya. Bukan bagi rakyat banyak yang terus-menerus berada dalam penindasan, dalam berbagai bentuknya.
Rakyat kecil tetap dalam kemiskinan dan kemelaratannya, walau sistem dan penguasa berganti. Corong-corong propaganda dan jaringan media yang dikuasai kaum kaya setiap detik sepanjang tahun terus-menerus memperdengarkan lagu kepalsuan dan kebohongan. Kesadaran rakyat setiap detik selalu diberi candu agar terus-menerus berada dalam kondisi mabuk dan hilang kesadaran. Para penguasa dengan seenak udelnya mengaku sebagai yang paling benar, mengaku sebagai yang paling amanah, dan menjadi wakil tuhan di bumi. Jika mereka menamakan seekor kambing dengan nama anjing, maka rakyat banyak harus percaya bahwa seekor kambing itu memang anjing. Jika ada yang tetap menyebut kambing maka dia dianggap menyebarkan hoax dan dipenjara.
Bagaimana dengan kemerdekaan di negeri ini? (kl)