Usai sudah kampanye pilpres. Klimaksnya tadi malam di acara debat capres di sebuah stasiun telivisi antara Megawati,SBY, dan JK. Debat putaran ketiga itu, umat akan dapat menyimpulkan terhadap capres yang ada, bagaimana ketiganya secara personal. Diantara ketiganya secara objektif dapat dinilai, kelayakan mereka memimpin negara yang akan datang. Masing-masing menampilkan sisi-sisi pandang dengan latar belakang pribadinya. Siapa diantara mereka yang layak dan berhak dipilih serta diberi amanah oleh umat?
Debat antara capres dan cawapres di telivisi tidak segalanya. Memang sepintas dan selintas sudah terlihat kemampuan kepemimpinan masing-masing, pandangannya terhadap berbagai masalah, cara mereka mensikapinya, dan sekaligus kepribadiannya. Apa yang berlangsung secara singkat debat di telivisi itu, membuktikan hakekat pribadi dan karakter mereka masing-masing. Dari mulai substansi bicaranya, mimik dan gaya bicaranya, dan ekpressi-ekspressi emosinya, semuanya nampak jelas.
Tidak ada lagi yang tertutupi. Umat dapat berinteraksi langsung dengan cara melihat acara debat itu.
Masa depan Indonesia membutuhkan tipologi pemimpin seperti apa?
Indonesia yang sudah merdeka sejak tahun 1945, dan kini tertinggal dibandingkan dengan negara-negara tetangga yang lebih akhir kemerdekaannya, seperti Singapura, Malaysia, Thailand, Vietnam, Kamboja dan Philipina. Mereka bisa lebih maju dibandingkan dengan Indonesia, yang memiliki sumber daya alam, dan sumber daya manusia yang melimpah, tapi para pemimpinnya gagal dan tidak dapat mendayagunakan semua potensi yang dimilikinya. Sehingga, semua potensi itu, semuanya menjadi ‘mubazir’. Malah Indonesia mengalami kemunduran.
Debat capres dan cawapres yang diselenggarakan oleh KPU itu, menyangkut aspek-aspek yang mendasar bagi masa depan bangsa. Masing-masing capres dan cawapres sudah menegaskan pandangannya, yang berkaitan dengan visi, misi, dan masalah-masalah pokok yang dihadapi bangsa, seperti kadaulatan negara, sistem demokrasi, hak-hak rakyat, birokrasi pemerintahan, pendidikan, kesehatan, otonomi daerah, dan penegakkan hukum, serta aspek kemandirian bangsa.
Siapa diantara mereka yang memiliki komitment dengan sungguh-sungguh dan akan memenuinya? Tiga capres Megawati, SBY, dan JK telah menunjukkan dihadapan bangsa Indonesia serta umat, bagaimana sebenarnya komitment mereka itu, berkaitan dengan masalah-masalah pokok itu.
Siapa diantara mereka yang sanggup mengejar ketertinggalan bangsa ini, dan sekaligus menyelesaikan persoalan-persoalan umat, serta meletakkan posisi Indonesia yang terhormat di dalam pergaulan internasional?
Megawati sudah pernah berkuasa dan mengelola negara. SBY sudah berkuasa dan terlibat dalam pegelolaan negara. JK menjadi wakil presiden dan terlibat dalam pengelolaan negara. Umat dan bangsa ini sudah dapat menilai secara objektif dan jelas, tentang hasil apa selama mereka berkuasa. Umat dan bangsa ini tidak seharusnya lagi bisa dimanipulasi hanya lewat iklan, dan berbagai kampanye yang penuh retorika, yang tidak sepenuhnya dapat menjadi dasar ukuran memilih.
Ada persoalan yang mendasar di dalam acara debat capres tadi malam, yang dipersoalkan JK, berkaitan dengan iklan pemilu presiden satu putaran. Iklan ini tak lain dibuat oleh LSI (Lingkaran Survei Indonesia), yang dipimpin Denny JA, yang mempunyai afiliasi dengan Fox, yang merupakan lembaga Konsultan dari Tim Sukses pasangan SBY-Boediono.
Menurut JK, iklan pemilu presiden satu putaran telah mendudukan demokrasi dalam pandangan uang semata. “Saya menyesalkan demokrasi yang dinilai dengan uang”, ucap JK. Lebih lanjut, jika alasannya penghematan dana, lanjut JK, dia sejak tahun 2008 telah meminta KPU menekan anggaran biaya. Biaya pemilu yang diajukan KPU Rp 45 trilyun pun dapat ditekan hanya menjadi Rp 20 trilyun. JK kawatir jika pada 2014 ada iklan untuk ‘lanjutkan terus’, tanpa pemilu karena itu akan menghemat Rp 25 trilyun. Artinya, sejarah politik di Indonesia kembali ke zaman Orde Baru, di mana kekuasaan tidak pernah berganti dari tangan satu orang.
Persoalan lainnya, buruknya tentang DPT, karena masih ada 49 juta pemilih yang belum tercantum dalam DPT. Ini juga menjadi persoalan dalam debat para capres tadi malam. Namun, JK menyatakan, bukan semata-mata masalah buruknya birokrasi pemerintahan, tapi lebih mendasar lagi, yaitu hak politik rakyat bukan hanya persoalan DPT, dan yang paling penting adalah adanya jaminan atas hak rakyat menyampaikan aspirasinya. Jika banyak yang tidak dapat menyampaikan aspirasinya, maka implikasinya terhadap siapapun yang terpilih memimpin bangsa, pasti akan memiliki legitimasi yang rendah.
Perdebatan malam itu, menjadi lebih fokus lagi, ketika JK, menegaskan keterkaitan dengan Bhineka Tunggal Ika, di mana putra kelahiran Watampone itu, menyatakan salah satu suku tidak layak memimpin bangsa Indonesia adalah pandangan yang rasialis. JK mengajak semua fihak berpikir jernih tidak picik. Memang, sekarang ini dikembangkan seolah-olah hanya suku tertentu yang berhak memimpin bangsa Indonesia ini.
Ukurannya sistem meritokrasi, bukan berdasarkan superioritas suku mayoritas. Sehingga, menafikan suku-suku lainnya, dan ini seperti disampaikan ketika berlangsung kampanye cawapres Boediono di Makassar, di mana Andi Mallarangeng mengatakan suku Sulawesi belum waktunya memimpin bangsa ini. Dan, Andi mengajak rakyat Sulawesi memilih pasangan SBY-Boediono. Pandangan-pandangan yang sangat rasialis ini dikembangkan.
Tujuannyan meniadakan calon-calon lainnya, yang bukan dari suku mayoritas (Jawa). Tentu, setiap capres mempunyai peluang yang sama, tidak semata-mata didasarkan asal-usul suku, tapi seperti dikatakan SBY, yang menjadi asas adalah sistem meritokrasi.
Umat perlu menentukan sikapnya dengan pedoman, pertama tidak memilih pemimpin yang menjadikan orang Yahudi dan Nashrani sebagai teman setianya (Qur’an, al-Maidah : 51), dan pemimpin yang suka memperolok-olokan atau menjadikan agama sebagai ejekan, dan permainan (Qur’an, al-Maidah :57), dan umat dapat menentukan pilihan kepada pemimpin yang memiliki seperti digambarkan al-Qur’an,surah al-Mu’minun, ayat 1-11.
Sifat-sifat terpuji yang bersumber dari pandangan al-Qur’an yang harus dimiliki seorang pemimpin inilah yang akan dapat menyelamatkan bangsa dan ummat ini. Jika tidak ada syarat atau kriteria seperti diatas, maka umat perlu ‘tawakuf’ (berhenti) tidak terlibat dalam kegitan politik (siyasah). Walahu’alam.