Tak ada yang bergembira dengan pemerintahan SBY, kecuali para pemimpin partai politik menjadi bagian pemeritah yang tergabung dalam koalisi. Karena mereka mendapatkan berkah dari kekuasaan. Mereka urat kritisnya sudah putus dan hati nuraninya sudah tumpul. Tak ada empati terhadap keadaan rakyat yang semakin banyak menjadi ‘gembel’.
Para pemimpin partai yang tergabung dalam koalisi itu, yang menyatakan sebagai ‘back bone’ (tulangpunggung), dan akan terus menjadi ‘back bone’ Presiden SBY, bukan menjadi ‘back bone’ rakyat, yang sudah sangat terpuruk saat ini. Berbagai sektor ‘amburadul’ , dan rakyat menjadi korbannya. Semua janji-janji selama kampanye di pemilu lalu, hanya menjadi sebuah retorika politik dan slogan yang hampa, tanpa makna, dan sangat miskin implementasi.
Rakyat miskin bertambah banyak. Angka pengangguran berlipat-lipat. Lapangan kerja yang ada tak mampu menyerap tenaga kerja yang baru. Angka pertumbuhan ekonomi yang berkisar 5,4 persen itu, tak mampu menyerap tenaga kerja baru. Sehingga, tidak sebanding pertumbuhan angkatan kerja dengan lapangan kerja semakin timpang. Di mana-mana yang terlihat hanyalah pengangguran. Terbatasnya lapangan kerja ini, hanyalah memberi gambaran betapa suramnya masa depan.
Orang-orang miskin terus meningkat, yang mencapai 40 juta jiwa, mungkin bisa lebih. Mereka yang sudah miskin itu terus dihantam kenaikan harga berbagai kebutuhan pokok, yang terus menerus, tanpa jeda. Sementara itu, mereka tak memiliki penghasilan apa-apa, dan sering kali menjadi tragedi bagi sebuah keluarga miskin. Harga-harga barang kebutuhan pokok yang tak terkontrol oleh pemerintah itu, menjadi pemicu berbagai problem sosial di masyarakat. Sampai terjadi kekacauan di masyarakat. Ini semua menggambarkan bagai tingkat frustasi rakyat yang kian akut.
Segalanya tak ada yang murah. Segalanya menjadi mahal. Pemerintah tak dapat melindungi khidupan rakyat. Biaya hidup mahal. Biaya pedidikan mahal. Biaya kesehatan menjadi mahal. Biaya apapun menjadi mahal. Mengurus apa saja di Jakarta menjadi mahal. Karena birokrasi yang ada, mereka tidak tidak ‘berkhidmad’ kepada rakyat. Rakyat hanyalah menjad objek. Semuanya menjadi susah, sulit, dan mahal. Tak ada yang tanpa uang. Kehidupan menjadi semrawut. Kemacetan, banjir, longsor, gempa, kecelakaan, dan berbagai musibah tanpa henti sepanjang pemerintahan Presiden SBY.
Tentu, selama pemerintahan Presiden SBY ini, yang berlangsung dua periode, rakyat mengharapkan kehidupan yang sejahtera, ditegakkannya ‘good governance’ (pemerintahan yang bersih). Tetapi itu, seperti ‘si pungguk merindukan bulan’, yang tak akan bakal pernah dapat terwujud. Karena, sepertinya Presiden tidak memiliki ‘good will’, hal ini berkaitan dengan sangat bobroknya lembaga penegak hukum mulai dari polisi, hakim, dan jaksa.
Sebagai gambaran terkait dengan Gayus yang belakangan ini menjadi sangat menyita perhatian rakyat. Begitu hebatnya Gayus, sampai-sammpai ia mendapat salinan ‘copy’ tentang keputusan perkaranya sebelum dibacakan. Sungguh sangat luar biasa. Harapan rakyat dengan KPK yang akan memberikan secercah harapan, ternyata KPK, belakangan dibikkin bulan-bulanan dan menjadi mandul. Ini hanyalah membuktikan bahwa upaya-upaya penegakkan hukum di negeri ini sudah mati. Presiden tidak dapat melindungi KPK, yang akan membersihkan birokrasi dari korupsi yang sudah menggurita ini.
Pantas, bila harapan rakyat sekarang terhadap Presiden SBY itu sudah pupus. Tak bersisa. Sebuah media di Jakarta, menggambarkan, bagaimana terpuruknya citra Presiden SBY di mata rakyatnya. Bandingkan pada 2009 yang lalu, saat menjelang pemilu harapan rakyat memilih Presiden SBY itu mencapai 82,6 persen. Tetapi, sekarang angka kepuasan rakyat terhadap pemerintahan SBY menurun drastis hanya tinggal 34,2 persen. Semuanya itu, menggambarkan sikap rakyat terhadap pemerintah yang semakin ‘hopeless’, karena dari hari ke hari tidak menunjukkan adanya sebuah ‘progress’, yang membuat hati rakyat menjadi gembira.
Menurunnya tingkat kepercayaan terhadap pemerintah ini, hanyalah menggambarkan bahwa rakyat telah kehilangan imajinasi tentang sosok pemimpin yang ideal, dan tidak seperti yang mereka harapkan selama ini. Janji-janji di kampanye hanya lah janji kosong belaka. Ketidakpuasan rakyat terhadap pemerintah dalam menangani berbagai persoalan yang ada, dan terkesan pemerintahan Presiden SBY sangatlah lemah, tidak tegas, dan tidak adanya keberpihakan kepada rakyat kecil. Hal ini ditandai dengan berbagai kenaikan-kenaikan harga-harga kebutuhan pokok yang berat.
Bandingkan dengan para pejabat negara yang sekarang sangat menikmati hidup mereka. Apalagi, para pemimpin partai politik, yang mendapatkan berkah dari koalisi, dan mereka mendapatkan ‘kue’ kekuasaan.
Jika di zaman Soeharto dahulu, semuanya di tangan Soeharto dan dengan menggunakan intrumen Partai Golkar, khususnya dalam menjalankan kekuasaannya. Golkar yang selalu menang mutlak dalam setiap pemilu, dan menjadi salah satu ‘tiang’ utama dalam pemerintahan Soeharto, sehingga pemerintahan menjadi efektif. Soeharto dapat berkuasa dalam kurun waktu yang panjang, lebih dari tiga puluh tahun. Golkar menjadi alat legitimasi pemerintahan Soeharto sepanjang waktu.
Sekarang, Pemerintahan Presiden SBY dengan dukungan partai-partai yang tergabung dalam koalisi, yang dilembagakan dalam sebuah intrumen politik yang mengikat yang disebut ‘Setgab’ (Sekretariat Gabungan), yang diketuai Presiden SBY dan Aburizal Bakri, yang menjadi sebuah intrumen yang efektif untuk memutuskan semua kebijakan. Maka, adanya koalisi partai-partai yang menjadi mitra pemerintah sekarang, akhirnya kembali seperti masa lalu, di mana munculnya kekuasaan dalam bentuk ‘oligarki’. Sekumpulan kecil orang yang berkuasa dan menentukan nasib rakyat banyak.
Layaklah sesudah setahun pemerintahan Presiden SBY di periode yang keduanya ini, rakyat mempertanyakannya? Mengapa kehidupan semakin jauh dari cita-cita yang ingin ditegakkan. Wallahu’alam.