Tanpa mengurangi ungkapan rasa duka dan doa untuk para korban musibah yang bertubi-tubi di negeri ini, bencana harus dipahami secara arif. Negara dan para pemimpin bangsa ini sudah kelewat bandel sehingga harus dilakukan sentilan agar mereka jera.
Kebandelan atau kenakalan itu memang bisa dibilang sudah di luar ambang batas toleransi. Lihatlah bagaimana para pemimpin negeri ini terus-menerus berlomba dalam mencuri dan merampok harta negara yang dalam bahasa kerennya disebut korupsi.
Korupsi di negeri ini sudah seperti para pelaku homoseksual yang dipahami sebagai kejahatan luar biasa, tapi kian hari menjadi akrab dalam kehidupan sehari-hari. Lihatlah para pria banci yang saat ini menjadi kian akrab dalam kehidupan masyarakat. Bahkan, menjadi bahan hiburan di hampir semua televisi.
Seperti itulah pergeseran fenomena budaya korupsi di negeri ini. Para pejabat seperti tidak lagi punya malu kalau menjadi tersangka korupsi. Korupsi sudah jadi budaya dan kian menggurita. Di hampir semua kementerian, tanpa kecuali kementerian agama, korupsi sudah menjadi sebuah trend, yang kian hari memperlihatkan modus-modus baru yang jauh lebih canggih dan tampak lebih sopan dan beradab.
Mereka pun seperti saling berta’awun, tolong menolong, satu sama lain. Inilah yang disebut dengan korupsi berjamaah. Pos-pos jabatan dan kekuasaan saat ini, sudah terlanjur diterjemahkan sebagai pundi-pundi untuk para pejabat dan elit partai politik.
Saat ini, nasib rakyat tidak lebih dari barang dagangan yang dijadikan untuk meningkatkan tawar-menawar antara satu elit dengan elit lain di negeri ini. Penyelenggaraan negara sudah hampir benar-benar ’mengurusi’ rakyat, alias membuat potensi ekonomi rakyat menjadi benar-benar kurus.
Pergantian dari satu rezim ke rezim berikutnya tidak memberikan perubahan perbaikan. Hanya terjadi perubahan pelaku korupsi dan modus-modus baru yang kian memasyarakat.
Partai-partai Islam yang seharusnya mengedepankan nilai-nilai akhlak Islam yang begitu tinggi dalam memberi contoh penyelenggaraan bernegara yang lebih beradab, tak ubahnya seperti kiyai lemah iman yang berada di sarang penjudi. Terjadi simbiosis mutualisme antara sang kiyai dengan para petinggi penjudi. Para penjudi merasa aman dan bermartabat karena sudah dapat stempel dari sang kiyai. Dan sang kiyai pun merasa benar karena memegang sebuah sikap: daripada uang itu mengalir ke tangan yang salah hasilnya kembali ke tempat yang haram. Kan mendingan ke tangan saya, bisa untuk kemaslahatan umat. Astaghfirullah!
Kalau kehidupan mengelola negara sudah seperti ini, sudah saatnya teguran dan sentilan diberikan. Kalau juga masih membandel, entah hukuman apa lagi yang akan didatangkan untuk negeri ini.
وَلَنُذِيقَنَّهُمْ مِنَ الْعَذَابِ الْأَدْنَى دُونَ الْعَذَابِ الْأَكْبَرِ لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ
"Dan sesungguhnya Kami rasakan kepada mereka sebahagian azab yang dekat (di dunia) sebelum azab yang lebih besar (di akhirat); mudah-mudahan mereka kembali (ke jalan yang benar)."