Masih legetimit dan pantaskah secara etika politik Presiden SBY memimpin negeri ini? Pertanyaan ini mungkin dirasakan berlebihan. Terasa berlebihan. Karena secara de facto dan de jure Presiden SBY masih menjabat kepala pemerintahan dengan segala kewenangannya. Tidak ada kesalahan yang dilakukannya bisa dikategorikan melanggar konstitusi? Semuanya normal-normal saja.
Mari kita perhatikan dengan seksama, dan dengan pikiran yang jernih selama Presiden SBY memerintah, sejak tahun 2004. Adakah progres dalam pengelolaan negara, khususnya yang menjadi amanah "Reformasi", yaitu menciptakan apa yang disebut dengan: "Good governance", pemerintah yang bersih dari KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme)? Inilah titik yang paling mendasar.
Di mana pemeritahan yang dipimpin Presiden SBY, boleh dikatakan gagal total. Tidak ada progres yang menyeluruh, terkait dengan pemberantasan KKN. Justru di era Pemerintahan Presiden SBY praktik-praktik KKN, semakin subur. Terjadi di semua lini kehidupan.
Presiden SBY hanya sebatas retorika dalam pemberantasan KKN. Tetapi, sangat sedikit implementasinya. Tidak nampak adanya "good will" yang serius terkait dengan pemberatasan KKN. Tidak ada kesungguhan yang dapat dipercaya, yang berkaitan dengan pemberantasan KKN. Maka, selama pemerintahan di bawah Presiden SBY, KKN bukan semakin berkurang, tetapi semakin berkembang dengan luas, ibaratnya sudah seperti binatang "predator", yang memakan apa saja yang ada di Republik ini.
Peristiwa KKN yang menjadi pukulan paling telak terhadap Presiden SBY, yaitu dugaan kasus suap di Kementerian Pemuda dan Olahraga yang melibatkan Nazaruddin, Bendahara Umum Partai Demokrat. Partai Demokrat tidak bisa dipisahkan dengan jati diri Presiden SBY, yang menjadi pendiri dan ketua dewan pembina. Adakah tindakan Nazaruddin yang terlibat dalam kasus suap di Kementerian Pemuda dan Olahraga itu sendirian?
Pernyataan yang menggegerkan seluruh pimpinan dan fungsionaris Partai Demokrat, sampai harus Presiden SBY memerlukan rapat yang sifatnya sangat mendadak dengan seluruh jajaran utama Partai Demokrat dikediamannya Puri Cikeas, saat beredarnya "sms", yang berasal dari Nazaruddin, dan sekarang berada di Singapura yang akan membongkar seluruh kasus yang melibatkan para petinggi Partai Demokrat, dan ia merasa dikorbankan, bahkan ada yang berkaitan dengan moral.
Tentu, kasus yang berkaitan dengan Nazaruddin, Bendahara Umum Partai Demokrat itu, ada yang lebih substansial dan sangat mendasar, yaitu pemberian uang 120.000 dollar Singapura (Rp 860 juta) rupiah oleh Nazaruddin kepada Sekretaris Jenderal Mahkamah Konstitusi (MK) Janedjri M Gaffar.
Ketua Mahkamah Konstitusi Mahmud MD harus memerlukan bertemu langsung dengan Presiden SBY melaporkan dan menjelaskan tentang pemberian uang 120.000 dollar Singapura oleh Nazaruddin kepada Sekretaris Jenderal Mahkamah Konstitusi Janedjri M Gaffar.
Pertemuan antara Ketua MK Mahfud MD dengan Presiden SBY telah menimbulkan berbagai spekulasi tentang substansi pertemuan. Adakah itu hanya semata-mata Mahfud MD melaporkan tentang pemberian uang, atau kemungkinan ada implikasi hukum yang dapat timbul dari pemberian uang itu?
Mahfud MD sesudah bertemu dengan Presiden SBY menindaklanjuti dengan melakukan pertemuan dengan Ketua KPK Busyro Muqaddas, dan masih terkait dengan kasus pemberian uang yang dilakukan oleh Nazaruddin. Ketua KPK Busyro Muqaddas berjanji akan memproses laporan yang disampaikan oleh Mahfud MD itu.
Tetapi, yang perlu diklarifikasi adalah dalam konteks apa Nazaruddin memberikan uang sebanyak 120.000 dollar Singapura itu kepada Sekretaris Jenderal Mahkamah Konstitusi? Adakah pemberian itu tanpa tujuan apapun? Atau pemberian uang itu mempunyai motif dan tujuan tertentu yang terkait dengan lembaga yang paling "prestisius" yang mengadili setiap sengketa terkait dengan perundang-udangan dan masalah pemilu dan pilkada?
Setidaknya ada yang menjadi "big question" (pertanyaan besar) di masa lalu, yang diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi, yaitu hasil pemilu legislatif 2009 dan pilpres 2009, yang keduanya menjadi sengketa dan yang memutuskan adalah Mahkamah Konstitusi.
Pemilu legislatif 2009, di menangkan oleh Partai Demokrat dengan perolehan suara hampir 35 persen, sementara pemilihan presiden, pasangan SBY-Boediono mendapatkan suara 61 persen.
Tetapi, kedua hasil pemilihan menuai protes yang luar biasa, khususnya dari partai-partai dan pasangan calon presiden peserta pemilu, karena adanya dugaan kecurangan. Akhirnya, semuanya diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi.
Adakah Partai Demokrat "the real party", yang memiliki infrastruktur dan kader yang menyebar di setiap daerah? Sehingga, Partai Demokrat layak memenangkan pemilu legislatif, yang berhasil melakukan penggalangan terhadap rakyat melalui kadernya? Atau kemenangan Partai Demokrat dalam pemilu 2009, hanyalah permainan otak-atik di KPU dan lembaga survey seperi "quick qount"? Sekarang ini salah seorang anggota KPU, Andi Nurpati diangkat menjadi anggota Partai Demokrat , sekarang menjadi "jubir" partai, menggantikan Luhut Sitompul. Semuanya dalam teka-teki belaka.
Seperti dikatakan oleh Mahfud MD, bahwa negara sekarang dalam bahaya. Karena KKN sudah sistemik, bahkan menurut Mahfud sekarang saling menyandera. Saling terkait satu sama lainnya. Sehingga, masalah korupsi itu, bersifat menyeluruh, dan bukan hanya satu partai atau institusi, tetapi sudah menyeluruh. Partai, kekuasaan, dan bisnis, satu sama lainnya, saling berkelindan. Karena itu penegakkan hukum tidak berjalan.
Mahfud menegaskan, berdasarkan fakta sejarah dan ajaran agama dan agama manapun, suatu negara yang tak mampu menegakkan keadilan hanya menunggu waktu hancur. Kegagalan rezim Orde Baru, karena adanya faktor KKN yang sudah menjadi sangat determinan, segala lini terlibat KKN. Bagaimana Partai Demokrat sebagai partai berkuasa "the ruling party" kemudian terlibat dalam KKN, yang sangat luas dan sangat komplek?
Ini memberikan "warning" bagi kekuasaan Presiden SBY, sepertinya "senja" di langit Cikeas, yang gelap masa depan kekuasaannya, karena terlibat KKN, dan Presiden SBY berada dalam pusaran KKN, dan tidak mampu mewujudkan keadilan hukum di negeri ini. Wallahlu’alam.