Adalah Ruhut Sitompul yang melemparkan gagasan mengamandemen UUD’45, yang berkaitan dengan kekuasaan jabatan Presiden. Tujuan Ruhut yang menginginkan amandemen terhadap UUD’45 itu, agar Presiden SBY bisa menambah masa jabatan kekuasaannya. Gagasan Ruhut Sitompul yang menjadi anggota DPR dari Partai Demokrat itu, akhirnya menimbulkan kontroversi dan polemik.
Tak kurang Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfudz MD, menanggapi gagasan Ruhut Sitompul, dengan menyatakan, “MPR harus menggagalkan rencana amandemen UUD’45 tentang kekuasaan Presdien”. Mahfud menambahkan, “Yang harus menolak adalah MPR, kalau saya menolak usulan itu", ucap Mahfud di Gedung MPR, Rabu kemarin.
Lebih lanjut, di negera yang menjunjung konstitusi, kekuasaan harus dibatasi seperti tertuang dalam UUD’45. Lembaga yang berwenang menolak usulan perpanjangan kekuasaan Presiden menjadi tiga periode adalah MPR. “Kita tidak suka Presiden menjabat lebih dari dua periode”, tegas Mahfud. Hal senada dikatakan oleh Ketua Golkar Priyo Budi Santoso, yang menyampaikan, bahwa amandemen UUD’45, yang tujuannya untuk memperpanjang jabatan Presiden, dia nilai sebagai tindakan yang tidak elok.
Bahkan, Ketua Mahkaman Konstitusi (MK) Mahfud MD, menegaskan, bahwa melakukan amandemen UUD’45, yang tujuannya hanya untuk memperpanjang jabatan presiden sebagai bentuk pengkhianatan reformasi, ujarnya. Karena, ketika saat reformasi dan dilangsungkan amandemen UUD’45, yang pertaman kali diamandemen dalam UUD’45, adalah pembatasan jabatan Presiden, dan hanya dapat dipilih satu kali lagi dalam masa jabatan berikutnya. Artinya, jabatan Presiden hanya dapat berlangsung dua periode.
Memang, UUD’45, sebelum di amandemen, bunyinya, ‘Presiden dapat dipilih setiap lima tahun sekali’, sehingga Presiden Soeharto, dapat dipilih sampai enam kali. Artinya, karena UUD’45, yang tidak ekplisit dalam membatasi jabatan Presiden, dan dengan konstitusi yang lama, membuati seorang Presiden dapat memanipulasi konstitusi, sehingga Soeharto dapat dipilih sampai enam kali. Inilah yang terjadi di masa lalu di zaman Soeharto.
Kekuasaan Soeharto benar-benar menjadi seumur hidup, dan tidak ada yang dapat menggeser kekuasaannya, karena Soeharto dengan menggunakan konstitusi itu, selalu dapat dipilih setiap lima tahun, dan berkuasa lebih dari tiga puluh tahun. Meskipun, tak ada yang bersifat abadi, dan Soeharto lengser di tahun 1998, akibat gerakan reformasi, yang menuntut dirinya mundur.
Presiden SBY rupanya mendengar reaksi yang keras dari para tokoh masyarakat, yang tidak menghendaki Indonesia kembali ke zaman Soeharto jilid II, maka Presiden SBY, memilih menolak, dan tidak mau memperpanjang jabatannya untuk kedua kalinya, sesudah tahun 2014. Bahkan, Presiden SBY juga menolak kelompok-kelompok atau partai, yang menginginkan keluarganya, seperti isteri atau anaknya untuk menggantikan posisinya sebagai Presiden, menjelang pemilu di tahun 2014.
Sikap yang diambil oleh SBY ini, menunjukkan kesadarannya yang mendalam, karena selama pemerintahannya, tidak menunjukkan adanya prestasi yang luar biasa, sebagai seorang pemimpin, khususnya dalam menyelesaikan krisis yang dihadapi bangsa Indonesia saat ini.
Kondisi bangsa Indonesia menunjukkan ke arah yang semakin melemah, dan meningkatnya dominasi asing atas negara Indonesia. Termasuk penguasaan asset negara yang sekarng dikuasai oleh asing. Sumber daya alam yang melimpah, tak membuat rakyat makmur, sesudah merdeka 65 tahun. Jumlah rakyat miskin bukan semakin berkurang, tetapi semakin bertambah banyak. Pengangguran semakin berjibun. Sungguh ini sebuah ironi.
Justru, perusahaan asing masuk ke dalam negara Indonesia dan menguasainya. Bahkan, sampai masuk ke jantung ekonomi rakyat, yaitu dengan banyak retil dari perusahaan global, yang diizinkan masuk ke Indonesia, dan bahkan sekarang menguasai pasar, yang menyebabkan hancurnya ekonomi rakyat, dan pasar-pasar tradisional. Seperti masuknya Carrefour dan lainnya.
Indonesia telah kembali dikuasai oleh asing. Harga-harga kebutuhan pokok terus melonjak, dan rakyat tak mampu lagi menjangkau harga-harga, yang sekarang memang semua kebutuhan pokok dikuasai para pemilik modal, yang terus memburu laba, dan tidak peduli nasib rakyat miskin, termasuk para petani di desa.
Kondisi yang buruk ini, ditambah dengan adanya kasus-kasus korupsi yang tidak berkurang, karena Presiden SBY, kurang terasa ‘greget’nya, terutama memperbaiki dan mereformasi aparat penegak hukum, seperti polisi, hakim, dan jaksa. Sehingga, cita-cita reformasi yang menginginkan adanya ‘good governane’, hanya menjadi sebuah impian belaka. Korupsi masih tetap marak, dan tidak dapat habis, karena akibat aparatnya tidak bersih.
Mestinya, Presiden SBY mempunyai langkah tegas, khususnya dalam membangun adanya ‘good governance’, melalui pembersihan dikalangan instansi penegak hukum. Karena syarat menjadi bangsa yang maju, tak lain adanya sebuah pemerintah yang bersih alias ‘good governance’. Seperti yang sekarang dilakukan oleh pemerintah China yang menghuukum mati setiap koruptor di negaranya. Siapapun yang melakukannya.
Langkah Presiden SBY yang ingin mengakhiri jabatan kekuasaan di tahun 2014, sekaligus akan membuat berbagai spekulasi politik di masa depan. Siapa yang bakal menjadi pewaris ‘tahta’ kekuasaan di Indonesia di masa mendatang?
Siapa dan kekuatan politik mana yang akan muncul, memperebutkan kekuasaan di Indonesia, menjadi orang nomor ‘satu’, yang menggantikan Presiden SBY. Apakah mereka tokoh yang dapat menyelesaikan krisis, atau justru para ‘pecundang’ politik? Wallahu’alam.