Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) adalah daerah miskin. Kehidupan rakyatnya sebagian hanyalah di topang dari sektor pertanian. Sebagian lagi kehidupan rakyat DIY dari sektor jasa. Seperti adanya tempat-tempat wisata yang mempunyai efek ekonomi bagi penduduk Yogyakarta. Selebihnya para mahasiswa dan pelajar dari luar Yogyakarta, yang menuntut ilmu di kota itu, ikut menghidupi rakyat Yogyakarta.
Musim kemarau datang Yogyakarta cukup terik. Kering. Di mana rakyat Yogyakarta hidupnya hanya akan bergantung dari sektor jasa. Pertanian di musim kemarau tak jalan. Realitas ini yang terjadi sehari-hari di Yogyakarta. Sangat berat kehidupan mereka. Lebih-lebih rakyat Gunungkidul atau Wonosari. Di musim kemarau, kering kerontang. Tak ada air. Pemerintah DIY setiap musim kering harus mengirim air dengan mobil tangki ke daerah itu. Sampai hari ini.
DIY tiga kali tertimpa musibah bencana. Dua kali terkena musibah bencana, satu kali terkena bencana politik. Pertama, musibah terkena bencana gempa. Di mana daerah DIY dan sekitar sebelum meletusnya gunung Merapi, sudah terkena bencana gempa. Daerah yang paling terkena bencana Kabupaten Bantul. Bantul ketika terkena gempa, banyak bangunan yang luruh. Kota itu porakporanda. Rakyat sendiri yang membangun, sebagian ada bantuan dari pemerintah, dan sebagian lagi dari swadaya rakyat. Sampai hari ini belum pulih kehidupan mereka, akibat gempa yang menghantam wilayah itu. Meskipun, bangunan-bangunan yang roboh sudah dibangun kembali, seperti rumah dan gedung, dan masjid-masjid telah berdiri.
Kedua, musibah bencana yang lebih dahsyat, meletusnya gunung Merapi. Ini dampaknya sangat luar biasa. Terhadap DIY dan kota-kota sekitarnya. Seperti Sleman, Yogyakarta, Muntilan, Boyolali, dan Yoygyakarta sendiri. Sangat luar biasa. Mengubah seluruh totalitas kehidupan mereka. Tak sedikit yang meninggal. Rakyat yang ada disekitar gunung Merapi telah kehilangan segalanya. Termasuk mereka kehilangan harta yang paling ‘berharga’, yaitu ternak hewan. Sapi, kambing, dan ayam.
Presiden SBY menjanjikan akan mengganti ternak rakyat yang mati. Tetapi, konon sampai hari ini, tak kunjung tiba, ternak yang dinanti-nanti rakyat itu. Mereka kecewa. Sama seperti yang dialami rakyat Bantul, yang dijanjikan akan diberi ganti rugi, bagi rumah dan bangunan mereka yang roboh, tetapi itu hanya menjadi sebuah janji. Begitulah kehidupan rakyat DIY. Hanya yang ada di kota Yogyakarta, sebagian yang mereka dapat hidup sedikit ‘makmur’, karena jasa. Tetapi, kebanyakan mereka, tetap miskin.
Meletusnya gunung Merapi telah menjadi sebuah prahara, yang menimpa rakyat DIY, dan kini mereka memulai kehidupan baru, sesudah tanah dan tempat tinggal mereka luluh-lantak, akibat bencana meletusnya gunung Merapi.
Tetapi, kini belum usai menerima musibah bencana berupa gempa dan meletusnya gunung Merapi, rakyat DIY sudah harus menerima, letusan yang lebih dahsyat, yaitu letusan politik, bersamaan dengan adanya RUU DIY, yang secara terang-terangan akan mereduksi Sultan Yogyakarta. Inilah persoalan baru yang sekarang dihadapi rakyat Yogyakarta.
Sepertinya Presiden SBY dan pemerintah tidak mau mengalah, dan tetap akan memaksakan rumusan yang akan mengatur proses sirkulasi kepemimpinan di DIY melalui pemilihan langsung. Bukan melalui penetapan. Keputusan rapat kabinet paripurna, yang dipimpin langsung Presiden SBY, bersikukuh proses dan mekanisme pemilihan atau sirkulasi kekuasan di DIY, di dalam RUU DIY, yang diusulkan tetap melalui pemilihan langsung.
Rakyat DIY menolak. DPRD DIY telah memutuskan secara mayoritas memilih penetapan, kecuali Partai Demokrat. DPD juga telah mengambil keputusan yang mendukung aspirasi rakyat DIY yang menginginkan penetapan. Artinya DPRD DIY dan DPD telah bersepakat dengan keputusan politik yang mereka ambil menanggapi aspirasi rakyat, dan draf RUU DIY, yang memilih penetapan. Inilah persoalan politik yang sangat serius dan akan mempunyai efek domino. Terutama nasib Indonesia sebagai negara NKRI.
Bila tidak tercapai titik temu antara keinginan Presiden SBY dan pemerintah dan rakyat DIY, maka ini akan sampai pada tingkat mengancam eksistensi NKRI. Suara yang menginginkan referendum semakin kental dikalangan rakyat. Mereka sudah tidak peduli dengan pemerintah pusat. Diantara mereka sudah ada yang menanggapi sikap pemerintah pusat dengan cara membuat ‘paspor’ dengan : Republik Yogyakarta Hadiningrat. Ini tidak main-main. Serius.
Di wilayah-wilayah lain, terdapat masalah, yang kira-kira hampir sama dengan yang dihadapi rakyat DIY. Masalah keadilan, penghargaan, dan respon pemerintah pusat terhadap aspirasi dan kondisi rakyat, yang terkadang sangat lambat, dan tidak aspiratif.
Menyelesaikan kasus ini tidak dengan cepat, dan hanya melandaskan mekanisme formal dan legal, seperti hanya mengandalkan DPR semata, maka ini, hanya akan menciptakan sebuah dampak politik yang diluar prediksi. Karena, sudah ada pernyataan, dari Ketua Umum Golkar, Aburizal Bakrie, sebagai wakil ketua Setgab, menolak untuk menjadi penyelesai kasus DIY ini.
Berlarut-larutnya kasus DIY ini akan membawa situasi politik yang semakin tidak kondusif bagi kehidupan nasional Indonesia. Pengunduran diri Ketua DPD Partai Demokrat DIY, Prabukusumo, yang adik Sultan, sebuah isyarat, yang sangat tegas, di mana semua elemen politik dan golongan di DIY bersatu menghadapi Presiden SBY dan pemerintah pusat. Ini harus menjadi perhatian Presiden SBY, dan pemerintah pusat, khususnya dalam menangani kasus DIY.
Jangan sampai DIY menyusul Timor-Timur, yang melepaskan diri dari NKRI, sesudah referendum. Sebab, ini akan menjadi preseden politik bagi Presiden SBY, yang gagal menjaga NKRI. Wallahu’alam.