Belakangan ini tumbuh di cluster-cluster model rumah minimalis. Sebuah jenis temuan baru dalam kazanah dunia arsitektur, yang berbeda dari sebelumnya. Banyak kalangan yang menggemari model rumah minimalis. Karena itu, para pengembang di bidang ‘realstate’ sekarang ini terus mengembangkan rumah model baru ini.
Rumah model baru ini dengan model minimalis, tentu harganya tidak minimalis (murah). Justru rumah minimalis ini harganya menjadi maksimalis (mahal). Hanya orang-orang tertentu yang dapat membeli, memiliki dan menikmati gaya model minimalis. Karena, rumah model minimalis, yang ukuran tanah dan bangunannya lebih 200 meter, dan dua lantai, harganya rata-rata sudah lebih dari Rp 4 milyar. Bagi mereka yang kantongnya lebih tebal, terutama para ekskutif, direktur, dan pejabat, harga-harga itu tidak menjadi masalah. Semuanya dapat terjangkau.
Bagi mereka kategori yang berkaitan dengan hidup, seperti sandang, papan, dan pangan, menjadi hal-hal yang sifatnya primer. Papan (rumah) menjadi primer. Meskipun, mereka yang memiliki posisi sebagai ekskutif, direktur, dan pejabat, sangat sedikit waktunya yang digunakan di rumah, berkumpul bersama keluarga, isteri, anak, dan familinya. Mereka berangkat pagi hari, dan pulang larut malam, bahkan dini hari. Tentu, alasannya sangat klasik, ada meeting dengan partner kerja, atau ada negosiasi dengan ekskutif lainnya. Dilingkungan keluarganya apa yang terjadi setiap hari itu menjadi mafhum adanya.Semuanya berjalan secara rutin.
Waktu yang mereka miliki lebih banyak di luar rumah, dan apalagi sekarang ada sarana komunikasi, seperti hp, facebook, email, dan webcam, yang dapat berkomunikasi serta melihat langsung dengan lawan berbicaranya. Jadi, rumah fungsinya hanya, aksesoris, melepas lelah, dan mengucapkan ‘say hello’ kepada keluarganya, seperti isteri, anak, dan familinya. Jadi intensitas pertemuan keluarga, waktuknya tidak perlu banyak-banyak. Memang dari luar nampak begitu menariknya bangunan rumah, yang disebut dengan minimalis itu.
Sekarang, ada pemandangan baru di Jakarta, yaitu rumah model yang benar-benar minimalis. Yaitu sebuah gerobak, yang agak besar, yang dimiliki para pemulung, dan bisa dibawa ke mana-mana, dan bisa digunakan tempat tidur, jika di malam hari. Padmo (tidak nama sebenarnya), seorang pemulung yang memiliki isteri dan anak, mereka sangat setia dengan rumah minimalisnya itu. Kemana pergi Padmo, isteri dan anaknya, tak pernah lepas dengan rumah minimalisnya itu. Terkadang, anaknya diletakkan di dalam gerobaknya, yang ditarik oleh Padmo, dan isterinya mengikuti dari belakang.
Rumah minimalis Padmo tidak perlu uang milyaran rupiah untuk membuat atau membangunnya. Tapi, rumah itu sangat fungsional, dan sekaligus dapat digunakan mencari rezeki setiap hari. Tidak perlu biaya perawatan yang biayanya yang sangat mahal. Rumah itu juga tidak kawatir dengan semakin seringnya terjadi gempa di Indonesia. Mungkin inilah model rumah masa depan di Indonesia. Tidak perlu menjaganya dengan satpam, anjing, dan bahkan menyewa aparat keamanan.
Para pemulung jumlahnya semakin banyak. Mereka harus tetap hidup. Mereka tidak mampu membeli tanah, dan sekaligus rumah di area ‘cluster’, yang harganya milyaran rupiah. Apalagi, penghasilan mereka dari hasil mengumpulkan kertas kardus, dan barang-barang yang dibuang oleh para penghuni rumah-rumah yang ada di ‘cluster’, yang sebenarnya, tak mungkin dapat membuat rumah, seperti orang yang normal pada umumnya.
Tapi, yang namanya orang tidur pasti tidak dapat membedakan, apakah dia tidur diatas kasur di rumah dengan model minimalis lebih nikmat, atau mereka yang tidur di dalam gerobak ‘minimalis’, yangh lebih nikmat? Karena keduanya mereka yang sedang tidur itu, matanya tertutup, dan tidak dapat membedakannya. Apakah tidur di atas kasus yang mewah, empuk, dari bahan latex, lebih nikmat? Atau orang-orang yang tidur di gerobak,yang sudah letih seharian mengais barang-barang bekas, bersama dengan keluarganya isteri, dan anaknya, itu terasa lebih nikmat?
Tak jarang orang yang tidur diatas kasur empuk dari bahan latek dengan ‘cover bed’, hanya dapat bergulang-guling, semalam suntuk, dan baru dapat memejamkan matanya, ketika sudah menghabiskan beberapa butir obat penenang ‘tidur’. Sementara itu, pemulung, yang bersama isteri dan anaknya, hanya tinggal memarkir gerobaknya yang minimalis itu, dipinggiran emper toko, dan metutup atasnya dengan plastik, sudah dapat tidur nyenyak sampai pagi.
Krisis yang mendera orang-orang kelas ‘pinggiran’ ini, membuat mereka tak banyak punya pilihan, mereka harus hidup dengan minimalis, termasuk harus hidup di rumah minimalis mereka, berupa gerobak, yang setiap harinya mereka tarik dan dorong bersama dengan isteri dan anaknya. Inilah kehidupan orang-orang yang tersisih dalam kehidupan. Mereka tak pernah mendapatkan perhatian. Tetapi, mereka tetap memiliki harapan hidup bersama dengan keluarganya. Tak pernah putus asa.
Seperti ditunjukkan oleh seorang pemulung, yang anaknya meninggal, dan anaknya dibawa ke mana-mana di dalam gerobak, karena tidak memiliki biaya untuk mengubur anaknya. Tetapi, ia tidak putus asa, dan tidak mau dipisahkan dengn rumahnya yang ‘minimalis itu, yaitu gerobak. Dan, gerobak alias rumah minimalis inilah yang menjadi tumpuan harapan bagi kehidupan mereka.
Semoga mereka tetap memiliki harapan bagi kehidupan masa depannya, tentu kehidupan di dunia yang tidak panjang akan segera berakhir. Dan, akan mengakhiri penderitaan, kecewaan, ketidak adilan, dan segala nestapa di dunia ini. Wallahu ‘alam.