Banyak yang marah dan kecewa. Khususnya warga keturunan Arab. Mengapa? Pasalnya, Anggota Tim Kampanye SBY-Boediono, Ruhut Sitompul, di dalam sebuah dialog di stasiun TV swasta, mengatakan bahwa ‘Arab tidak pernah membantu Indonesia’, ucap Ruhut. Menurut Ruhut, yang paling banyak membantu Indonesia adalah AS, tambahnya. Kelihatannya, Tim Kampanye SBY-Boediono, Ruhut Sitompul ini, bukan hanya benci terhadap Arab, tapi juga mempunyai konotasi negatif terhadap Islam.
Namun, fakta-fakta di bawah ini menunjukkan, betapa luar biasanya dukungan rakyat dan para pemimpin Arab, yang bahu membahu dengan para pemimpin Indonesia, dan memberikan bantuan bersifat total, bagi tegaknya negara Republik Indonesia. Mereka dengan gigih memberikan dukungan bagi kemerdekaan, dan sekaligus memberkan pengakuan terhadap negara Republik Indonesia, di awal kemerdekaannya. Apakah fakta sejarah ini harus dihapuskan oleh Ruhut Sitompul?
1.Menjelang kelamnya malam, di bulan Juli 1945, sekumpulan orang Indonesia, yang umumnya para kelasi, yang ada disebuah penginapan sederhana, mereka berkumpul, disertai para mahasiswa Indonesia yang ada di Mesir. Mereka mendiskusikan tentang persiapan Indonesia merdeka. Muhammad Zein Hassan, seorang mahasiswa yang hadhir dalam pertemuan itu, menyatakan, ‘Kalian sebaiknya meninggalkan kapal-kapal Sekutu agar tidak menodai perjuangan’, ujar Zein kepada para kelasi yang ada di Port Said, Terusan Suez. Lalu, ucapan Muhammad Zein itu disambut para kelasi dengan ungkapan, ‘Jika fatwa itu sudah turun, kami akan mematuhinya’, ujar salah satu diantara mereka. Dan, pertemuan itu ditutup pukul satu dinihari, dan disertai dengan sumpah setia dari semua yang hadir terhadap perjuangan bangsanya yang ada di tanah air.
Sedangkan di Mesir, muncul sikap antipati dari rakyatnya terhadap penjajah Inggris, yang dicetuskan oleh gerakan Ikhwanul Muslimin, yang memelopori gerakan anti penjajah, dan memberikan dukungan kepada perjuangan rakyat Indonesia yang ingin merdeka. Maka, ketika seorang informan dari Kedutaan Belanda, di Kairo, Mansur Abu Karim, membaca berita kemerdekaan Indonesia, di sebuah Majalah Vrij Nederland, bagaikan angin yang berhembus kencang, yang melanda seluruh TimurTengah.
Di sejumlah kota Mesir,Gerakan Ikhwanul Muslimin, menggelar aksi munashoroh besar-besaran mendukung penuh kemerdekaan Indonesia. Selanjutnya, sejumlah ulama membentuk ‘Lajnah Difa’ian Indonesia’ (Panitia Pembela Indonesia). Lajnah Difa’ian ini dideklarasikan, pada 16 Oktober 1945, di Gedung Pusat Perhimpunan Pemuda Islam dengan Jendral Saleh Harb Pasya, sebagai pemimpin pertemuan itu. Pertemua yang berlangsung dalam waktu singkat itu, dihadiri oleh sejumlah tokoh Ikhwan, seperti Hasan al-Banna, Prof.Taufiq Syawi, Muhammad Ali Taher (pemimpin Palestinia), dan Sekjen Liga Arab, Dr.Salahuddin Pasya. Dalam kesempatan itu, Dr.Salahuddin menyerukan kepada seluruh negara Arab dan Islam untuk segera mendukung, membantu, dan mengakui kemerdekaan RI. Panitia yang dipimpin Jendral Saleh Harb itu, juga mengancam Inggris, agar tidak membantu Belanda kembali ke Indonesia. “Jika Inggris membantu Belanda untuk kembali ke Indonesia, maka Inggris akan menaui kemarahan dunia Islam di Timur Tengah”, ancam Salahuddin.
2.Kuatnya dukungan rakyat Mesir terhadap kemerdekaan RI, tak lain atas desakan dan lobi yang dilakukan para pemimpin Ikhwanul Muslimin, dan membuat pemerintah Mesir mengakui kedaulatan pemerintah RI, pada 22 Maret 1946. Inilah pertama kalinya negara asing mengakui kedaulatan RI secara resmi. Dalam kaca mata hukum internasional, maka lengkaplah persyaratan bagi Indonesia menjadi negara yang berdaulat. Kemudian, wakil-wakil Indonesia di PBB, diperbolehkan ikut sidang, sesudah adanya pengakuan negara-negara Arab terhadap Indonesia. Bahkan, kala itu, gerakan dari rakyat Arab, terutama di Mesir, aksi demonstrasi ke Kedutaan Belanda di Kairo, terus berlangsung, semuanya dilakukan oleh kepanduan Ikhwan. Kondisi membuat ketakutan Kedutaan Belanda di Kairo, dan mencopot lambang dan bendera mereka.
Puncaknya, pemerintah Indonesia dibawah Presiden Soekarno, mengirim delegasi ke Kairo, 7 April 1947, dan inilah delegasi pertama Indonesia yang pergi ke luar negeri. Di Hotel Hiliopolis Palace, Kairo, sejumlah pejabat tinggi Mesir, dan dunia Arab, mengunjungi delegasi Indonesia. Diantra para, tamu yang ikut menemui delegasi Indonesia itu, termasuk tokoh oposisi di Mesir, dan juga pemimpin Ikhwanul Muslimin, Hasan al-Banna. Inilah barangkali sekelumit, hubungan Arab-Indonesia, di awal kemerdekaan, yang tidak mungkin dihapus.
Sebalinya, Barat dan Eropa, mereka tak lain adalah kaum penjajah, sejak dahulu, hingga kini. Sejak zaman VOC, sampai berkembangnya Kapitalisme, yang mengeruk habis kekayaan alam (SDA) Indonesia, mulai dari Free Port (Irian Jaya), yang dikuasai oleh Perusahaannya Mc.Moran, sampai ke blok Cepu, yang dikuasai oleh perusahaan Exxson. Dari Caltex di Riau, sampai Bontang, yang ada di Kalimantan. Jadi, mereka para penjajah Barat dan Eropa itu, melalui doktrin, yang sangat terkenal, yaitu ‘Gold, Gospel, dan Glorius’ (Emas, Kitab Injil, dan Kemenangan). Mereka ingin menjajah dan memperbudak bangsa-bangsa muslim selama-lamanya. Bahkan, penjajahan sepertinya ingin dilestarikan oleh kelompok Mafia Berkeley, yang sekarang bercokol di sekitar kekuasaan, yang ada.
Inilah faktanya yang dilakukan negara-negara Barat, sebaliknya, negara-negara Arab, sebagai sesama bangsa muslim telah memberikan dukungan terhadap bangsa Indonesia sejak sebelum Indonesia merdeka. Mungkin, Ruhut Sitompul, belum membaca sejarah. Maka, layak kalau Ketua Persaudaraan Nasionalis Arab Indonesia (PNAI), Rusjdi Basalamah, memprotes pernyataan Ruhut,yang sangat merendahkan bangsa Arab, khususnya dalam kontek politik Indonesia dewasa ini. Karena, seperti Presiden SBY dan Boediono, yang mendapatkan perhatian dan penghargaan hanyalah AS dan Eropa, tapi bangsa Arab yang memberikan dukungan sejak kemerdekaan tidak mendapatkan penghargaan.
Padahal, ketika terjadi bencana Tsunami di Aceh, yang begitu dahsyat, rakyat dan pemerintah negeri-negeri Arab, termasuk Turki dengan spontan, memberikan dukungan dan bantuan kepada rakyat Aceh. Bahkan, seorang tokoh Ikhwan Dr.Mu’in Abdul Futuh, berkunjung ke Aceh, melihat langsung dari bencana Tsunami di wilayah. Ditambah lagi, lembaga-lembaga khairiyah, mereka berlomba-lomba membantu saudara yang ada di Aceh. Pemerintah dan lembaga khairiyah di Turki ikut membantu di Aceh, termasuk membangun rumah-rumah penduduk, yang hancur. Masihkah ini tidak diakui oleh Anggota Tim Kampanye SBY-Boediono-Ruhut Sitompul? Wallahu’alam.