Di saat masyarakat Muslim di seluruh pelosok negeri mengalami kerusakan dan kelemahan di berbagai bidang kehidupan, datanglah pasukan Salib, dan mereka berhasil mengalahkan Bani Saljuq di Asia Kecil, dan menguasai ibukota Nicea. Tetapi, pasukan Salib tidak berhenti , sampai kemudian menguasai wilayah Syam, dan memaksa penduduknya untuk membayar jizyah kepada mereka. Betapa hinanya.
Serangan pasukan Salib bertambah agresif, sehingga menguasai wilayah yang sangat luas. Tahun 491 Hijriyah/1097 Masehi, pasukan Salib terus memperluas serangan, dan berhasil menaklukan Anthakiyah, dan terus melakukan serbuan, dan berhasil merebut Baitul Maqdis (Palestina), tahun 492 Hijriyah/1098 Masehi.
Disetiap kota dan desa yang dilaluinya pasukan Salib melakukan pembantaian terhadap penduduk dengan sangat keji. Kuda-kuda yang mereka tunggangi berlumuran darah korban-korban pembantaian yang terdiri dari laki-laki, perempuan, anak-anak.
Para raja dan penguasa tidak melakukan tindakan apapun untuk menghentikan invasi pasukan Salib yang terus mengganas, seluruh lapisan masyakat malah sibuk dengan urusan-urusan pribadi. Tidak ada yang peduli dengan nasib saudaranya yang dibantai oleh pasukan Salib.
Sejarah mencatat gambaran-gambaran yang ironis tentang sikap para pemimpin Islam dan penguasa dan masyarakat Muslim yang lebih mementingkan urusan pribadi daripada berusaha menghadapi bahaya yang mengancam. Ibnu Jauzi dalam bukunya al Muntazham dan Ibnu Al Atsir juga sejarawan lainnya, menceritakan ketika pasukan Salib menguasai kota Ramallah, Quds, dan ‘Asqalan, mereka membunuhi penduduk kota itu. Di kota al-Aqsha mereka membantai 70.000 kaum muslimin, yang meliputi ulama, pelajar, ahli ibadah, ahli zuhud, ahli fiqh, dan rakyat kota itu. Darah menggenang di mana-mana.
Kemudian, usai peristiwa itu penduduk wilayah Syam mengirim utusan, dan menemui Khalifah Bani Abbas dan penguasa di wilayah Timur. Ibnu Atsir dan Ibnu Katsir menggambarkan keberangkatan utusan penduduk Syam, dan hasil dari misi itu.
“Para penduduk pergi melarikan diri dari Syam menuju Iraq, mereka meminta bantuan kepada raja dan Sultan atas serangan pasukan Salib dari Eropa. Diantara mereka ada yang ditemani oleh Qadhi Abu Sa’ad al Harawi. Ketika masyarakat Bagdad mendengar berita itu menjadi gempar dan menangis tersedu-sedu”. Kemudian mengutus para fuqaha untuk memangkitkan semangat jihad umat. Kenyataan pahit ini, mendorong ahli syair, Abu al-Muzjaffar al Abiwardi, dan kemudian melantunkan syairnya :
Darah kami bercampur air mata yang tercucur,
Tidak ada lagi bagian tubuh yang tak terbalut luka,
Senjata yang paling rapuh adalah air mata yang berde rai,
Ketika perang semakin memanas dengan pedang yang saling beradu,
Alangkah malangnya putera-putera Islam,
Disaat sekain bahaya besar mengancam anak keturunanmu,
Bagaimana mungkin mata ini bisa tidur lelap,
Ketika di dera berbagai penderitaan,
yang membangunkan setiap orang tidur,
Saudara-saudara mu di Syam ,
Tidur diatas bantalan pembantaian atau ,
Di dalam perut binatang-binatang buas,
Tentara Salib telah membuat mereka terhina,
Sementara engkau terus bergelimang nikmat,
Dan hanya bersikap pasrah,
Ibn Taghri Badri melanjutkan para penyair dan ahli pidato terus berusaha membangkitkan semangat kaum Muslimin, namun tak membuahkan hasil. Ibnu Taghri mengemontari usaha-usaha yang dilakukan para penyair dan ahli pidato dengan,
“Akhirnya Qadi Abu Sa’ad dan delegasi lainnya kembali dari Bagdad menuju Syam tanpa mendapatkan bantuan sedikitpun, wa laa haula wa laa quwwata illa billah”.
Para raja dan sultan tidak peduli dengan kondisi umat Islam di Palestina, yang sudah dibantai oleh pasukan Salib. Sangat menyedihkan sikap para raja dan sultan yang tidak peduli dengan pembantaian pasukan Salib yang sangat keji di al-Quds.
Digambarkan oleh Ibn Taghri Bardi, yagn menceritakan salah seorang utusan membawa sekarung besar yang berisi tumpukan tulang belulang manusia, rambut wanita, dan anak-anak, lalu menggelarnya di depan para penguasa. Ironinya, sang penguasa itu justru berkata kepada menterinya : “Biarkan aku sibuk dengan urusan yang lebih penting! Merpatiku, si Balqa’, sudah tiga hari menghilang , dan aku belum melihatnya”, cetusnya.
Umat dan para pemimpin serta penguasanya sudah tidak lagi memperhatikan akan nasib umat Islam, yang di ‘mangsa’ pasukan Salib, di abad ini. Di mana di Bagdad, Kandahar, dan Palestina, kaum muslimin dibantai, dan dihancurkan, tanpa peduli.
Tetapi, sebaliknya para pemimpin umat dan penguasanya bercengkarama dengan pembunuh kaum muslimin, serta tertawa-tawa, tak merasakan kepedihan saudaranya. Seakan tidak terjadi apa-apa. Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un. Wallahu’alam.