Presiden : Politik Uang Bisa Hancurkan Demokrasi

Presiden SBY mengatakan, demokrasi di suatu negara tumbuh dan berkembang dengan baik jika prosesnya menghindari politik uang. Jika politik uang terjadi, hal itu bukan hanya mereduksi demokrasi atau kedaulatan rakyat, melainkan akan menghasilkan pemimpin pemerintahan yang melayani mereka yang membayar saja.

Presiden menyatakan hal itu pada Forum ke-6 World Movement for Democrazy di Jakarta, Senin (12/4). “Tantangan terbesar demokrasi sekarang ini adalah politik uang. Ini menjadi masalah banyak negara. Demokrasi seperti itu pada akhirnya hanya melahirkan demokrasi artifisial (semu) dan mengurangi kepercayaan dan dukungan politik”, kata Presiden.

Kalau kian besar politik uang, ujar Presiden, semakin sedikit aspirasi masyarakat yang diperjuangkan oleh pemimpin politik. Ia percaya praktik demokrasi seperti itu akan menghancurkan demokrasi itu sendiri. “Untuk melawan politik uang ini, kita memerlukan strategi jangka pendek, menengah, dan jangka panjang”, tutur Presiden, tanpa merincinya.

Tetapi, hakekatnya demokrasi itu, tak bisa dilepaskan dari akar ideologi kapitalisme. Di mana kaum kapital, yang menguasai modal, dan mempengaruhi dan ‘membeli’ para calon pemimpin, mulai dari tingkat nasional, wilayah sampai lokal. Tidak ada calon pemimpin yang tidak berhubungan dengan pemilik modal atau kaum kapital, yang menguasai modal.

Mutualisma-simbiosa antara penguasa dengan pengusaha, sudah berkelindan, dan tidak dapat dipisahkan satu dengan lainnya. Para calon pemimpin ditingkat nasional, wilayah dan lokal, tak mungkin dapat naik menjadi pemimpin, tanpa adanya modal (kapital). Tak heran para pemilik modal dapat mempengaruhi para pemimpin secara efektif. Kemudian, para pemimpin yang sudah berkuasa itu, membagi kekuasaannya atau kekuasaannya menjadi alat para pemilik modal, yang kemudian menguasai negara.

Di Indonesia tak ada pemilihan yang merupakan mekanisme demokrasi, tanpa melalui uang. Semua menggunakan dan memerlukan uang. Sudah menjadi fakta pemilihan presiden, wakil presiden, anggota legislatif, dan kepala daerah, semuanya tak terlepas dari politik uang.

Pilihan rakyat bukan semata-mata merupakan kesadaran politik, yang benar-benar atas pemahaman esensi demokrasi, tetapi lebih banyak dipengaruhi faktor uang.

Sekarang harga sebuah demokrasi menjadi sangat mahal. Karena seorang kandidat atau partai politik, harus mengeluarkan biaya kampanye, yang menggunakan mendia cetak dan elektronik, dan semuanya itu dengan biaya yang mahal. Belum lagi biaya untuk membuat atribut partai, dan kegiatan sosial serta kemanusiaan, yang semua tujuannya untuk menarik dukungan politik rakyat.

Maka di era reformasi dan keterbukaan ini, dan kebebasan yang berlandaskan sistem demokrasi, dan hak-hak rakyat melalui sistem yang dijamin undang-udang, nampakn ya sudah  sangat terbuka lebar adanya politik uang.

Sekalipun banyak yang menolak dikaitkan adanya kasus korupsi dan manipulasi ini dikaitkan dengan sistem demokrasi .

Seperti dikatakan oleh Misbakhun, yang sekarang ini menjadi tersangka, menyatakan keberatannya. Ia merasa tidak bisa dipersandingkan dengan tersangka/terdakwa kasus korupsi, termasuk politik uang yang menjerat kader partai politik.

“Tidak ada kasus korupsi yang dituduhkan kepada saya. Jika saya diadukan ke polisi, itu jua bukan kasus korupsi. Bahkan, saya melaporkan balik. Sampai kini, tidak ada kader PKS yang terjerat kasus korupsi”, ujar Misbakhun.

Sebaliknya, Sekjen PPP Irgun Chairul Mahfiz, mengakui kadernya ada yang terjebak kasus korupsi dan dan termasuk politik uang. Jika memang bersalah dengan kekuatan hukum tetap, PPP akan menjatuhkan sanski pemecatan kepada kader itu. Sementara itu, Ketua Bidang Hukum dan Hak Asasi Manusia PDIP, Tri Medya Panjaitan, menegaskan, rekam jejak kader, termasuk bersih atau tidak dari kasus hukum, selalu menjadi bahan pertimbangan partai. Sekjen Partai Demokrat, Amir Syamsuddin, menegaskan Partai Demokrat tidak akan melindungi dan menyediakan bantuan hukum bagi kadernya yang terkena kasus korupsi.

Boleh dikatakan hampir merata semua anggota legisaltif, dan tokoh-tokohnya tidak ada yang tidak terjerat dengan politik uang. Seperti yang gamblang, ketka pemilihan Deputi Gubernur BI, Miranda Gultam, setidak ada empat frkasi, yang anggota legislatifnya menerima suap untuk memuluskan Miranda Gultom menjadi Deputi.

“Presiden SBY sebagai Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat berkali-kali menegaskan, Demokrat tidak akan menjadi tempat berlindung para koruptor”, tegasnya.
Tetapi, adakah pernyataan Presiden SBY masih relevan dengan kondisi yang ada di Indonesia, bahwa tidak ada politik uang?

Seperti apa yang diucapkan Presiden itu, tidak sesuai dengan fakta dan kondisi yang ada di Indonesia, yang selama ini, sangat kasat mata, di mana semua partai-partai politik yang ada, tak ada yang tidak berekaitan dengan uang, khususnya dalam mendapatkan kekuasaan. Pernyataan Presiden itu kepada siapa sesungguhnya diarahkannya. Wallahu’alam.