Dari awal sudah dapat diprediksi kegagalan yang dihadapi Presiden Barack Obama. Gagasan Obama yang pernah menjadi janjinya ketika kampanye, kenyataannya tidak dapat dibuktikan. Presiden Amerka yang mendapatkan Nobel Perdamaian itu, belum lama ini, menurut majalah The Financial Time telah menyerah, dan tidak sanggup lagi menegakkan perdamaian di kawasan Timur Tengah, khususnya menyelesaikan konflik antara Palestina-Israel.
Tidak lama Presiden Barack Obama memasuki Gedung Putih telah menunjuk diplomat kawakan George Mitchel yang berhasil menyelesaikan konflik di Irlandia, antara golngan Kristen dan Katolik, yang sudah berlangsung puluhan tahun, dan mengakibatkan banyak korban jiwa. Tetapi, langkah-langkah diplomatik, melalui ‘shuttle diplomacy’ itu, di mana Mitchel telah mengunjungi negara-negara Timur Tengah, yang mempunyai posisi kunci dalam konflik, seperti Mesir, Arab Saudi, Yordania, Suriah dan Israel. Langkah-langkah diplomasi itu, tak membuahkan hasil. Mitchel gagal membawa pihak-pihak yang terlibat konflik ke meja perundingan.
Masalah pokoknya yang menyebabkan misi George Mitchel gagal, dan akhirnya menyebabkan Presiden Obama menyerah, dan tidak lagi mempu menyelesaikan konflik di Arab-Israel, tak lain, pertama perubahan politik di Israel, dan kedua adanya pressure (tekanan), yang begitu hebat dari lobby Yahudi baik di Amerika, Eropa, dan Israel, yang menyebabkan pemerintah Obama tidak berani keluar dari koridor yang sudah menjadi keinginan Israel.
Perubahan politik di Israel, tampilnya pemerintahan baru di Israel yang dikuasai kelompok ultra kanan, yang sangat anti Arab, yang tidak mungkin mau mengakomodasi pandangan-pandangan masyarakat internasional, khususnya guna mengakhiri konflik Arab-Israel. Koalisi antara Partai Likud,yang memiliki garis politik yang sangat ektrim, dan menolak segala pandangan yang memberikan konsesi politik terhadpa Arab, ditolak dengan mentah-mentah.
Seperti, tampak dalam pandangan-pandangan yang dikeluarkan dari pernyataan Perdana Menteri Israel Benyamin Netanyahu, yang menolak kompromi politik yang sangat minimal sekalipun, seperti bentuk ‘dua negara’ Arab (Palestina) dengan ibukotanya Yerusalem Timur, serta adanya negara Israel, yang dapat hidup berdampingan secara damai.
Ektrimitas dari para pemimpin Partai Likud, yang sekarang memimpin pemerintahan Israel, seperti Benyamin Netanyahu ini, masih ditambah dengan pendatang baru di kazanah politik Israel, tampilnya Partai Yisraeli Beitenieu, yang dipimpin oleh seorang imigran Yahudi berasal dari Rusia, Avigdor Lieberman, yang lebih ekstrim, dan menginginkan agar seluruh warga Arab yag ada sekarang ini dari wilayah yang diduduki Israel. Kombinasi antara Benyamin Netanyahu dengan Lieberman ini, menjadi seluruh penghalang ide-ide pembaharuan yang diinginkan oleh Presiden Barack Obama, yang nantinya diharapkan akan menciptdakan perdamaian di Timur Tengah.
Tentu, isu paling krusial, yang terjadi sekarang berkaitan dengan konflik Arab-Israel, adanya kebijakan pemerintah ‘ekstrim kanan’, yang merupakan gabungan antara Likud dengan Yisraeli Beitenieu, yang terus melakukan perluasan pemukiman Yahudi di Yerusalem Timur dan Tepi Barat, dan menjadikan ke dua wilayah itu, sebagai koloni Israel secara permanen.
Adanya pembangunan pemukiman baru bagi Yahudi, yang sekarang datang berbondong-bondong ke Israel, membuat perubahan demografis secara besar-besaran. Setiap hari terjadi pengusiran dan penghancuran rumah-rumah warga Arab, dan banyak yang kemudian mereka hidup dengan cara menggelandang. Langkah-langkah Israel itu, menyebabkan banyak warga Arab, di Yerusalem Timur dan Tepi Barat, yang melakukan eksodus ke negara-negara Arab di sekeliling Israel, Ini memang dikehendaki oleh Israel. Menlu Avigdor Lieberman pernah menyatakan agar selulruh warga Arab,yang masih tersisa sekarang ini mengungsi ke Yordania, dan bergabung ke dalamnya.
Tetapi, bukan karena faktor perubahan politik di dalam negeri Israel, yang menyebabkan Presiden Barack Obama menyerah, yaitu ada faktor lainnya, pressure (tekanan) dari organisasi lobby Yahudi di Amerika yang sangat kuat, agar Obama tidak memberikan konsesi politik apapun bagi Arab. Kunjungan Obama Mesir, dan pidatonya, di Universitas Al-Azhar telah menimbulkan kegelisahan dikalangan lobby Yahudi, bahkan termasuk para pejabat Israel.
Semua itu ditindak lanjuti dengan pertemuan para tokoh Lobby Yahudi di Gedung Putih,yang mereka terang-terangan menolak konsep ‘dua negara’ Palestina-Israel. Konsep ini dianggap oleh Israel telah mati. Israel pun tidak ingin mengembalikan sejengkalpun tanah-tanah Arab yang sudah dirampas dalam perang tahun 1967. Maka, langkah-langkah George Mitchel, yang menjadi Utusan Khusus, Presiden Barack Obama itu, hanyalah misi yang sia-sia, dan tidak membuahkan hasil apa-apa. Karena, prinsipnya Amerika sudah bertekuk lutut di depan ‘tuan’nya yang bernama Israel.
Apalagi, Obama banyak bergantung dengan para ‘funding’ Yahudi, yang telah memberkan dukungan politiknya, ketika Obama bertarung memenangkan pemilihan presiden. Kini, pamor Obama telah melorot, dan tidak lagi menjadi faktor penting lagi dirinya, karena gagal menghadapi pemerintahan Israel yang di dominasi sayap kanan dan lobbhy Yahudi. Obama telah menyerah. Wallahu’alam.