Besok DPR mengambil keputusan terkait dengan kasus bail out Bank Century. Keputusan yang diambil DPR besok, menunjukkan masing-masing pilihan politik oleh partai-partai yang ada, menggambarkan jati diri mereka. Apakah mereka jenis partai pragmatis yang oportunistik, atau sebaliknya partai yang memiliki komitmen terhadap tegaknya nilai-nilai hukum.
Semua partai politik dalam wacananya pasti mengemukakan komitmennya membela kepentingan rakyat. Faktanya banyak partai yang menjadikan komitmen kepada rakyat itu hanyalah menjadi ‘jualan’, tak ada realisasinya. Semua hanya janji kosong. Komitmen yang diucapkan tak pernah diwujudkan dalam tindakan. Mereka hanya pandai melakukan ‘retorika’, dan tak ada yang dilaksanakan dalam bentuk yang konkrit.
Rakyat sudah terlalu kenyang dipencudangi wakil rakyat. Rakyat hanya menjadi korban retorika dan wacana, yang menggunakan kosa kata, yang muluk, tapi semuanya tak pernah menjadi bentuk konkrit, yang memang benar-benar terwujud dalam komitmen, yang dirasakan rakyat.
Sejak tahun 2004, awal pemerintahan Presiden SBY, kasus-kasus seperti kanaikan BBM, yang berlangsung dua kali, tetap tak ada sikap pembelaan DPR terhadap kebijakan yang memberatkan rakyat. Hak Angket BLBI, akhirnya kandas, karena mereka semuanya, tak mendukung dilaksanakan Hak Angket terkait dengan BLBI,yang sudah meludeskan uang negara Rp 650 triliun. Kasus Lapindo di Sidoardjo, DPR membentuk Pansus, akhirnya juga kandas, tak berujung sebuah penyelesaian, yang benar-benar adil, terutama bagi mereka yang sudah menjadi korban lumpur Lapindo. Soal import beras yang sempat menjadi berita besar di berbagai media, juga hilang begitu saja. Semuanya kasus-kasus yang menjadi kewajiban dan tanggung jawab DPR, kasusnya harus dibuka dan diselesaikan semua gagal.
Besok Pansus DPR akan mengambil keputusan politik, berkait bail out Bank Century, yang sudah menghabiskan uang Rp 6,7. Bagaimana partai-partai politik mengambil pilihan politik, terutama terkait dengan kasus Bank Century ini? Adakah mereka menggunakan ‘common sense’ (akal sehat), dan lebih berpihak kepada rakyat, dan menjadikan hukum sebagai supremasi? Artinya, tidak lagi mengkompromikan antara praktik-praktik pelanggaran hukum, yang sudah kasat mata itu, di barter dengan kursi (kekuasaan), yang sekarang mereka nikmati itu?
Memang, faktanya partai-partai politik itu, mereka sudah diikat dengan koalisi, yang ‘to be or not to be’ harus mendukung pemerintah. Inilah resiko pilihan politik, ketika mereka harus melakukan koalisi dengan kekuasaan, dan kemudian mereka mendapatkan ‘share’ (bagian) kekuasaan, yang berbentuk fortopolio (jabatan) di kabinet. Semua partai yang tergabung dalam koalisi sekarang ini, berada dalam kekuasaan.
Sepanjang tahun 2004-2009, partai-partai politik yang ada itu, selalu mengatakan ‘sami’na wa atho’na’ (mendengar dan melaksanakan), apa yang sudah menjadi kebijakan dan keputusan politik dari Presiden SBY, berkait dengan berbagai kebijakan, yang tidak jarang sangat merugikan rakyat. Diantara seperti kenaikkan harga BBM, yang selama pemerintahan Presiden SBY, berlangsung lebih dua kali. Semua mendapatkan dukungan dari partai-partai politik, yang menempatkan wakilnya di DPR. Tidak ada yang menolak kebijakan-kebijakan yang merugikan rakyat. Termasuk keputusan politik yang diambil pemerintah SBY di tahun 2009, yang ikut meratifikasi (mensyahkan) pernjanjian liberalisasi perdagangan antara Cina dengan Negara-negara Asean (CAFTA), yang akan mempunyai dampak terhadap Indonesia, meningkatnya jumlah pengangguran secara massal, dan gulung tikarnya industri teksil dan manufuktur di Indonesia.
Sekarang partai-partai politik, yang tergabung dalam koalisi, tidak menunjukkan semuanya mendukung pemerintah dalam kasus bail out Bank Century. Setidaknya ada dua partai, yang menunjukkan sikapnya tidak mau mendukung pemerintah SBY, terkait dengan bail out ini, yaitu Golkar dan PKS.
Mengapa mereka sekarang berputar haluan? Padahal, mereka dulunya adalah partai yang paling konsisten, dan terutama PKS yang mengatakan diri mereka sebagai ‘the back bone’ (tulang punggung) koalisi. Tetapi, dua kekuatan politik Golkar dan PKS yang mempunyai posisi kunci, sekarang dalam posisi yang ‘vis a vis’ ( berhadap-hadapan) dengan pemerintah, dan tidak mempedulikan posisinya lagi di pemerintahan yang ada. Terutama nasib menteri-menteri mereka.
Pertama, pemerintahan SBY sudah tidak lagi memiliki legitimasi politik yang kuat, dan citra politiknya terus menurun. Kedua, SBY akan berakhir di tahun 2014, dan berdasarkan konstitusi (UUD ’45), tidak mungkin maju lagi untuk jabatan yang ketiga kalinya.
Melalui momentum kasus Bank Century ini, Golkar dan PKS ingin membangun kembali citranya yang sudah terpuruk, dan akibatnya dukungan politik terhadapnya sepanjang tahun 2004-2009, yang secara langsung mempengaruhi sikap konstituen mereka, maupun kepercayaan kader mereka masing-masing. Akibat sikap politik yang sangat terkesan pragmatis oportunistik itu, kalangan kader mereka tidak lagi mempercayai partai mereka. Inilah yang menjadi taruhan masa depan mereka.
Mereka berpikir lebih baik kehilangan kursi di kabinet, dan meninggalkan koalisinya dengan SBY, dibandingkan mereka harus kehilangan kepercayaan dari konstituen, dan kehilangan kepercayaan kader mereka. Karena partai yang sudah tidak dipercayai kadernya lagi, ditambah tidak dipercayai konstituennya, ini berarti hanyalah menunggu lonceng kematian. Keberadaan mereka hanya tinggal nama belaka. Tanda-tanda seperti itu sudah mulai nampak, dan menjadi sebuah penomena.
Maka momentum kasus Bank Century ini, sebuah momentum yang sangat berharga, dan mereka manfaatkan secara maksimal, membalikkan sejarah mereka, yang mula-mula dari partai pragmatis oportunistik, dan selama ini hanya menjadi ‘stempel’ pemerintah, bahkan selalu menjadi ‘bemper’ pemerintah, khususnya dalam berbagai bidang kebijakan yang merugikan rakyat, kini berubah secara radikal menjadi partai yang seolah-olah ideologis, yang membela kepentingan rakyat, dan mendasarkan sikapnya dengan nilai-nilai. Inilah sebuah permainan politik (power game), yang dijalankan para ‘menak’ partai.
Semuanya belum selesai. Segalanya masih bisa berubah. Karena, hakekatnya yang menjadi ideologi para pemimpin partai itu, tak lain hanya kepentingan semata-mata, bukanlah nilai-nilai (agama). Mungkin pasca Century nanti, terjadi negosiasi politik, misalnya kalau sampai Boediono dan Sri Mulyani mundur, karena dianggap sebagai pihak yang paling bertanggung jawab.
Segitiga antara Golkar, PKS, dan SBY, kemungkinan masih bisa melakukan negosiasi politik, memformat ulang kabinet yang akan datang. Ini hanyalah bagian dari permainan politik (power game), atau memang Golkar dan PKS, sementara ini ingin rehat, berada diluar pemerintahan, sembari membangun citra mereka kembali sebagai sebuah partai, yang tidak pragmatis yang oportunistik, dan berada di garis depan membela rakyat.
Mereka mungkin lebih mementingkan citranya, agar mendapatkan kepercayaan kembali dari rakyat maupun para kader, yang sudah pada meninggalkannya. Wallahu ‘alam.