Israel melakukan pilihan perang dengan Hamas, sesudah mereka menyepakati gencatan senjata selama enam bulan. Pernyataan ini disampaikan secara resmi oleh Perdana Menteri Israel, Ehud Olmert, yang menyatakan bahwa perjanjian gencatan senjata dengan Hamas berakhir.
Keputusan ini dipicu oleh serangan mortar dan roket yang dilakukan para pejuang Palestina ke dalam wilayah Israel. “Kami akan menggunakan kekuatan militer kami”,ujar Menteri Pertahanan Israel Ehud Barak.
Pilihan perang yang dilakukan Zionis-Israel ini merefleksikan sikap politik yang asli para pemimin Zionis Israel, yang tidak menginginkan perdamaian. Sebelumnya, Presiden Israel Shimon Peres, memuji Raja Arab Saudi, Abdullah, ketika berlangsung Konferensi Agama-Agama, yang berlangsung di Markas Besar PBB, di New York, di mana pemimpin Israel itu menyatakan : “Kami sangat memuji pandangan yang mulia Raja Abdullah”, ucap Peres. Tapi, sekarang justru para pemimpin Zionis-Israel, sendiri yang menginginkan perang.
Apa dibalik rencana serangan besar-besaran yang akan dilakukan rejim Zionis-Israel itu? Dan, mengapa kebijakan perang diambil pasca terpilihnya Barack Obama, sebagai presiden Amerika?
Pertama, langkah yang dilakukan pemerintah pemerintah Olmert sekarang ini, akibat gagalnya Menlu Israel Tzipi Livni membentuk kabinet beberapa waktu yang lalu, karena ditolak kelompok partai Ortodoks Shas, yang tidak mau memberikan dukungan terhadap Tzipi, maka perlu langkah keras berupa sikap ‘perang’ terhadap Hamas. Karena, selama ini Olmert yang memimpin Kadima, dianggap kebijakannya terlampau lunak,bahkan gagal menghadapi Hisbullah di Lebanon Selatan.
Tapi, sikap yang diperlihatkan oleh pemimpin Partai Kadima Olmert dan Tzipni ini, hanya bersifat temporer,karena mereka gagal membentuk kabinet, dan harus menghadapi pemilu di bulan Januari nanti. Berbagai kalangan yang memprediksi dan hasil jajak pendapat, jika pemilu digelar sekarang, hasilnya menunjukkan akan kekalahan Partai Kadima, yang memunculkan kembali Partai Likud, yang sekarang ini dipimpin mantan perdana menteri Benyamin Netanyahu.
Keputusan Olmert yang melakukan serangan militer ke Gaza itu, sebagai langkah tekanan terhadap pemimpin baru Amerika, Barack Obama, yang dikawatirkan akan berubah sikapnya terhadap Zionis-Israel. Belum lama ini, Barack Obama menelpon Presiden Palestina, Mahmud Abbas, dan menyatakan, dukungannya terbentuknya dua negara Palestina – Israel. Obama mengharapkan adanya hidup berdampingan secara damai dua komunitas, Arab-Israel dengan masing-masing perbatasannya.
Masalah ini, masih sangat kontroversi dikalangan para pemimpin Israel. Apalagi, penegasan tentang Negara Palestina ‘merdeka’ adalah momok buat kalangan Ortodoks Yahudi. Artinya, gagasan Obama itu, di tingkat implementasinya, pasti akan menghadapi tantangan yang kuat dikalangan Yahudi Ortodoks, yang mereka tidak menginginkan adanya Negara Palestina merdeka. Sebelumnya, parlemen Israel (Knesset) telah memutuskan bahwa Yerusalem timur dan barat, merupakan dua wilayah yang tidak terpisahkan, dan menjadi hak mutlak bagi bangsa Yahudi.
Langkah strategis yang akan dilakukan fihak Amerika, melalui Menlu Condoleeza Rice, dengan menggunakan tangan Saudi dan Mesir, Amerika ingin mengakhiri kekuatan militer Hamas, yaitu membentuk pasukan perdamaian yang akan ditempatkan di Gaza. Karena, Israel dan al-Fatah gagal menghadapi kekuatan militer Hamas, maka sekarang menggunakan tangan Liga Arab, terutama Mesir adan Arab Saudi, melucuti senjata Hamas.
Ini adalah scenario paling buruk yang dijalankan Menlu Condoleeza Rice, yang menjalankan misinya ke Timur Tengah. Diharapkan sebelum Bush turun dari kursi kepresiden , kekuatan militer Hamas sudah dapat dilucuti.
Jadi, Hamas sekarang ini harus menghadapi militer Israel, yang memanfaatkan kondisi politik di dalam negeri Israel, akibat perebutan kekuasaan dari partai-partai yang ada, termasuk Kadima, disisi lain, Hamas harus menghadapi langkah Amerika yang menggunakan Mesir dan Saudi untuk mengakhiri kekuatgan militer Hamas.
Negara-negara Arab yang tergabung dalam Liga Arab, yang beranggotakan 20 negara, dan dua Negara Mesir san Saudi Arabia, yang mempunyai peran sentral dalam organisasi itu, ingin menghabisi Hamas, karena Hamas dituduh bagian dari Iran. Liga Arab, terutama Mesir dan Arab Saudi, tidak ingin Hamas menjadi kekuatan poliltik dan militer yang kokoh di Palestina,maka perlu dieliminir, sehingga tidak lagi menjadi ancaman bagi Negara sekelilingnya.
Inilah ironi yang sangat luar biasa yang dialami Hamas. Sementara itu, penduduk Gaza dalam keadaan gelap gulita, akibat embargo minyak yang dilakukan Israel. Tapi, masih harus menghadapi makar dari Negara Arab sekelilingnya.
Konferensi yang akan dilangsungkan di Mesir, yang akan mempertemukan faksi-faksi yang terlibat konflik sekarang ini, justru hanya dijadikan alat bebarapa Negara Arab, yang ingin memaksakan konsepnya untuk menetralisasi kekuatan militer yang dimiliki Hamas. Dan, ini tak lain adalah skenario Amerika dan Israel, yang sejak dari awal tidak menginginkan kuat secara militer dan politilk Hamas eksis di Gaza. Wallahu ‘alam.