Demi sebuah keyakinan agama, orang bersedia melakukan apa saja. Agama yang diyakini oleh seseorang memberikan motivasi, daya tahan hidup, dan bahkan orang bersedia mati, demi membela keyakinan agamanya. Membela agama yang diyakini itu sebuah keniscayaan. Membela dan menegakkannya itu sebuah kewajiban.
Peristiwa yang terjadi di Cikeusik, Padeglang, yang mengakibatkan tiga anggota Ahmadiyah mati, harus dilihat akar masalahnya, yang menjadi sumber konflik. Ahmadiyah yang mengaku golongan Islam, tetapi prakteknya mempunyai Nabi Gulam Mirza Ahmad, dan Kitab Tadzkirah. Para pemuka Ahmadiyah terus mengajarkan ajaran mereka, yang dikalangan Islam, sudah dipandang sebuah penyimpangan yang sangat prinsip.
Departemen Agama Republik Indonesia, melalui Litbangnya yang dipimpin Atho Mudhar telah mengumpulkan bukti-bukti, dan menegaskan penyimpangan Ahmadiyah.
Ormas-ormas Islam telah pula memberikan informasi yang valid kepada pemerintah bahwa Ahmadiyah, sebuah gerakan yang menyimpang dari mainstream (arus utama) dalam Islam. Penyimpangannya sudah sangat prinsip, yang terkait dengan masalah aqidah (iman).
Para pemimpin ormas Islam telah bertemu dengan seluruh aparat negeri ini. Sudah bertemu dengan Menteri Agama, Kepolisian, Kejaksaan, dan sejumlah pejabat lainnya. Menyampaikan pandangan dan pendapat mereka tentang gerakan Ahmadiyah. Semuanya yang disampaikan itu bukan rekaan dan mengada-ada, tetapi dengan bukti-bukti yang bersumber dari dokumen-dokumen Ahmadiyah sendiri. Bukan para pemuka Islam tidak melakukan tindakan secara persuasip, dan mengutamakan dialog. Tetapi, para pemimpin Ahmadiyah, tetap bersikeras, bahwa gerakan yang mereka lakukan tidak salah, dan dibenarkan oleh hukum.
Para tokoh Ahmadiyah merasa kuat dan percaya diri, karena mendapatkan dukungan dari golongan agama-agama lainnya, kalangan LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat), pemerintah Barat, sehingga menyebabkan mereka semakin bersikukuh dengan gerakannya. Mereka tidak lagi memperhatikan pendapat para pemimpin Islam dan para ulama, dan terus melakukan aktivitas dan mengembangkan gerakan Ahmadiyah.
Seandainya Presiden SBY mengeluarkan keputusan melarang gerakan Ahmadiyah, sesungguhnya tidak akan ada konflik antara golongan Islam dengan Ahmadiyah.
Presiden SBY mempunyai diskresi (kewenangan) untuk mengambil tindakan dan keputusan. Tidak akan pernah ada konflik antara golongan Islam dengan Ahmadiyah, jika pemerintah mau bertindak tegas, tidak ragu-ragu, menghadapi gerakan Ahmadiyah. Para pemimpin Islam, ulama dan ormas-ormas Islam sudah memberikan pendapat, pandangan, dan masukkan, dan keputusan ada di tangan pemerintah.
Justru membiarkan Ahmadiyah tetap ada, dan tidak melarangnya, sama dengan pemerintah mendorong adanya konflik terbuka antara golongan Islam dan Ahmadiyah.
Kasus Temanggung
Orang-orang Kristen sangat agresif ingin memurtadkan orang Islam. Mengembangkan gereja di sembarang tempat. Tidak peduli di tengah-tengah kampung orang Islam. Karena mereka tujuannya ingin menjadikan orang Islam sebagai pengikut mereka, seperti yang digambarkan dalam Al-Qur’an, Surah al-Baqarah, ayat 120.
Golongan Kristen ingin mencabut dan membuang SKB Tiga Menteri, ke tong sampah, yang mengatur tata cara pembangunan tempat ibadah. Karena itu dianggap melanggar hak-hak asasi manusia, dan kebebasan beragama.
Orang-orang Kristen sudah sejak awal Orde Baru, di zaman awal pemerintah Soeharto, mereka sudah menolak segala aturan yang akan mengatur kegiatan dan aktivitas keagamaan. Bagi mereka itu sebuah pelanggaran terhadap hak-hak asasi manusia dan kebebasan agama.
Dengan dalih kebebasan agama, mereka berusaha sekuat tenaga menghapus SKB itu, karena adanya SKB itu menjadi belenggu bagi mereka. Mereka ingin mendirikan gereja, walaupun di kampung itu, orang yang beragama Kristen hanya tiga orang. Mereka bisa mendatangkan jemaah dari mana saja untuk memenuhi gereja itu.
Tentu, orang-orang islam menjadi terganggu dengan segala aktivitas mereka, dan tidak biasa mendengarkan nyanyian paduan suara gereja.
Orang Islam pagi hari di kampung-kampung, ibu-ibu majelis ta’lim membaca surat Yasin, dan yang dikenal dengan Yasinan, dan shalawatan, tiba-tiba dikampungnya berdiri gereja, dan pagi-pagi sudah terdengar puji-pujian lagu rohani ‘haleluya’, yang sangat berbeda dengan kebiasaan mereka. Tetapi, mereka tidak mau peduli, terus mendirikan gereja, menyebarkan agama mereka dengan leluasa di masyarakat. Mereka memanfaatkan orang-orang Islam yang lemah, dan digiring ke dalam agama mereka dengan berbagai iming-iming.
Mereka mendirikan sekolah, rumah sakit, panti asuhan, dan mendirikan berbagai lembaga swadaya masyarakat,yang menjadi ‘cover’ gerakan pemurtadan yang mereka lakukan terhadap pengikut agama Islam. Mereka seakan menjadi orang-orang yang penuh dengan kasih, dan menolong orang yang lemah, tetapi ujungnya diajak masuk ke dalam agama Kristen.
Karena didalam persepsi orang-orang Kristen, di luar golongan mereka, mereka anggap sebagai ‘domba-domba’ yang harus digembalakan. Artinya, harus dimasukkan ke dalam agama mereka, agama yang mereka anggap benar.
Mereka melakukan manuver politik bersama dengan golongan agama-agama lainnya, termasuk ada di dalamnya tokoh-tokoh Islam, yang mereka manfaatkan, seperti Din Syamsuddin dan Syafi’i Ma’arif, yang mengangkat tentang kebohongan pemerintah, yang menyebabkan pemerintah terpojok.
Tetapi, ujung dari semuanya itu, nampak jelas, tujuan manuver yang mereka lakukan itu, hanya ingin mencabut SKB, dan menuntut adanya kebebasan beragama. Agar mereka bisa mendirikan gereja di setiap sudut kampung. Rakyat terperangah, ketika para tokoh agama itu, mengangkat tentang kebohongan Pemerintah SBY. Ujungnya mereka selipkan untuk mendapatkan kebebasan beragama dengan tujuan untuk memurtadkan orang Islam.
Mereka juga masih menghina dan melecehkan agama Islam dan Nabi Muhammad. Persis seperti yang dilakukan dikalangan Kristen Eropa sekarang terhadap Islam dan Nabinya. Mereka menghina dan mendurhakai terhadap Nabi SAW dengan segala kata-kata yang tidak patut dan tidak senonoh. Sampai hari ini masih terus berlangsung. Mulut mereka meneriakkan tentang toleransi dan cinta, tetapi prakteknya adalah hanya penistaan.
Di Pakistan, dulu sebelum pemerintah melarang Ahmadiyah, pernah terjadi perang, yang kemudian mengakibatkan tewasnya seribu pengikut Ahmadiyah. Sekarang Ahmadiyah sebagai gerakan terlarang, dan perwakilan pusat Ahmadiyah berada di negeri induk semangnya Inggris. Tak ada lagi di Pakistan.
Gubernur negara bagian terbesar Pakistan, Punjab, Taseer, tewas ditembak pengawalnya sampai dua puluh kali, karena Taseer yang beraliran liberal membela seorang wanita Kristen yang dihukum mati, karena menghina agama Islam. Taseer membelanya. Kemudian menemui ajalnya.
Dalam tafsir Al-Azhar yang dikarang Buya Hamka, mengutip Surah an-Nur, Buya Hamka, menceritakan bagaimana seorang pemuda yang baru sehari menikah, lalu dia tinggalkan isterinya pergi pengadilan New Delhi, mencari orang yang menghina Nabi Muhammad Shallahu alaihi was salam, dan usai persidangan Abdul Qayyum, berdiri dan mencabut pisaunya yang diletakkan diatas sorbannya, kemudian membunuh orang yang menghina Nabi.
Agama sebuah keyakinan. Bukan barang mainan. Setiap orang bersedia melakukan apa saja, demi keyakinan agama. Inilah yang harus diperhatikan oleh semua golongan, agar tidak bertindak sewenang-wenang. Karena hanya akan menyulut perang antara agama. Wallahu’alam.