Presiden SBY marah merasa diperlakukan tidak layak, dihina, dilecehkan martabatnya, dan tidak dihargai. Kemarahannya ditumpahkan di depan para menteri dan gubernur,yang mengikuti acara rapat kerja di Istana Presiden, di Cipanas, Cianjur.
“Ada unjuk rasa dengan loud speaker besar sekali, teriak SBY maling, Boediono maling, menteri-menteri maling. Tidak bisa diapa-apakan. Ada yang bawa kerbau, SBY badannya besar, malas, dan bodoh seperti kerbau”, ucap Presiden di Istana Cipanas.
Inilah klimaks kekecewaan dan unek-unek yang akumulatif dari rakyat atas pemerintahan yang dipimpin Presiden SBY. Aksi-aksi yang berlangsung sejak Presiden dilantik menjadi kepala pemerintahan, sampai hari ini, tak pernah henti. Sebenarnya, ini hanyalah refleksi ketidak puasan, sikap kritis, dan sekaligus bentuk dukungan lain kepada pemerintahan Presiden SBY dari rakyat. Mengapa aksi-aksi demonstrasi itu bisa diartikan dukungan kepada pemerintahan SBY?
Aksi-aksi demonstrasi itu harus tetap dimaknai dukungan kepada pemerintah. Karena, di sebuah negara yagn menganut sistem demokrasi, setiap individu dari warga negara berhak menyampaikan dan mengekspresikan aspirasinya. Hal itu menjadi masalah yang sangat elementer, di mana hak-hak dasar rakyat di akui. Makna kebebsasan di alam demokrasi, tak lain pengakuan secara penuh, setiap bentuk ekspresi individu rakyat, melalaui berbagai ragam aktivitas, selama tidak melakukan pengrusakan.
Aksi-aksi demonstrasi itu harus diakui dengan sebuah pengakuan yang positif, karena itu sebagai sebuah bentuk kontrol rakyat terhadap pemerintah. Jika pemerintah tidak mau dikontrol, artinya pemerintahan itu, sebuah wujud dari ciri pemerintahan yang bukan menganut sistem demokrasi, tetapi otoritarian, yang mengekang, setiap aspiras rakyat.
Seharusnya Pemerintahan SBY berterima kasih atas kecenderungan yang bersikap kritis dari rakyat, dan selalu melakukan kontrol terhadap pemerintahan. Ini artinya merupakan bentuk partisipasi konkrit dari rakyat kepada pemerintah. Tidak selamanya kontrol menjadi monopoli lembaga legislatif. Apalagi, seperti kondisi politik yang ada sekarang ini, di mana lembaga DPR menjadi ‘mati’, dampak dari koalisi yang diciptakan pemerintah. Partai-partai politik yang sudah diwadahi melalui imbalan kursi di pemerintahan, menjadi sangat sulit dapat memfungsikan anggotanya yang ada dilegislatif dapat melaksanakan salah stu fungsinya sebagai alat kontrol terhadap ekskutif.
Di tengah-tengah matinya lembaga DPR akibat adanya pola koalisi, yang tidak memberi ruang kepada partai-partai memfungsikan kader-kadernya yang ada di legislatif, maka langkah yang paling mungkin melakukan kontrol terhadap pemerintah (ekskutif) dengan membentuk kekuatan pengimbang (balancing power), sebagai sebuah pressure (kelompok penekan) di masyarakat, dan melakukan gerakan-gerakan yang dapat memaksa pemerintah.
Mengapa Presiden SBY harus berkeluh kesah, dan marah atas aksi-aksi yang dilakukan oleh rakyat, bahkan sampai ada yang membawa ‘kerbau’ dalam aksinya?
Pernah dalam aksi-aksi demonstrasi yang berlangsung di negeri Kanguru (Australia), ketika menyambut kunjungan Presiden AS George Bush, rasanya lebih sarkasme. Di mana Perdana Menteri Australia John Howard, divisualisasikan sebagai anjing yang diikat, dan ditenteng Presiden George Bush. Inilah bentuk kritik rakyat Australia, yang melihat pemerintahan Australia, yang dipimpin John Howard, yang konservatif, dan mendukung habis setiap kebijakan AS, termasuk invasi AS ke Afghanistan dan Irak. Maka, John Howard digambarkan seperti anjing, yang ditenteng oleh Bush. Tetapi, pemerintah John Howard tidak marah terhdap aksi-aksi yang mengkritiknya.
Sesungguhnya, rakyat memerlukan kanalisasi aspirasi mereka, di tengah-tengah kehidupan yang semakin keras, menghimpit mereka. Kemiskinan yang menghantam mereka, pengangguran yang menggerogoti kehidupan mereka, dan kebijakan pemerintanh yang tidak memihak mereka. Semuanya telah membuat rakyat menjadi pesimis dan frustasi terhadap masa depan mereka.
Pemerintah sangat lambat menangani kasus-kasus korupsi yang menghancurkan kehidupan bangsa, termasuk kasus Bank Century, yang penuh dengan permainan, dan nampaknya pemerintah SBY, tidak ingin berdampak politik, akibat pengusutan kasus Bank Century ini. Sementara negara dirugikan Rp 6,7 triliun. Betapa sebuah bank kecil yang bangkrut, dan tidak mempunyai arti apa-apa dari sektor perbankan dan ekonomi, harus didukungan dengan dana talangan sebesar Rp 6,7 triliun?
Belum lagi pemerintah menyetujui ratifikasi perjanjian perdagangan antara Cina-Asean (CAFTA), yang akan melakukan liberalisasi perdagangan, kini sudah nampak di depan hidung kehancuran sektor ekonomi Indonesia di masa depan. Angka-angka valid menunjukkan produk-produk Cina sudah membanjiri Indonesia. Data BPS (Badan Pusat Statistik) menunjukkan eksport non migas Cina ke Indonesia melonjak menjadi 13,49 milyar dolar di tahun 2009 ini, dibandingkan tahun 2004 hanyalah 3,4 milyar dolar.
Dan sudah banyak pabrik tekstil dan lainnya, yang gulung tikar, akibat banjirnya produk Cina ke Indonesia. Di Bandung, Semarang, Solo, Yogyakarta, Surabaya, dan Jakarta, sudah ratusan ribu buruh, yang di PHK< akibat pabriknya bangkrut. Sementara itu, pemerintah tidak mampu menciptakan lapangan pekerjaan yang baru.
Belum lagi, sumber daya alam Indonesia sudah habis, seperti minyak, batu bara, gas, timah, dan lainnya diambil alih fihak asing.
Kita sesudah merdeka 65 tahun, justru tidak menjadi bangsa yang mandiri, bermartabat, memiliki harga diri di depan masyarakat dunia, tetapi bangsa Indonesia hanya menjadi ‘kuli’ di negeri sendiri. Sementara itu, yang menikmati kekayaan Indonesia adalah orang asing. Rakyat semakin melarat, akibat kebijakan yang salah.
Masihkah layak ada pejabat marah bila dikritik rakyatnya? Justru pemimpin yang sejati, tidak mengeluh ketika rakyat mengkritiknya, karena itu bagian dari saling ngingat-mengingatkan diantara komponen bangsa ini. Wallahu ‘alam.