Tiga pasangan capres-cawapres yang akan ikut pilpres Juli nanti, yaitu Mega-Letjen Prabowo Subianto , yang diajukan oleh PDIP-Gerindra, Jusuf Kalla-Jendral Wiranto, yang diajukan Golkar-Hanura, dan Jendral Susilo Bambang Yudhoyono-Budiono, yang diajukan Partai Demokrat dan mitra koalisinya. Ketiga calon pasangan ini mencerminkan kuasi (campuran) antara sipil-militer. Di mana posisi partai-partai Islam?
Sejak zaman Orde Baru, sampai hari ini, belum ada, baik itu perorangan atau kolektif, melalui wadah organisasi politik, yang secara serius dan sungguh-sungguh, membangun sebuah kekuatan Islam politik, yang bersifat nasional. Ini menjadi sebuah tanda tanya besar. Apa yang sejatinya melatarbelakangi kondisi di kalangan umat Islam?
Di zaman Orde Baru, berlangsung enam kali pemilu, kekuatan Islam tetap belum terkonsolidasi, dan yang terjadi konflik di internal partai-partai Islam. Di era reformasi, dan adanya kebebasan, pemilu sudah berlangsung tiga kali, pemilu 1999, pemilu 2004, dan pemilu 2009. Tiga kali pemilu di Orde Reformasi ini, belum juga terkonsolidasi kekuatan Islam politik. Dan, perolehan suara partai-partai Islam, belum bertambah secara signifikan. Satu-satunya dalam sejarah politik Indonesia, partai Islam, yang berhasil mendapatkan suara relatif besar, hanya Partai Masyumi, dalam pemilu tahun 1955, mendapatkan suara 20 persen.
Persoalannya, mengapa para pemimpin organisasi politik Islam, belum mampu menggalang kekuatan politik Islam, sejak zaman Orde Baru, sampai Orde Reformasi kini? Di antaranya, faktor adanya ketidakpercayaan diri dari para pemimpin partai-partai Islam, bukan hanya menggalang kekuatan politik Islam, tapi juga menawarkan prinsip-prinsip Islam, khususnya dalam berpolitik. Mereka lebih memilih menjadikan para pemimpin militer, yang mereka jadikan patron politik mereka. Apakah ini merupakan ‘by design’, yang menciptakan kondisi seperti ini? Sebaliknya, atau ini memang kondisi internal partai-partai Islam, yang tidak memiliki kualitas pemimpin yang baik, dan hanya tipologi pemimin yang pragmatik dan oportunistik.
Kekuatan Islam politik ini harus mempunyai kesadaran yang sifatnya kolektif, membangun kekuatan Islam politik, melalui konsolidasi yang sifatnya permanen, yang berkelanjutan, tidak hanya menjelang pemilu legislatif, atau pemilu presiden/wakil presiden. Sifatnya terus-menerus atau berkelanjutan. Harus dibangun komunikasi politik diantara para pemimpin partai Islam, dan kerjasama antara partai-partai Islam, membangun persamaan persepsi, khususnya menghadapi persoalan-persoalan pokok yang menjadi agenda bersama, dan tujuan bersama. Sekarang, partai-partai Islam terus mengalami konflik di internal mereka, perbedaan persepsi, hilangnya ‘ghiroh’ Islam, dan bahkan tidak berani menampilkan ciri dan prinsip Islam, ketika berpolitik. Padahal, di era demokrasi (kebebasan) seperti sekarang ini, tidak ada restriksi (pembatasan) terhadap mereka dalam melakukan aktivitas berpolitik.
Kaum sekuleris, melalui wadah politik, secara terang-terangan dan terbuka, berani mengangkat agenda-agenda mereka, dan memperjuangkan kepentingan, cita-cita dan ideologi sekuler mereka. Sementara, para pemimpin Islam dan partai-partai Islam, menjauhkan diri dari cita-cita, ideologi, dan prinsip Islam, dan mereka cenderung menolak secara terang-terangan agenda-agenda Islam, dan kepentingan umat Islam. Ketika memimpin, mereka seakan-akan tidak ada keterkaitan dengan Islam. Inilah problem yang sifatnya fundamental yang terjadinya dikalangan para pemimpin partai-partai Islam.
Kekuasaan militer Indonesia, yang tumbang di tahun 1998, dan ditandai dengan lengsernya Jendral Soeharto, sebagai penguasa Orde Baru, mereka dengan sangat cepat melakukan re-konsilidasi, dan hanya dalam periode yang pendek, ada pemerintahan sipil di Indonesia, sesudah itu, muncul kembali kepemimpinan militer di Indonesia. Tak sampai sepuluh tahun, kekuatan mereka sudah terkonsilidasi secara efektif. Dan, sejak tahun 2004, mereka sudah berkuasa kembali, ketika terpilihnya Jendral Susilo Bambang Yudhoyono menjadi presiden.
Sekarang, di pilpres 2009, sudah muncul tiga orang jendral, yang ikut dalam pilpres, yaitu Letjen Prabowo Subianto, Jendral Wiranto, dan Jendral Susilo Bambang Yudhoyono. Mereka berpasangan dengan kalangan sipil, seperti Megawati, Jusuf Kala, dan Budiono. Dan, partai-partai Islam menjadikan mereka sebagai patron, tidak berusaha secara mandiri, membangun kekuatan politik Islam, dan menawarkan Islam sebagai sebuah solusi politik yang riil. Umumnya, kekuatan kaum sekuler, berhasil mencapai agenda, cita-cita, ideologi, yang ingin mereka wujudkan melalui para jendral, yang memang lebih dekat dengan ideologi dan cita-cita kaum sekuler.
Tidak ada kesadaran yang sifatnya kolektif para pemimpin partai-partai Islam, dan mereka tetap masuk dalam orbit para jendral. Dan, tidak ada keinginan yang sungguh-sungguh membangun kekuatannya, yang lebih mandiri, dan menjadikan Islam menjadi sebuah alternatif.
Apakah kondisi seperti ini, yang dialami partai-partai Islam, dan para pemimpinnya semua itu ‘by design’ dari luar ? Wallahu’alam.