Kalau Irak di kenal negeri ‘1001 Malam’, saking banyaknya kisah, yang menyertai Irak. Mungkin perlu Indonesia disebut negeri ‘1001 Bencana’. Negeri yang disebut ‘zamrut’ katulistiwa ini, bukan hanya dirundung bencana alam, yang tak henti-henti, tetapi juga bencana politik, tak pernah lekang. Satu ‘bencana politik’ belum selesai, sudah muncul bencana baru.
‘Negeri 1001 Bencana’ ini mula-mula terkena bencana politik pada prosesi menjelang perubahan politik 1998. Dan, sekarang, di mana setiap lima tahun sekali, berlangsung yang namanya ritual demokrasi, yaitu pemilu. Ritual demokrasi ini, karena semua orang sudah menjadikan demokrasi sebagai tujuan hidupnya. Demokrasi menjadi segalanya.
Demokrasi dianggap ritual, karena diyakini bisa menciptakan perubahan. Terutama perubahan kepemimpinan. Lima tahun sekali pemimpin di Republik ini dipilih. Mulai pemilihan anggota legisalatif, presiden, sampai gubernur, bupati dan walikota.
Demokrasi sebagai sesembahan, yang diyakini akan membawa berkah, dan perbaikan kehidupan dengan munculnya orang yang tiba-tiba mendapatkan berkah jabatan.
Mula bencana politik dari ritual demokrasi itu, pada pemilu 2004. Di mana pemilu legislatif banyak kecurangan, dan paling mencolok tentang amboradulnya DPT (daftar pemilih tetap), yang sangat kacau balau. Inilah mula terjadinya bencana. Karena pasti outputnya (hasilnya) tidak berkah.
Karena sudah didahului dengan kecurangan. Hasil pemilu ‘didikte’ oleh lembaga survey. Hasil penghitungan KPU, tak jauh dengan hasil lembaga survey. Untuk apa pemerintah harus membayar dan membiayai KPU miliaran, kalau hasil pemilu sama dengan hasil lembaga survey? Tak heran produk dari hasil pemilu 2004, menghasilkan output yang sangat jauh dari kualitas.
Bencana berikutnya pemilu presiden dan wakil presiden tahun 2004, mekipun Presiden SBY dan Boediono, yang mendapatkan 60 persen suara, tetapi masih harus mendapatkan keputusan dari Mahkamah Konstitusi (MK) tentang hasil pemilu presiden. Ini menjadi preseden. Betapa naifnya hasil pemilu presiden harus diligetimasi (disyahkan) oleh MK.
Dari dari hasil pemilu legislatif dan pemilu presiden sudah mempunyai ‘cacat’ yang sifatnya bawaan, maka jalannya pemerintahan SBY menjadi terseok-seok, dan habis energinya hanya untuk mengurusi bencana demi bencana politik. Tak habis-habis. Presiden SBY selalu nampak ragu dan tidak decisip, ketika menghadapi persoalan bangsa, dan hanya sekadar jaim.
Prosesi berikutnya. Presiden SBY dan Boediono, dihadapkan dilema, ketika menyusun kabinet, dan memakan wakut yang lama. Melalui ‘test and proper’, yang menghasilkan kualitas menteri, yang hanya ala kadarnya. Karena kualitas para menteri yang dijagokan oleh para partai politik itu, sekadar para pimpinan partai,yang sangat diragukan kemampuannya. Termasuk kalangan profesional. Mereka tak menunjukkan hasil apapun yang dapat diharapkan bagi perbaikan rakyat.
Selama setahun pemerintahan SBY dan Boediono, tak ada perubahan dan perbaikan signifikan terhadap krisis yang dihadapi rakyat. Semuan stagnan. Ini bisa dilihat besarnya sisa anggaran (ABPN) yang tidak teserap oleh setiap departemen. Sehingga pembangunan menjadi stagnan.
Satu tahun pertama pemerintah Pemerintahan SBY dan Boediono, sudah dihantam badai bencana yang maha dahsyat, kasusnya anggodo dan ‘nyanyinya’ Susno Duadji, yang memporak-porandakan pemerintahannya. Di mana dengan dibukanya percakapan anggodo di Mahkamah Konstitusi dan pengakuan Susno, maka bau busuk menyebar ke mana-mana. Orang-orang yang terlibat terbongkar, seperti Gayus, Hasyim dan lainnya. Sampai sekarang belum usai.
Belum habis masalah ini. Sudah muncul ‘perang’ antara pendukung bail out Bank Century dan yang menolak. Dan berakahir di paripurna DPR. Hasilnya paripurna DPR itu menyebutkan adanya pelanggaran hukum, dan menyebut sejumlah pejabat. Peristiwa ini menyebakan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati harus hengkang dari pemerintahan SBY. SBY tidak mampu menahan gebrakan partai-partai. Terutama Golkar.
Usai Sri Mulyani hengkang, para pemimpin partai membuat kompromi dengan Presiden SBY, dan membentuk Setgab, yang diketuai Presiden SBY, dan pelaksana hariannya Ketua Umum Golkar, Aburizal B akrie. Lalu, partai-partai pendukung SBY, antara lain, Golkar, Demokrat, PKS, PAN, PPP, dan PKB, menandatangani permufakatan menutup kasus Century. Sehingga, kasus Century mula-mula gegap-gempita, yang mengarah kepada Presiden SBY, akhirnya adem ayem, sesudah kesepakatan antar partai politik menutup kasus Century.
Diluar dugaan kasus Gayus kembali mencuat, yang membuat ‘gempa politik’, kasus Gayus, yang keluar penjara, dan pergi ke Bali, dan konon bertemu dengan Aburizal Bakrie. Ini semuanya sekarang menjadi perbincangan yang luas. Soal sas-sus pertemuan Gayus dengan Aburizal Bakri. Bagaimana seorang pegawai pajak golongan III A, bisa mempunyai nilai tawar dengan pemimpin partai politik besar, seperti Golkar. Ada apa?
Ditengah-tengah kegalauan politik, Amin Rais menyemburkan masalah penjualan saham PT Krakatau Steel, yang menghebohkan, dan membuat kegemparan. Amin mengatakan kasus penjualan saham PT Krakatau Steel melibatkan partai politik. Kemudian Presiden SBY perlu melakukan bantahan dengan mengumpulkan Fraksi Demokrat. SBY membantahnya.
Puncaknya bencana politik, ketika SBY di sidang kabinet, menyatakan sistem monarki sudah tidak sesuai lagi. Kontan ini menyulut kemarahan rakyat Yogyakarta. Rakyat Yogyakarta menginginkan diselenggarakan referendum. Referendum sebagai solusi kisruh berkaitan dengan RUU Keistimewaan Yogyakarta. Presiden menginginkan kepala daerah Yogyakarta dipilih langsung melalui pemilu. Ini berarti akan mengakhiri sistem monarki. Rakyat menolak.
Kasus pemilihan kepala daerah Yogyakarata menjadi kemelut politik, yang dapat berubah menjadi bencana. Kalau secara massif rakyat Yogyakarta mendukung Sultan, dan menolak ide pemilihan langsung yang diinginkan pemerintah. Tanda-tanda perlawanan rakyat sudah nampak. Dengan adanya spanduk di mana-mana yang menginginkan dilangsungkannya referendum. Ditambah dengan sikap para pemuka rakyat Yogya yang mendukung Sultan.
Pemerintahan SBY dan Boediono ini hidup diantara bencana.Bencdana politik yang memang itu merupakan produknya dia sendiri, dan ditambah bencana alam, yang merupakan ‘warning’ dari Sang Pencipta Alam. Kalau Presiden SBY gagal mensikapi dengan tepat, bisa benar-benar menjadi sebuah bencana, yang dampaknya sangat luar biasa bagi kehidupan bangsa Indonesia. Wallahu’alam.