Indonesia bergerak dari titik ekstrim ke titik ekstrim yang lain. Dari pemerintahan sebelumnya, dibawah kepemimpinan Presiden Soeharto, menganut sistem yang sangat tertutup, dan otokratis (menindas), serta despotis. Itu yang dipraktekan oleh Orde Baru, selama lebih tiga puluh. Dan, ada yang menilai merasa lebih enak hidup di zaman Orba, dibandingkan hidup di zaman sekarang ini.
Seperti disebutkan dalam al-Qur’an, kehidupan di dunia selalu akan dipergilirkan, dan tidak ada yang kekal selama-lamanya. Soeharto yang seakan sudah menjadi ‘Raja di raja’, akhirnya harus meninggalkan kekuasaan di tahun l998, akibat ketidak puasan rakyat yang memuncak. Rejim sebelumnya yang memerintah, yang mendapat gelar ‘Orde Baru’ itu, digantikan sebuah orde lainnya, yang kemudian dikenal dengan orde : Reformasi. Tentu, harapan rakyat menginginkan perubahan kehidupan, karena rakyat memahami : ‘Reformasi’, yang tak lain adalah dari kata : ‘Reform’, perbaikan, atau perubahan yang menuju kepada kehidupan yang lebih baik dari kondisi sebelumnya.
Mungkin, kalau boleh dikatakan, satu-satunya ‘kebaikan’ Orde Reformasi ini, adalah adanya kebebasan. Indonesia, mungkin hanya satu-satunya negara yang paling bebas, yang kebebasannya melebihi negara manapun di dunia yang menganut sistem demokrasi. Setiap warga negara dapat secara bebas, mengekspresikan dan mengaktualisasikan hak-hak dasarnya secara penuh, tanpa adanya restriksi (pembatasan). Sampai-sampai saking bebasnya di Indonesia yang menghina agama dan keyakinan agama pun, bisa bebas. Tidak mendapatkan sanski hukum. Contohnya, seperti kelompok Ahmadiyah, dan munculnya berbagai aliran agama, dan pemikiran, serta adanya nabi-nabi baru, yang mereka bisa hidup bebas, dan banyak juga pengikutnya.
Tapi, di zaman Orde Reformasi ini, yang paling penting harus digarisbawahi, yaitu kehidupan politik di Indonesia, yang benar-benar bebas. Tidak ada pembatasan terhadap aktivitas politik. Orang melakukan aktivitas apa saja diboleh dan diizinkan, tidak dilarang. Presiden SBY, menegaskan setiap warga negara bebas mengekspresikan aktivitas politiknya, selama tidak destruktif (merusak). Maka, sekarang sejak Orde Reformasi ini, aktivitas apa saja ditolerir, tidak ada lagi yang dibatasi, dan hal-hal yang membuat restriksi (pembatasan), semua telah ditiadakan. Sekarang, berbagai kelompok dalam masyarakat, bebas untuk mengekspresikan hak-hak dasar mereka, di mana saja dan kapan saja. Tidak ada larangan.
Era Orde Reformasi ini dimulai di zaman Presiden Habibi. Presiden Habibi yang lulusan sekolah teknik di Jerman, dan ahli pembuatan pesawat terbang ini, benar-benar menjadi sebuah ‘antitesa’ dari Orde Baru, meskipun Habibi itu menganggap Soeharto sebagai ‘gurunya’. Tapi, nampaknya pepatah yang sudah lazim dikalangan masyarakat tidak berlaku bagi Habibi ini, yaitu ‘guru kencing berdiri, murid kencing berlari’. Habibi sebagai murid Soeharto, tidak mengikuti jejak dan langkah gurunya Soeharto, tapi ia menjadi sebuah ‘antitesa’ dari Soehato, khususnya dalam hal berkaitan dengan pemberian hak-hak dasar warga negara, tentang kebebasan. Di zaman Habibi inilah segala hal yang membatasi hak-hak dasar warga negara dihapus.
Orang bisa mendirikan partai politik secara bebas. Tidak ada pembatasan. Dan, yang membatasinya adalah rakyat ketika pemilu. Jadi, kalau sebuah partai politik berdiri dan ikut pemilu, tidak mencapai ‘threshold’, itulah satu-satunya yang membatasi bagi kelompok warga negara dalam melakukan aktivitas politik. Di era Habibi ini, dimulai UUD’45, yang disakralkan Soeharto, diamandemen, sampai empat kali, yang kemudian, benar-benar berubah secara mendasar. Ini merupakan permulaan perubahan yang penting di zaman Habibi. P4, yang menyatakan Pancasila sebagai ideologi tunggal juga dihapus.
Maka, ketika awal Orde Reformasi di bawah Habibi itu, yang namanya partai politik, ibaratnya seperti cendawan di musim hujan. Tumbuh menjamur. Jumlahnya puluhan. Sampai sekarang. Bahkan, sekarang ini ada yang menggelikan, yang namanya partai politik itu, bukan lagi menjadi alat perjuangan, yang tujuannya memperjuangkan cita-cita, idelogi, keyakinan, dan kepentingan rakyat, tapi partai politik sudah menjadi alat untuk mencari ‘makan’ bagi para pengurusnya. Mirip ‘warung’ soto.
Zaman susah, karena krisis, justru orang berlomba-lomba mendirikan partai poliltik. Karena, sudah terjadi apa yang disebut ‘mutualisma – simbiosa’, antara tiga kekuatan, yaitu para pemilik modal, pemimpin partai, dan kekuasaan. Ketiganya saling bekerjasama. Pemimpin partai mengumpulkan massa, pemilik modal mengeluarkan uang, dan kekuasaan memberikan perlindungan politik. Dan, ketika mereka sudah berkuasa, tinggal membagi yang namanya ‘kue’ kekuasaan.
Di pemilu 2009, tak kurang yang ikut berpesta demokrasi, lima tahunan ini, jumlahnya 38 partai politik. Jumlah yang tidak sedikit. Biaya yang dihabiskan hampir mencapai 200 trilyun. Untuk biaya partai-partai, mulai dari bikin iklan di media, baliho, panflet, poster, spanduk, stiker, dan mobiliasi masa, memberikan ‘hadiah’, dan untuk acara kampanye. Pemerintah mengeluarkan dana lewat APBN, jumlahnya juga tak sedikit, sebesar 21.7 trilyun. Semuanya, digunakan untuk kepentingan pemilu. Negara yang megap-megap akibat krisis membuat ‘pesta’ demokrasi yang biayanya selangit, sementara orang mlarat, semakin terhimpit.
Celakanya, pemilu yang sekarang ini, jumlah golputnya yang lebih banyak dibanding dengan yang memilih. Sehingga, partai pemenang Demokrat, yang mendapatkan suara 20.3, sementara golputnya mencapai 45%, tapi jumlah golput ini dari pemilih. Jadi, hakekatnya rakyat yang memilih itu lebih kecil lagi. Sedih, sudah biaya besar, tapi tak menghasilkan perbaikan dan perubahan. Apalagi, kualitas tokoh-tokoh yang akan masuk Senayan, tak dikenal kamampuan dan integritasnya, dan sebagian para artis. Lebih-lebih lagi, pemilu kali ini disinyalir terjadinya kecurangan. Maka, semakin tipis legitimasi hasil pemilu kali ini. Dan, yang lebih penting pemilu 2009 ini, tak akan menghasilkan perubahan kepemimpinan nasional. Karena prediksinya yang akan terpilih SBY lagi, sebagai presiden yang akan datang. Jadi tak ada perubahan.
Mengapa banyak partai atau multi partai? Kalau karakternya sama, ideologi sama, cita-citanya sama, tujuan sama, platformnya sama. Lalu, apa sesungguhnya yang membedakan diantara mereka, tidak ada, paling-paling hanyalah tanda gambar partai. Mengapa harus banyak partai. Ini semata-mata hanyalah kepentingan-kepentingan para politisi dan organisator,yang memang mereka ingin menikmati kekuasaan, yang dengan cara itu, mereka mendapatkan penghormatan, menaikan harga diri, mendapat kemuliaan, mendapatkan berbagai privielege (hak-hak istimewa), yang semuanya tidak mungkin, kalau mereka tidak memiliki kekuasaan. Dan, inilah logikanya, jadi bukan ingin memperjuangkan rakyat.
Maka, partai-partai politik menjadi alat yang paling ampuh untuk meniti ke jalan kepada kekuasaan. (root to powers) secara cepat dan instan. Orang-orang rela berkorban apa saja, dan melakukan apa saja demi mendapatkan kekuasaan . Karena, konstitusi yang ada sekarang di Indonesia, memberikan aturan, di mana hanya melalui satu-satunya jalan, melalui partai politik orang dapat berkuasa, sekarang setiap orang yang mengalami obsesi kekuasaan, pasti akan digesah mendirikan partai poliltik dan berlaga dalam pemilu.Tapi, justru adanya parlemen dari hasil pemilu yang bebas ini , tidak selalu akan membawa perbaikan dan kebaikan bagi kehidupan nasional bangsa.
Justru di era Orde Reformasi ini, asset negara habis dijual, dan undang-undanng yang memberikan keleluasaan kepada asing masuk ke dalam kepentingan nasional Indonesia tak terbatasi lagi. Belum lagi mental yang menerabas, yang menghalalkan segala cara untuk mendapatkan uang dan kekuasaan. Sudah berapa banyak anggota perlemen yang meringkuk di hotel ‘prodeo’, tak terhitung akibat makan sogok. Kebejatan dan kerusakan semakin parah, dan tak ada lagi yang namanya ‘fatsoen’ (etika) politik.Semuanya serba boleh. Tak larangan dan yang haram,semuanya menjadi ‘halal’.
Tapi, yang paling getir di era multi partai ini, di mana bukan hanya banyaknya partai politik , yang menyedihkan terjadinya disharmoni social, keluarga, rusaknya nilai-nlai ukhuwah, disharmoni di masyarakat, dan antara kelompok. Semua ini ekses dari pemilu multi partai. Konflik bukan hanya antar partai politik, tapi juga di internal partai, yang saling berebut kursi, sejak adanya keputusan Mahkamah Konstitusi (MK), di mana yang berhak menjadi anggota legislative bukan lagi berdasarkan nomor urut, tapi berdasarkan suara terbanyak.
Maka, kompetisi tidak hanya antar partai politik, tetapi juga diinternal partai,mereka saling berebut. Inilah yang akhirnya menghancurkan harmoni sosial didalam kehidupan masyarakat. Ekses ini tidak dapat diselesaikan dalam bilangan bulan. Apalagi, yang kaitannya dengan utang-piutang. Seperti, diberitakan dari Bandung, sebuah perusahaan koveksi yang membuat ‘kaos’ belum dibayar, nilainya mencapai 10 milyar rupiah. Dan, kasus seperti ini sangat banyak. Maka, mengurai kasus-kasus pasca pemilu ini, bertambah banyak. Ujungnya akan terjadi kehancuran dalam kehidupan masyarakat. Belum yang mengalami stress (sakit jiwa) akibat tidak dapat masuk Senayan, dan bahkan sudah ada yang bunuh diri.
Tentu, ada kisah yang menarik, seorang ibu yang menjadi tokoh partai tertentu, karena pendukungnya ibu-ibu anggota majelis taklim, di mana rata-rata mereka sudah tua, sehingga, mereka kesulitan memilih, dan tidak dapat memilih dengan tepat. Sehingga, ibu yang menjadi caleg, itu akhirnya kalah, karena anggota majelis taklim yang umumnya sudah tua, tidak dapat memahami pilihannya.
Kisah, lainnya, seorang nenek yang sudah berumur 76 tahun, sebelum masuk ke dalam bilik TPS, sudah diberitahu oleh anaknya untuk memilih Partai Golkar, tapi karena nenek itu, kesulitan memilih, justru yang dipilih Partai PDS. Sehigga di TPS itu yang memilih PDS terdapat tiga orang. Lalu, siapa yang memilih partai yang berlambang ‘Salib’ itu, salah satunya adalah nenek, yang salah pilih. Inilah ironi demokrasi multi partai. Wallahu ‘alam.