Sebenarnya mereka hanya bermodalkan pulpen yang harganya tak lebih dari Rp 10,000, dan pulpen yang murah itu, pejabat sudah dapat mengeruk uang negara ratusan milyar rupiah. Dengan pulpen itu, pejabat menandatangani izin, keputusan, rekomendasi, persetujuan, disposisi, dan lainnya. Semuanya itu uang.
Kemudian, mereka bergaya hidup seperti ‘raja-raja’, penuh dengan kemewahan. Harta, seperti rumah pribadi yang mewah, dan jumlahnya tidak hanya satu, mobil yang mewah, yang jumlahnya tidak hanya satu, barang-barang berharga, seperti emas dan berlian yang jumlahnya tak ternilai, deposito yang bermilyar, anak-anak yang sekolahnya di luar negeri, mereka berlibur di tempat-tempat yang eksklusif di luar negeri. Terkadang mereka masih melengkapi kehidupan pribadi mereka dengan ‘gundik’, yang disimpan, guna menyempurnakan kehidupan mereka.
Moralitas mereka sudah tidak ada. Tak perlu ada moral. Tidak perlu norma yang baik dan buruk. Tidak perlu ada halal dan haram. Tidak perlu haq dan bathil. Tidak peduli tentang yang boleh dan tidak boleh. Semuanya menjadi halal. Dengan segala cara mereka berusaha untuk mendapatkan materi sebanyak-banyaknya. Nilai-nilai moral hanya ada di mushola dan masjid. Ceramah para ustad di mushola dan masjid, tak berbekas, setitik dihati mereka. Mereka juga tahu sang ustad diantaranya ada yang seperti mereka.
Mereka golongan yang tidak percaya tentang akhirat. Mereka golongan yang hanya menyakini kehidupan dunia. Seluruh kehidupan mereka, dan potensi yang mereka miliki diorientasi hanya untuk mencapai kenikmatan dunia. Pemenuhan materi sifatnya mutlak. Akhirat itu tak ada dalam benak mereka. Mengapa harus hidup susah di dunia ini?
Mereka lalu berobsesi membangun surga di dunia. Rumah yang mewah, mobil yang mewah, tempat berlibur yang menyenangkan, di akhir pekan, mengunjungi tempat-tempat wisata yang sangat fantastis, dan serba eksklusif. Ini semua menjadi obsesi mereka. Mereka ingin menghadirkan surga yang riil, dan bukan hanya abstrak, dan masih belum nampak, dan perlu waktu panjang. Dengan kekayaan yang maha itu, mereka bisa melakukan dan berbuat apa saja. Uang sudah menjadi ‘tuhan’, dan mereka hanya mengabdi kepada ‘tuhan’ yang bernama uang.
Apalagi, sekarang sudah tidak ada lagi, yang dapat dijadikan panutan atau suri tauladan, semuanya memuja kehidupan dunia. Para pejabat yang korup itu, mereka juga tahu, sekarang teman-teman mereka atau atasan mereka atau pemimpin yang berteriak tentang ‘korupsi’, juga sama seperti diri mereka. Korup dan tamak. Mereka memiliki ‘istana-istana’, yang dibangun dari penghasilan yang tak jelas dan tidak bisa dipertanggungjawabkan.
Kalau sekarang mau dibuat undang-undang pembuktian terbalik, tak akan pernah dapat terwujud, dan tak bakal bisa diaplikasikan. Karena memang tak ada menghendaki. Sekarang ramai di media, karena hanya ingin mencari publisitas, dan ingin dilihat oleh rakyat, bahwa mereka para pejabat yang lebih tinggi, ingin dinilai sungguh-sungguh dalam pembarantasan korupsi dan maling uang negara. Tapi, apakah nantinya akan sungguh-sungguh, khususnya dalam penindakan. Sebab korupsi di Indonesia sudah sangat sistemik.
Kecuali ada satu orang yang benar-benar bersih, dan tidak ‘sesenpun’ harta kekayaannya itu, terkontaminasi dengan uang yang sifatnya ‘subhat’, dan kebetulan menjadi presiden, dan hidup dengan ‘zuhud’ dan ‘wara’, serta memelopori dan memberikan contoh, mungkin baru itu ada dampaknya. Persoalannya sekarang di Indonesia tidak ada yang dapat menjadi tauladan dan contoh untuk kebaikan.
Hubungan antara pengusaha dan penguasa itu sudah saling berkelindan. Adanya ‘mutualisma-simbiosa’, sudah mengakar sangat dalam. Sogok dan suap, sudah menjadi ‘aqidah’, dan falsafah orang Cina mengatakan, “Tidak ada tembok yang tidak bisa ditembus dengan peluru emas”. Artinya, tidak ada pejabat dan penguasa yang tidak dapat disogok. Ini semua telah terbukti dengan fakta. Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN), sampai sekarang masih tetap hidup, dan menjadi ideologi kehidupan, yang tidak pernah berhenti. Semuanya yang berlaku di Republik ini 100 persen adalah KKN.
Menjadi pemimpin partai saja, sekaran yang berlaku adalah ‘restu’ dari pemimpin yang lebih tinggi, tidak yang berdasarkan sistem meritokrasi, yang bersumber dari kemampuan, kejujuran, dan profesionalitas. Ini artinya kehidupan partai,yang menjadi penopang sistem demokrasi, juga tak terlepas dari KKN. Lalu, bagaimana bisa menciptakan kehidupan yang bersih dan normal, bila kondisinya serba KKN?
Di era reformasi dan demokrasi, semuanya serba uang, tak ada yang tidak menggunakan uang. Partai-partai yang ideologis pun, sekarang terjerat dengan uang, dan mengejar ‘rente’. Untuk bisa berkuasa memerlukan uang, dan untuk bisa kaya harus berkuasa. Inilah yang menjadi logika dan dialektika bangsa Indonesia saat ini.
Jadi kalau ada pemikiran yang ingin menghukum para koruptor dengan hukuman yang keras, di hukum mati, harta kekayaan mereka di rampas, mereka para koruptor dan golongan kleptomania, hanya tertawa-tawa, karena mereka tahu, itu hanyalah sebuah ‘bualan’, yang tidak akan dilaksanakan, mereka tenang-tenang saja.
Artalyta yang dikenal dengan ‘Ayin’ baru masuk penjara, karena menyogok, kini sudah mendapatkan keringanan hukuman, dan dari lima tahun menjadi empat tahun. Mana ada yang jera? Wallahu’alam.