KPU telah menetapkan hasil pilpres 2009, dan sebagai pemenangnya SBY-Boediono dengan mendapatkan suara 60 persen. Sama seperti pemilu 2004, SBY-JK juga mendapatkan dukungan suara 60 persen suara. Hanya pasangan SBY-Boediono, harus menunggu keputusan MK, karena kedua pasangan lainnya, Mega-Prabowo dan JK-Win mengajukan gugatan ke MK (Mahkamah Konstitusi), bahkan seuasai penetapan hasil pilpres 2009 itu, pasangan JK-Win menolak menandatangani hasil pilpres.
Gugatan ke MK oleh pasangan Mega-Prabowo dan JIK-Win itu, berkaitan adanya kecurangan yang sifatnya masif, berdasarkan data-data yang dikumpulkan kedua pasangan itu, ditambah dengan adanya ‘kacaunya’ daftar pemilih tetap (DPT) sejak pileg (pemilihan legislative) sampai ke pilpres (pemilihan presiden) tetap belum dapat diperbaiki. Diujung menjelang pilpres kurang sehari MK mengeluakan putusan yang membolehkan KTP dan Paspor sebagai tanda bukti untuk memilih, tapi semuanya sudah sagnat terlambat dan tidak lagi efektif untuk memperbaiki ekses dari DPT, yang belum diperbaiki itu.
Semua kalangan termasuk media menilai kerja KPU sekarang ini sangat buruk dan tidak dapat menjadi sarana menegakkan sistem demokrasi. Disisi lainnya, ada kalangan-kalangan yang menilai KPU tidak netral dan memihak salah satu calon. Inilah yang akan mengganggu masa depan kepemimpinan Indonesia yang merupakan produk demokrasi, jika produk yang dihasilkan tidak sesuai dengan prinsip-prinsip yang sudah menjai kaidah dasar, yaitu jujur, adil, langsung, bebas dan rahasia. Karena, hanya dengan adanya komitment semua komponen yang terlibat dalam proses demokrasi dan mematuhi prinsip-prinsip itu, maka sistem demokrasi akan bermartabat dan mempunyai nilai penting dalam melahirkan kepemimpinan di Indonesia.
Pemilu 2009 ini juga menimbulkan masalahl politik, yang berimplikasi pengkerdilan, partai-partai middle (menengah), yang sebagiannya adalah partai-partai Islam atau berbasis Islam,harus kehilangan puluhan kursi mereka, sebagai akibat keputusan MA. Dengan adanya keputusan MA itu KPU harus membatalkan penghitungan KPU tahap kedua. MA mengabulkan permohonan uji materiil Peraturan KPU No.15/2009 yang mengatur cara penghitungan kursi, terutama untuk penghitungan kursi tahap kedua.
Maka, dengan adanya keputusan itu, partai-partai ‘middle’ seperti PPP, PAN, PKS, Gerindra, dan Hanura telah kehilangan puluhan kursi. Dan, yang diuntungkan dengan pembatalan itu, partai-partai besar, seperti Demokrat, Golkar dan PDIP, yang suaranya bertambah secara signifikan. Implikasinya, partai-partai ‘midle’ itu akan menjadi partai ‘gurem’, yang secara politik akan tidak memiliki ‘leverage’ (daya tawar) politik.
Dapat ditarik kesimpulan masa depan politik di Indonesia hanya akan ditentukan oleh the ‘triumpirat’, yaitu Demokrat, Golkar dan PDIP. Sedangkan partai-partai lainnya, termasuk partai-partai Islam dan berbasis Islam hanya menjadi faktor komplementer yang tidak signifikan lagi dalam percaturan politik Indonesia. Karena, nilai leverage (tawar) mereka secara politik akan menjadi sangat rendah. Dan, tidak akan pernah mempengaruhi arus politik (mainstream) yang ada, sebaliknya hanya memberikan legitimasi atas arus besar politik yang merupakan dari the ‘triumpirat’ itu.
Usai partai-partai ‘middle’ yang sudah dirubah menjadi partai gurem itu, sekarang, episode berikutnya, yang akan menandai akan datangnya musim gugur, khususnya bagi partai-partai politik yang menjadi pendukung pasangan yang sudah dinyatakan pemenang pilpres oleh KPU, adalah SBY-Boeidono, mulai diintrodusir (disuarakan).di mana ada arus kuat sebagai pressure politik, agar kebinet yang akan datang diisi kalangan professional, bukan dari partai-partai politik. Artinya, pos-pos strategis kabinet tidak akan diserahkan dan diisi dari kalangan partai politik. Pos-pos strategis seperti bidang keamanan, politik, luar negeri, ekuin akan diserahkan kepada kalangan ‘profesional’, yang tentu akan memenuhi tuntutan dari ‘the big brothers’, yang selama ini mempunyai pengaruh kuat terhadap Indonesia. Kondisi ini sudah berlangsung sejak zamannya awal Orde Baru sampai sekarang, dan tidak pernah berubah.
Pos ekuin sejak zamannya Orde Baru, selalu diisi oleh orang-orang yang lebih pro-Barat, yang kemudian dikenal dengan kelompok Mafia Berkeley, sampai hari. Tidak pernah berubah. Selalu opini yang dibangun lewat media, tokoh-tokoh yang duduk di posisi ekuin haruslah orang-orang yang bisa diterima pasar. Maksudnya, mewakili kepentingan kaum kapitalis, yang tidak berpihak kepada rakyat kecil, tapi lebih memilih kepentingan pasar alias pemilik modal.
Partai-partai Islam dan partai ‘middle’ hanya kebagian pos-pos kabinet dibidang sosial, yang tidak memiliki nilai strategis bagi masa depan perubahan, lebih sekedar permen ‘nano-nano’ sebagai imbalan atas kesediaan mereka memberikan dukukngan politik. Jatah jabatan menteri di kabinet paling-paling di kementerian negara, seperti menteri pemuda, menteri sosial, menteri perumahan, menteri pariwisata atau lainnya.
Partai-partai Islam dan berbasis Islam hanya mirip ‘keledai’ yang dijadikan tunggangan, saat seorang tokoh politik ingin menaiki kekuasaan. Sesudah itu, partai-partai Islam atau berbasis Islam dan partai-partai ‘middle’ lainnya, mereka ditinggalkan dan hanya mendapatkan permen ‘nano’-nano’, yang tidak mempunyai nilai strategis. Itulah hasil dari mengejar dan menghamba kepada sistem sekuler yang bernama demokrasi. Sebentar lagi musim gugur akan menjelang. Wallahu’alam.