Menolak Perintah Perang Amerika

Presiden Yaman Ali Abdullah Saleh menolak campur tangan langsung AS ke dalam negeri Yaman. Karena adanya campur tangan AS itu hanyalah akan membawa kehancuran negaranya. Sikap Ali Abdullah Saleh yang tidak menginginkan campur tangan AS itu, menjadi langkah penting, khususnya untuk menyelamatkan Yaman dari kehancuran. Di mana Yaman sekarang telah berada diambang perang saudara.

Beberapa pekan sebelumnya dua pejabat penting AS telah berada dibukota Yaman, Sana’a. Jendral Mc Mullen dan Jendral David Petreaus bertemu dengan Presiden Abdullah Saleh, dan menawarkan bantuan, sekaligus ingin campur tangan langsung dengan menggunakan kekuatan militer untuk membasmi jaringan Al-Qaidah di wilayah itu. Menurut Gedung Putih, Yaman termasuk menjadi salah satu ‘the triangle evil’s’ (segi tiga setan), selain Pakistan dan Afghanistan, yang menjadi ancaman keaman global.

Kebijakan Gedung Putih, yang disuarakan oleh Presiden AS, Barack Obama, memerangi terorisme itu, hanyalah kelanjutan dari apa yang sudah menjadi kebijakan Presiden George Bush, yang terus menyuarakan perang terhadap teroris, yang hakekatnya tak lain perang terhadap Islam dan umat Islam di seluruh dunia.

Tidak ada perdamaian dan keeksistensi antara Barat dengan Dunia Islam. Ini menjadi fakta yang nyata, saat Presiden Obama terus memperluas wilayah perangnya, bukan hanya terhadap Irak, Afghanistan, Pakistan, Palestina, tapi kini mencakup Yaman, Somalia, dan, Sudan, dan kawasan Afrika Utara, yang menjadi pusat perhatian pemerintah AS, karena di wilayah ini menjadi wilayah yang mayoritas Islam.

Obama yang baru-baru mendapatkan ‘Nobel Perdamaian’ seorang pemimpin yang haus dengan perang. Di masa pemerintahan Obama ini, terjadi perluasan perang mulai dari Irak,  Afghanistan, Pakistan, Palestina, Yaman, Somalia dan Sudan. Dengan isu ‘terorisme’ Obama telah mendorong negara AS, melakukan campur tangan yang lebih luas atas dunia Islam. Setiap negara yang rakyatnya ingin menegakkan Islam, dan menolak hegemoni AS telah mendapatkan stempel sebagai pusat ‘teroris’. Dengan memberikan ‘stempel’ itu, AS berhak melakukan campur tangan langsung dengan menggunakan kekuatan militer yang dimilikinya.

Di setiap negara muslim tidak boleh ada potensi-potensi yang menginginkan tegaknya prinsip-prinsip Islam, karena akan bertentangan dengan nilai-nilai AS, yang menjadi supremasi kehidupan secara global. Pandangan tentang ancaman keamanan global itu, bukan semata-mata munculnya terorisme yang disebut kelompok ‘Al-Qaida’, tetapi setiap kelompok dan golongan di sebuah negara muslim, yang mencita-citakan penegakkan nilai-nilai Islam, di mata AS sudah merupakan ancaman. Setiap penolakan nilai-nilai yang menjadi ideologi AS itu, sudah masuk kategori ancaman.

AS melalui Gedung Putih telah memerintahkan pemerintah Pakistan, dalam hal ini, Presiden Pakistan Asif Ali Zardari, agar  memerangi kelompok Taliban, yang dianggap akan menjadi ancaman. Padahal, kelompok Taliban ini, kelompok yang dapat diterima masyarakat, karena berbagai aktivitas mereka yang sangat membantu dan menciptakan suasana yang aman dengan cara diterapkan syariah Islam. Seperti yang mereka laksanakan di Lembah Swat dan Selatan Waziristan. Tapi, justru Gedung Putih melihat ini sebagai sebuah ancaman riil, khususnya bagi keamanan global.

Setiap negara yang menolak hegemoni AS dituduh sebagai negara yang  menjadi basis kekuatan teroris dan Al-Qaidah, dan syah untuk dihancurkan. AS telah mendorong setiap pemerintahan di negera Islam, agar penguasanya berperang melawan kelompok ‘teroris’ atau ‘Al-Qaidah’, yang sudah menjadi momok, dan sangat menakutkan. Sikap dan pendangan AS inilah yang menciptakan dunia menjadi semakin tidak aman. AS justru mendorong setiap negara berperang dengan rakyatnya, yang kemudian AS membantu dan ikut dalam konflik antara pemerintahan muslim dengan kelompok-kelompok disebuah negara yang ingin menegakkan ideologi Islam.

Hegemoni AS telah menciptakan kesengsaraan dan kehancuran. AS tidak hanya menguasai sumber daya alam di negeri-negeri muslim, tetapi lebih dari itu, AS dengan menggunakan pemerintahan yang ada menghancurkan kekuatan dan kelompok yang ingin menegakkan prinsip-prinsip Islam, tentu yang sangat berbeda dengan prinsip-prinsip dan ideologi AS. Islam sangatlah berbeda prinsip sekulerisme, yang sekarang ini dipaksakan dengan berbagai cara, termasuk dengan menggunakan kekerasan senjata.

Apa yang salah dengan nilai-nilai Islam? Apakah melanggar konvensi internasional, jika sekelompok warga negara disebuah negera muslim, yang ingin menegakkan prinsip-prinsip Islam? Inilah yang menjadi titik konflik yang tidak akan habis-habisnya antara Timur dan Barat. Antara Islam dengan Barat yang sekuler, materialistik, dan tanpa moral.

Langkah Presiden Ali Abdullah Saleh yang menolak campur tangan langsung AS ke dalam negeri Yaman, dan menawarkan dialog dengan kelompok ‘Al-Qaidah’, sebuah langkah sangat bijak, dan demi menyelamatkan Yaman dari kehancuran. Tentu, AS mempunyai tujuan yang nyata-nyata untuk menghancurkan negeri muslim dan umat Islam, melalui mengadu-domba antara pemerintah dengan rakyatnya melalui isu terorisme dan Al-Qaidah. Wallahu’alam.