Kemana Arah Indonesia Sesudah 64 Tahun Merdeka?

Jika diukur dengan waktu dan umur, maka angka 64 tahun, bagi seorang anak manusia, sudah tergolong senja. Rasulullah Shallahu Alaihi Wa Sallam, wafat ketika umurnya mencapai 63 tahun.

Biasanya, manusia yang sudah mencapai umur lebih dari 60 tahun, kemampuan pisiknya, psychisnya, dan indera lainnya, mulai surut. Produktifitasnya berkurang. Berbagai penyakit mulai mengidap di dalam dirinya.

Dan, secara alamiah, manusia akan meyosong kematiannya, yang sudah menjadi kemestian,bagi siapapun adanya. Tidak ada yang dapat menolak akan datangnya kematian.

Pilihan-pilihan manusia menemui kematiannya berbeda-beda. Bila berfikir perspektif masa depan bagi kehidupan, yang orientasinya tidak pada jangka pendek, tapi bersifat jangka panjang, dan langgeng serta abadi, maka manusia akan selalu mengorientasikan seluruh potensi kehidupannya, bukan hanya sekadar hanya menjalani kehidupannya di dunia, maka manusia akan mengidealkan kehidupan akhirat, yang akan menjadi tujuan hidupnya.

Kehidupannya di dunia, tidak menjadi belenggu dan penjara, yang menyengsarakan dirinya, khususnya dalam menghadapi tawaran-tawaran kenikmatan, dan cobaan-cobaan kepedihan. Karena, semua yang ada di dunia hanya bersifat terbatas, relative, dan tidak kekal.

Maka, bagi manusia yang mengorientasikan kehidupannya kepada kehidupan akhirat, tidak ada suka dan duka dalam dirinya, yang ada bagaimana dirinya dalam menjalani kehidupan itu, kelak sesudah meninggalkan dunia yang fana ini, dan kemudian Allah Azza Wa Jalla, menerima dengan ridho, dan menempatkannya pada posisi mulia, yaitu jannah (surga). Karena itu, seorang mukmin yang orientasi hidupnya hanya ingin mendapatkan ridho dari Allah, selalu bersikap optimis, dan mengisi seluruh relung kehidupan dari waktu ke waktu dengan amal sholeh.

Allah Ta’ala berfirman dalam Surah al-Kahfi, “Katakanlah (Muhmmad), “Sesungguhnya aku ini hanya seorang manusia seperti kamu, yang telah menerima wahyu, bahwa sesungguhnya Tuhan kamu adalah Tuhan yang Maha Esa”. Maka, barangsiapa mengharap pertemuan dengan Tuhannya, maka hendaklah dia mengerjakan kebajikan dan janganlah dia mempersekutukan dengan sesuatu pun dalam beribadah kepada Tuhannya”. (Surah al-Kahfi :110)

Landasan seorang mukmin, tak lain keimanannya kepada Rabbnya, tidak menyekutukannya. Karena, faktor syirik (menduakan) Tuhan, selalu dan pasti akan melahirkan destruksi dalam kehidupan manusia. Ini sifatnya aksiomatik. Tak akan ada bentuk kebahagian, kemuliaan apapun, yang akan ditemui dalam kehidupan manusia, ketika manusia berlaku syirik terhadap Tuhannya. Hakekat ‘alhurriyah’ (kemerdekaan), yang asasi bagi seorang mukmin, ketika ia tidak lagi menyekutukan Rabbnya dengan apapun dan siapapun. Inilah esensi kehidupan seorang mukmin.

Namun, dimensi lainnya, yang paling penting dalam kehidupan ini, tak lain, melakukan amal kebajikan, yang terus menerus, sampai akhir hayat. Tidak tergoda oleh godaan apapun, yang dapat mengakibatkan penyimpangan dirinya terjerumus ke dalam perbuatan yang melanggar ketentuan (syariah) Allah. Tidak mengotori dirinya dengan serpihan dan lautan dosa. Semua ditinggalkannya kehidupan jahiliyah, sebagai bentuk komitmentnya dan pengakuabn terhadap Tuhannya.

Sekarang, mari kita renungkan dan pikirkan secara mendalam, apa yang terjadi sesudah Indonesia merdeka selama 64 tahun ini? Jika diukur dengan umur sebagai negara dan bangsa, maka sejatinya Indonesia masih tergolong negara yang masih muda. Belum ratusan tahun umur kemerdekaan Indonesia. Masih lebih lama ketika Indonesia dijajah oleh penjajah Barat, selama ratusan tahun, dan berbekas sampai hari ini.

Tapi, faktanya negara Indonesia yang umurnya masih belia ini, sudah seperti seorang umurnya sudah lebih dari 64 tahun. Kemampuan fisik dan psychisnya menurun, indera-indera lainnya ikut menurun, seperti sudah menjelang umur yang senja. Bahkan, ada yang mempunyai pandangan yang pesimistis, bahwa Indonesia akan menuju negara yang gagal (failed state).

Berbagai penyakit menggerogoti Indonesia. Dari salah urus, utang luar negeri, korupsi, kemiskinan, kebodohan, ketertinggalan, ketidak serasian antara pusat-daerah, kesenjangan sosial, penguasaan asing atas sumber daya alam dan asset negara, dan campur tangan asing. Semuanya masalah ini akan menggerogoti kemampuan bangsa Indonesia. Eksploitasi kekayaan alam Indonesia yang sangat luar biasa, berdampak bagi masa depan Indonesia,dan berpotensi menjadi bangsa yang terjajah. Dan, yang lebih mengkawatirkan orientasi kepada nilai materialisme dan kehidupan sekulerisme, yang semakin kuat di dalam kehidupan bangsa ini. Inilah potensi yang lebih membahayakan bagi masa depan bangsa Indonesia.

Lalu, siapa yang bertanggungjawab, dan menjadi penyelamat atas keadaan Indonesia, menjelang kehidupannya di masa depan. Perjalanan dari waktu ke waktu, dari satu pemimpin ke pemimpin lainnya, tak menampakkan adanya ‘progres’ (kemajuan) menuju cita-cita, yang menjadi harapan bangsa, dan umah. Indonesia membutuhkan sang ‘penyelamat’ dan ‘pembebas’, yang dapat akan mengantarkan bangsa dan umah ini menuju kehidupan yang mendapat ridho Allah Ta’ala.

Indonesia membutuhkan pemimpin yang dapat merealisasikan harapan rakyat dan umah, bukan tipe pemimpin yang hanya dapat memberikan janji belaka. Karena itu, memerlukan pemimpin yang memiliki komitmen yang kuat. Komitment mengantarkan bangsa dan umah ini, keluar dari berbagai situasi dan penyakit yang sudah akut. Seperti, ketika bangsa ini menantikan datangnya fajar baru, perginya kegelapan yang menyelimuti atas segenap bangsa dan umah yang sudah berlangsung berbilang puluhan tahun ini.

Siapa sejatinya yang dapat menjadi pemimpin yang memiliki komitmen dan sungguh-sungguh menjalankan misinya. Dan, mirip ucapan Abdullah bin Mas’ud : “Semenjak Umar masuk Islam, kami merasa kuat. Islamnya merupakan kemanangan, hijrahnya merupakan pertolongan, dan pemerintahannya merupakan rahmat. Telah saya alami sendiri, bahwa kami tak dapat melakukan shalat di Baitullah sampai Umar masuk Islam..”.

Indonesia di masa depan, bukan bangsa yang hanya disibukkan oleh masalah-masalah seperti terorisme dan lainnya, tapi bangsa yang memiliki optimisme, dan memiliki orientasi yang benar, dan komitmen pemimpinnya yang jelas bagi tujuannya masa depannya. Berupa kebahagian dunia dan akhirat. Wallahu’alam.