Sesudah berhasil membebaskan Mesir dari dinasti Fatimiyah yang menjadi simbol kekuasaan Syiah yang dilakukan oleh Nuruddin az-Zanky, tahun 564 Hijriyah/1169 Masehi, terus melanjutkan usaha membebaskan negeri-negeri Muslim dari cengkeraman pasukan Salib. Termasuk ‘billadus’ Syam, yang di dalamnya terdapat Al-Aqsha.
Jatuhnya Mesir ke tangan Nuruddin dan panglimanya Shalahuddin al-Ayyabui, bukan hanya menghancurkan kekuassaan dinasti Syiah, tetapi ikut menggentarkan pasukan Salib yang sudah mendarat di Mesir. Para penguasa Salib di Eropa yang melihat kejatuhan Mesir, mereka semakin takut. Maka, para penguasa Salib di Eropa Barat, mempersiapkan pasukan yang lebih besar lagi, yang tujuannya untuk menghadapi pasukan Muslim, yang sudah menguasai Mesir, dan merambah ke ‘billadus’ Syam.
Sayangnya, di tahun 569 Hijriyah/1169 Masehi, mujahid besar, yang berhasil membebaskan dari kaum ‘zindiq’ yang dipimpin dinasti Fatimiyah itu, wafat. Nuruddin az-Zanky wafat. Selajutnya, kepemimpin di medan jihad, yang selama ini dipegang oleh Nuruddin digantikan oleh Shalahuddin al-Ayyubi. Shalahuddin mengikuti apa yang sudah digariskan oleh Nuruddin untuk mewujudkan cita-citanya.
Di bawah kepemimpinan Shalahuddin al-Ayyubi, pasukan Muslim terus menyerbu kantong-kantong kekuatan pasukan Salib, ketika dia merasa waktu yang tepat telah tiba, maka seluruh pasukan Muslim menyerang kota Quds. Para pembesar dan petinggi Negara berada di baris terdepan disusul oleh selulruh anggota pasukan yang terdiri dari para penglima, ulama, fuqaha’, dan kaum sufi dari berbagai mazhab dan aliran. Tercatat diantaranya adalah Muwafaquddin Ibn Qudamah, Muhammad bin Qudamah (saudaranya) dan Ibn Naja’.
Pertempuran berkecamuk dengan sangat dahsyat. Pasukan Muslim menyerbu dengan gigih demi meraih syahid dengan balasan surga yang sudah dijanjikan Allah Azza Wa Jalla. Akhirnya mereka berhasil mengalahkan balatentara Salib dan masuk kota suci Baitul Maqdis penuh dengan gema takbir ‘Allahu Akbar’ dan tahlil ‘La Ilaha ILlah Allah’. Gelombang pasukan muslim bergerak dengan pasti menuju Masjid Al-Aqsha yang telah bebas, lalu membersihkannya dari segala noda dan kotoran yang ditinggalkan aoleh kaum Salib.
Saat kaum Muslimin melaksanakan shalat Jum’at yang pertama, masjid begitu penuh sesak, dan mereka tidak kuasa menahan cucuran air mata, karena haru, berhasil membebaskan kota suci itu dari cengkeraman pasukan Salib Eropa.
Shalahuddin Al-Ayyubi meminta Ibn Az-Zaki Asy-Syafi’I untuk menyampaikan khutbah Jum’at dan mengutip ayat Al-Qur’an :
“Maka orang-orang yang zalim itu dimusnahkan sampai ke akar-akarnya Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam”. (QS : Al-An’am : 45).
Kemudian, dalam khutbahnya, Ibn Zaki menegaskan, “Segala puji bagi Allah yang telah mengagugnkan Islam dengan pertolongan-Nya, menghancurkan kemusyrikan dengan kekuatan-kekuatan-Nya, menjalankan segala sesuatu dengan perintah-Nya, mengulur waktu pembalasan bagi orang kafir dengan muslihat-Nya .. .”. Ibn Zaki selanjutnya, memberikan selamat dan penghargaan kepada seluruh kaum Muslimin yang hadir di situ karena melalui usaha keras merekalah, Allah memberi kemudahan untuk merebut kembali Baitul Maqdis yang memiliki begitu banyak keistimewaan dan kelebihan.
Masjidil Aqsha meruakan kiblat pertama kaum muslimin, dan tanah suci ketiga setelah Makkah dan Madinah. Al-Aqsha akan menjadi tempat pemisahan (mansyar) bagi seluruh manusia di hari kiamat. Al-Aqsha merupakan tempat tinggal para Nabi dan tujuaan para wali. Sekarang dibawah cengkeraman kaum musyrikin Yahudi dan Nasrani.
Usai melaksanakan shalat Jum’at, Shalahuddin memohon kepada Ibn Naja’ al-Qadiri al Hambali menyampaikan mau’izhahnya. Tanpa ragu Ibn Naja’ menyambut permohonan itu, lalu menyampaikan nasihat dihadapans seluruh kaum muslimin. “Setiap orang yang memiliki rasa takut dan harapan .. memberi nasihat yang sanggup hati orang-orang yang selama ini terlena … namun menggentarkan hati musuh Allah”, ujar Ibn Naja’. Banyak orang yang tidak sanggup menahan air matanya, dan pupus sudah keraguan yang selama ini menyelimuti orang-orang yang ragu.
Jum’at kedua, Shalahuddin Al-Ayyubi meminta kembali Ibn Naja’ untuk menyampaikan nasihat di Masjid Al-Aqsha dan Ibn Naja’ melakukannya. Ibn Syaddad menuturkan bahwa setelah berhasil menguasai Palestina, Shalahuddin berbicara kepadanya bahwa cita-citanya setelah itu adalah ingin mengakhiri hidupnya dengan kematian yang mulia.
Ketika ditanya keinginannya itu, Shalahuddin Al-Ayyubi menjawab bahwa ia ingin membawa pasukannya mengarungi laut untuk menyerang kerajaan-kerajaan Kristen di Eropa untuk menyebarkan Islam. Ekspansi Shalahuddin itu meurakan proyek besar yang hanya dapat dilakukan adanya kekuatan Islam yang besar, dan bersatunya kaum muslimin. Inilah sebuah cita-cita besar yang pernah disampaikan oleh Shalahudidn Al-Ayyubi.
Kini, nasib malang menimpa kaum Muslimin, yang dijajah kembali pasukan Salib. Al-Aqsha diduduki Zionis-Salibis, Irak dihancurkan, Afghanistan diduduki oleh para anak cucu kaum Salib dan Zionis. Darah, air mata, dan kenistaan, menyelimuti kaum Muslimin. Mereka hidup dalam penderitaan.
Mereka bukan hanya Negara dikuasai dan diduduki, tetapi mereka juga dijajah secara agama, dan aqidah mereka dihancurkan. Mereka dipaksa menjadi musyrik dan menerima kekafiran. Di mana Shalahuddin Al-Ayyubi hari ini? Wallahu’alam.