Al-Qur’an, memberikan manhaj (pendoman) yang sifatnya asasiyah (mendasar), bagaimana cara memandang, mensikapi dan menghadapi orang-orang kafir. Pedoman itu sifatnya mutlak, tak berubah, dan abadi. Dan, apa yang ada di dalam al-Qur’an telah dibuktikan kebenarannya secara empiris.
Bukan, sebuah pengalaman sejarah masa lalu semata, dan tidak memiliki dasar, serta yang sifatnya subjektif. Artinya, al-Qur’an telah teruji disepanjang sejarah, bukan hanya berkaitan umat Islam dan Islam, tapi mencakup sampai kepada umat yang sebelumnya. Maka, setiap ayat yang ada di dalam al-Qur’an mempunyai landasan yang sifatnya empiris, dan berlaku sepanjang zaman.
Sayyid Qutb Rahimahumullah, di dalam sebuah bukuknya, ‘Manhaj Hubungan Muslim – Non Muslim’, memberikan sebuah landasan yang sifatnya baku, bagaimana kita – kaum muslimin dalam menghadapi orang-orang kafir, secara mutlak. Al-Qur’an memberikan sebuah landasan yang dapat digunakan sepanjang zaman, khususnya dalam hal memandang, mensikapi dan menghahadapi orang-orang kafir, dan bahkan dalam bermuamalah.
Sebuah perbedaan yang bersifat mutlak dan asasiyah antara orang-orang mukmin dengan orang-orang kafir, adalah berkaitan itijah (orientasi) hidup, yang sangat berbeda. Orang-orang kafir dengan kekufurannya, selalu memutarbalikkan permasalahan, tidak amanah dan berdusta. Mereka lebih memilih untuk beriman kepada hal-hal yang bathil, dan selalu menolak kebenaran, mengikuti hawa nafsu dan praduganya yang tidak memiliki dasar. Dan, kehidupan orang-orang kafir itu, semakin jauh dari petunjuk Allah.
Firman Allah Ta’ala :
“ … Katakanlah, Kesenangan di dunia ini hanya sebentar dan akhirat itu lebih baik untuk orang-orang yang bertakwa dan kamu tidak akan dianiaya sedikitpun”. (all-Qur’an : an-Nisa’ : 77)
“Dan, apakah mereka tidak memperhatikan, bahwa sesungguhnya Kami telah menjadikan (negeri mereka) tanah suci yang aman, sedang manusia sekitarnya rampok-merampok. Maka, mengapa (sesudah nyata kebenaran),mereka masih percaya kepada yang bathil dan ingkar kepada nikmat Allah? Dan, siapakah yang lebih lalim daripada orang-orang yang mengada-adakan kedustaan terhadap Allah atau mendustakan yang haq, dan tatkala haq itu datang kepadanya? Bukankah dalam nerakan Jahanam itu ada tempat bagi orang kafir?”. (al-Qur’an : al-Ankabut : 67-68).
“Maka, jika mereka tidak menjawab (tantanganmu), ketahuilah bahwa sesungguhnya mereka hanyalah mengikuti mereka (belaka). Dan, siapakah yang lebih sesat daripada orang yang mengikuti hawa nafsunya dengan tidak mendapat pentunjuk dari Allah sedikitpun. Sesungguhnya Allah tidak member petunjuk kepada orang-orangyang lalim”. (al-Qur’an : al-Qashas :50).
“Itu tidak lain hanyalah nama-nama yang kamu dan bapak-bapak kamu mengada-adakannya; Allah tidak menurunkan suatu keterangan pun untuk (menyembah)nya. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti sangkaan-sangkaan, dan apa yang diingini oleh hawa nafsu mereka, dan sesungguhnya telah datang petunjuk kepada mereka dari Tuhan mereka”. (al-Qur’an : an-Najjm: 23)
Ayat-ayat diatas memperlihatkan perbedaan kehidupan antara orang kafir dengan orang mukmin, yang bersifat asasiyah (mendasar), yang menyangkut itijah. Bagi orang-orang kafir kehidupan dunia menjadi tujuan mereka, menjadi tempat kesenangan dan memuaskan hawa nafsunya, sedangkan orang-orang mukmin, menjadikan kehidupan dunia sebagai batu ujian, dan masa untuk menanam dan mencari bekal, demi kehidupan akhirat, sebagai tempa tinggal abadi.
Orang-orang kafir dalam penjara yang sangat sempit dan menghabiskan waktu mereka yang sangat terbatas. Mereka makan, menikmati hidup layaknya seekor binatang dan bahkan mereka lebih rendah dari seekor binatang. Kehidupan duniawi telah membutakan mereka dan membuat lupa akan kematian. Mereka tidak pernah meliha hakekat kehidupan yang sebenarnya dan mereka sama sekali tidak pernah menginvestasikan kebaikan dalam hidup mereka.
Inilah gambaran al-Qur’an yang sifatnya final tentang orang-orang kafir. Siapakah orang-orang kafir yang secara ekplisit di dalam al-Qur’an tak lain, yaitu orang-orang musyrik, yahudi, dan nashrani. Mereka terkena hukum tetap yang seperti diungkapkan di dalam al-Qur’an. Di dalam perspektif al-Qur’an itu, mereka membiarkan dirinya selalu dalam kemegahan, dan tertipu oleh keindahan dunia. Dan, materi merupakan keindahan yang menjadi tujuan akhir dari kehidupan mereka. Tidak ada persepsi yang mereka miliki tentang sebuah kehidupan yang lain, termasuk kehidupan.
Dalam perspektif al-Qur’an, sangatlah jelas, bagaimana persepsi dasar kehidupan orang-orang musyrik, kafir, dan nasharani, yang diantara mereka akan selalu dalam tolong menolong dalam kesesatan dan kebathilan ‘taawanu alal ismi wal udwan’.
Karena itu, melihat persoalan yang dihadapi kaum mukminin di Palestina, adalah sebuah refleksi konflik ‘syiro’ bainal haq wal bathil’, akan terus selalu berlangsung sepanjang sejarah. Peperangan antara kekuatan yang haq dengan yang bathil, tak pernah berakhir sepanjang sejarah kehidupan manusia. Seperti, jika sekarang entitas politik Yahudi di tanah Palestina, yang sudah berbentuk negara Israel, tidak pernah berhenti konflik itu, sampai kekuatan al-haq menundukkan kebathilan, yang berwujud Israel.
Umat Islam tidak perlu dipecah dengan tampilan partai atau tokoh di Israel, yang sekarang menjadi pemimpin dan mengelola negara itu. Karena, hakekatnya mereka mewakili seluruh bentuk kekufuran, yang bathil, dan akan selalu menimbulkan fitnah dan kekacauan di muka bumi. Tzipi Livni, Benyamin Netanyahu, dan Aviqdor Lieberman, adalah wujud dari kebathilan, hawa nafsu, kemungkaran, kekufuran, dan kedurhakaan, yang senantiasa menjadikan hawa nafsu sebagai ‘ilah’ mereka. (m)