Huru-hara yang terjadi di Priok beberapa waktu lalu, yang menyisakan kepedihan bagi berbagai pihak. Ini kerusuhan yang lebih besar dibandingkan peristiwa tahun 1984. Jika peristiwa Priok di tahun 1984 itu, korbannya adalah umat Islam. Karena tembakan aparat. Jumlahnya tak sedikit. Semuanya pasti akan ingat peristiwa yang lalu, dan tetap menyisakan kepedihan. Karena korbannya ratusan umat Islam.
Peristiwa Priok di tahun 1984 itu, berlangsung saat kehidupan politik, memang sangat keras (represif), karena kekuasaan di tangan militer. Militer bisa bertindak atas nama negara. Kekerasan atas nama negara, yang dampaknya sangat panjang. Terutama bagi korban kekerasan itu.
Beberapa waktu lalu, April 2010, di Priok kembali terjadi huru-hara, yang sangat menyedihkan dan menyayat hati. Melihat bagaimana sama-sama anak bangsa dapat saling menyerang dengan tanpa sedikitpun belas kasihan. Semuanya bermula dari sikap dan tindakan Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP), yang ingin membongkar tempat ‘Mbah Priok’.
Tentu aparat Pemprov DKI Jaya, tidak mengira akan menghadapi perlawanan begitu massif dari masyarakat, yang ada di sekitar. Konflik menjadi terbuka. Korbannya tidak sedikit. Tetapi peristiwa ini tetap disyukuri tidak menjadi kobaran yang lebih dahsyat, yang dapat membakar seluruh Priok, dan akan menghancurkan seluruh sarana, yang menjadi vital bagi kepentingan ekonomi nasional. Priok merupakan tempat yang sangat sentral bagi kepentingan ekonomi nasional.
Orang-orang yang membela makam ‘Mbah Priok’ bisa menjadi sangat marah, dan mempunyai eskalasi yang dahsyat, yang tidak dapat diprediksi oleh aparat. Karena memang tindakan dari Satpol PP sudah menyentuh hal-hal yang sangat emosional, dan berkaitan dengan keyakinan, setuju atau tidak setuju. Ini adalah sebuah fakta, yang kadang-kadang, tidak disadari oleh para pembuat kebijakan.
Orang dapat bertindak apa saja, dan bahkan, tidak takut mati, karena sudah tersentuh perasaan-perasaan mereka, yang sangat emosional, terkait dengan keyakinan. Selama ini, dikalangan masyarakat Priok, tokoh yang disebut ‘Mbah Priok’, menjadi tempat yang teduh bagi kehidupan mereka, sekaligus memberikan proteksi psychologis, disaat masyaratkat yang umumnya kelas menengah kebawah sedang berjuang menghadapi hegemoni orang-orang kaya (pemilik modal) dan negara, yang menyisihkan mereka.
Hal ini berulang lagi, huru-hara yang terjadi di Batam, yang tak kalah dengan peristiwa Priok. Hanya karena dikatakan sebagai ‘goblok’, terjadi amok, yang mengakibatkan kerugian sebuah perusahaan galangan kapal, hancur. Konon kerugian mencapai triliun rupiah.
Para pemilik modal yang umumnya investor asing, yang berada di Batam seperti sudah menguasi segalanya. Batam sudah menjadi negerinya sendiri. Tetapi yang paling menyedihkan terjadinya ‘segregasi’ (perbedaan), terutama terkait dengan gaji, dan status sosial mereka. Orang pekerja eks patriat (asing), sudah berani sewenang-wenang, dan melecehkan kaum pribumi, yang bekerja di perusahaan mereka.
Ujungnya kaum buruh dari galangan kapal PT.Dry Dock World Graha (DWG) di Batam, merusak aset perusahaan itu, dan membakarnya termasuk mobil dan aset lainnya. Inilah peristiwa yang kesekian kali nya hal-hal yang sangat emosional, akhirnya pecah menjadi huru-hara.
Kemarin siang di daerah Cisarua, Bogor, terjadi pembakaran 10 bangunan, yang menjadi milik Yayasan Badan Pendidikin Kristen (BPK) Penabur, termasuk tiga mobil dan alat berat. Bangunan yang terletak di Kampung Kongsi Rt 02/Rw 07, Desa Cibereum, Cisarua, Bogor, habis dibakar massa.
Ini juga tak terlepas dari hal-hal yang sensitip dan emosional. Agama. Inilah persoalan yang sangat pelik dan komplek.
Siapapun harus memahami persoalan ini, termasuk yang mengambil kebijakan, dan mereka yang berhubungan dengan masyarakat luas. Harus hati-hati. Bila tidak hati-hati, dan mengambil sikap dan langkah yang tidak tepat, apalagi menyentuh hal-hal yang emosional, akibatnya dapat fatal, dan menghancurkan. Wallahu’alam.