Terasa sangat sedih melihatnya. Betapa baru pekan pertama Ramadhan sudah nampak masjid-masjid dan mushola, di mana jamaah shalat tarawihnya sudah berkurang drastis. Jamaah shalat tarawih tidak bertahan sampai pertengahan Ramadhan. Di masjid-masjid besar, dan di perumahan-perumahan yang ‘elite’, hanya hari pertama dan kedua, jamaah shalat tarawihnya penuh. Keadaan seperti ini menjadi fenomena yang sangat menggugah untuk diperhatikan.
Mestinya semakin mendekati akhir bulan Ramadhan, masjid-masjid dan mushola semakin dipenuhi dengan jamaah, yang ingin melakukan ibadah shalat tarawih, berdzikir, tadarus Al-Qur’an, tapi ini yang terjadi adalah kebalikannya. Semakin mendekati akhir bulan Ramadhan, terasa dan nampak kegiatan ibadah semakin menurun, masjid-masjid jumlah jamaahnya semakin sedikit, mungkin hanya tinggal beberapa shaf. Dan, tahun ini semakin terasa dan nampak, bagaimana masjid-masjid besar dan di perumahan ‘elite’, yang dulunya jamaahnya selalu penuh, sampai pertengahan Ramadhan, kini jamaahnya berkurang dengan sangat cepat.
Di masjid-masjid dan mushola tak terdengar lagi, suara orang-orang yang membaca Al-Qur’an. Usai shalat tarawih, masjid-masjid dan mushola sepi, hanya beberapa orang yang tertinggal, mungkin mereka ini penunggu atau penjaga masjid atau mushola. Sholat-sholat wajib lima waktu, yang menjadi kewajiban, jamaahnya di masjid-masjid dan mushola, tak nampak adanya jumlah yang besar orang melaksanakan shalat. Seperti hari-hari biasa. Tak ada perubahan yang membedakan antara bulan Ramadhan dengan bulan-bulan biasanya.
Anak-anak umur 10-13 tahun hanya berlari-lari berkejaran dengan teman-temannya, jarang yang mengikuti shalat tarawih dengan khusuk dan hikmat. Mereka bermain-main, sambil mempermainkan sarung mereka yang lilitkan dipinggangnya, sehingga menganggu kekhusukkan jamaah yang sedang shalat. Di bulan Ramadhan kali, tak ada pendidikan untuk anak-anak remaja, seperti pesantren kilat, seperti tahun-tahun sebelumnya, dan membiarkan waktu mereka berlalu, dan menjadi sia-sia. Mereka tak mendapatkan pendidikan agama, mereka tak mendapatkan pendidikan membaca Al-Qur’an, dan nilai-nilai Islam. Sehingga, mereka tak ada ketertarikan lagi kepada agama (Islam).
Ada phenomena baru, yang getir, selama dalam shalat tarawih, atau dikala shalat Jum’at, pemandangan yang umum, di mana jamaahnya, banyak diantara mereka yang tidak khusuk dalam shalat, mereka lebih khusuk dengan ‘dzikir’ baru, memencet fitur Hp nya, dan menggunakan BB (Black Berry), melakukan chating, dan membalas sms dari teman-teman mereka. Inilah pemandangan baru dikalangan remaja, dan sebagian orang-orang dewasa saat ini. Seakan mereka waktunya tidak cukup dikantor, di rumah, bahkan di masjid-masjid atau mushola, mereka tak pernah dapat melepaskan dari Hp dan BBnya. Mereka tak lagi serius memperhatikan ceramah dari para da’i, tapi mereka lebih memperhatikan pada benda yang ada ditangannya itu. Berulang kali, pengurus masjid mengingatkan agar, ketika berlangsung shalat hendaknya Hp dan BB itu dimatikan, tapi itu tak sepenuhnya mendapatkan respon.
Inilah sebuah generasi baru yang bakal mengisi masa depan Islam, di mana mereka tidak lagi, memiliki komitment (beriltzam) kepada Islam. Karena, hakekatnya mereka tidak faham terhadap Islam, dan tidak mendapatkan pendidikan Islam. Hari-hari mereka hanya diisi oleh hal-hal yang tidak bermanfaat, dan lebih bersifat merusak, khususnya bagi masa depan mereka. Mereka tidak lagi memiliki karakter Islam, dan akan menjadi generasi yang ‘hilang’ dari porosnya yaitu Islam. Mereka memiliki pendidik dan pembina serta mereka juga memiliki bapak dan ibu yang baru, yang kian akrab dengan mereka. Yaitu, seperti telivisi, play stasion, dan sarana-sarana baru, yang dapat memuaskan dahaga mereka, khususnya tentang kehidupan mereka. Generasi baru yang kosong dari agama (Islam), dan ini yang akhirnya akan menjadi ‘bom’ waktu di masa depan, dan berakibat fatal bagi kelangsungan umat dan bangsa.
Di bagian lain, di era kebebasan (demokrasi), dan para aktivis dakwah telah masuk kedalam ‘ mihwar siyasi’ (era partai politik) yang banyak menyihir para du’at, sehingga mereka tak lagi, memperhatikan tugas pokok mereka sebagai da’i, karena mereka sudah banyak yang beralih profesi menjadi politisi. Prinsip yang selama ini digaungkan dan diamalkan, dan menjadi pegangan mereka, ‘nahnu du’at, qobla ala kulli syai’, (kami da’i sebelum menjadi yang lain) ditinggalkan. Semuanya berakibat pada masa depan, khususnya kehidupan masa depan bagi kaum muslimin. Apalagi, ketika mereka ikut dalam partisipasi politik, tak menunjukkan pengaruh yang signifikan, semantara itu di sebagian kalangan du’at sudah mengalami proses ‘ijabah” (pelarutan) dari sisi aqidah, moral, pemikiran dan komitment. Dan, yang lebih mendasar lagi, umat kehilangan panutan, kehilangan arah, siapa yang akan diikuti dan menjadi suri tauladan mereka?
Di masjid-masjid kampus, sekolah, dan kantor, sekarang ini sulit mendapatkan da’i, yang dapat memberikan pendidikan agama dan arahan bagi mereka. Sehingga, dampaknya semakin menurun, dari waktu ke waktu pembinaan dan pendidikan yang ada di kampus-kampus, sekolah-sekolah dan kantor-kantor. Padahal, kelangsungan dan keberadaan umat Islam, hakekatnya sangatlah ditentukan para du’atnya. Ghirah dan semangat menegakkan Islam semakin menghilang, sebaliknya kehidupan duniawi semakin menjadi rebutan diantara para du’at.
Indonesia yang jumlah penduduknya 230 juta jiwa, yang mayoritas beragama Islam, mungkin suatu ketika akan menjadi kelompok minoritas, di tengah-tengah masyarakat sekuler, yang semakin dominan dalam segala lapangan kehidupan. Karena, tidak ada lagi mereka yang mau mendakwahkan Islam ke tengah-tengah masyarakat, dan mereka sibuk dengan urusan dunia. Wallahu’alam.