Kampanye pemilu 2009 secara terbuka dimulai. Dengan didahului deklarasi para pimpinan partai politik, yang akan melakukan aktivitas kampanye dengan damai, tertib, dan aman. Deklarasi ini menjadi komitment partai-partai yang akan menyelenggarakan kampanye. Inilah sebuah eksperiman besar, yang kedua sesudah reformasi, dan akan diikuti 170 juta pemilih, dan ini mungkin model demokrasi yang paling bebas di muka bumi.
Pemilu 2009 ini, diikuti 38 partai politik. Dengan tingkat kualitas partai politik berbeda-beda. Tapi, pemilu ini juga paling mahal, bila dibandingkan dengan kondisi bangsa yang megap-megap di timpa krisis, sejak tahun 1998, yang hingga kini belum berakhir. Dan, kini dihadapkan krisis baru, yang diakibatkan krisis global, dan dampaknya sampai kepada Indonesia.
Bayangkan. Biaya pemilu legislative dan presiden 2009, menurut KPU biayanya sebesar 14 trilyun rupiah.Belum lagi berapa partai-partai politik harus mengeluarkan biaya kampanye? Menurut sebuah lembaga survei, yang mengevaluasi penerimaan media massa dari iklan, tak kurang partai-partai itu, sudah mengeluarkan biaya lebih 20 trilyun rupiah, hanya untuk iklan.
Lalu, berapa kalau ditambah dengan biaya untuk atribut? Seperti baligo, poster, spanduk, panflet, liflet, stiker, gambar dan foto para caleg, pin, bros, dan lainnya, serta ditambah biaya kampanye, plus untuk aktivitas pra kampanye, dan sesudah kampanye, seperti menjadi saksi-saksi di Tps.Semuanya, bisa mencapai 100 triyun lebih.Belum lagi kalau ada sengketa dalam pemilu, pasti akan ada biaya tambahan lagi. Padahal, tujuannya hanya untuk memilih ‘wakil rakyat’ di tingkat pusat (DPR), propinsi (DPRD I), dan daerah (DPRD II). Begitu mahalnya untuk memilih calon pemimpin ini.
Sekarang, ditambah adanya keputusan MK (Mahkamah Konstitusi) yang mengubah secara mendasar sistem pemilu, dari nomor urut kepada suara terbanyak, yang berhak menjadi anggota legistlatif, persaingan diinternal partai dan antara partai politik semakin keras. Inilah yang mendorong perlombaan partai-partai politik di pemilu 2009.
Sebelumnya, selama dua tahun terakhir ini, sudah berapa banyak uang yang harus dikeluarkan partai-partai dan peorangan untuk Pilkada yang memilih gubernur, bupati dan walikota seluruh Indonesia? Indonesia ini termasuk bangsa yang ajaib. Dari titik ekstrim ke titik ekstrim lainnya. Dari rejim otoritarian yang sangat tertutup, dan menjadi rejim demokratis yang sangat bebas.
Apakah dengan model demokrasi ini, di masa depan akan menghasilkan perubahan yang mendasar bagi kehidupan rakyat dan bangsa Indonesia? Tentu, kuncinya ada di partai-partai politik. Karena, partai-partai politik yang ada sekarang ini, dan berdasarkan sistem demokrasi yang sudah diatur oleh konstitusi, mempunyai kewenangan dan peran yang sangat menentukan bagi proses tranformasi politik di Indonesia.
Melalui partai politik inilah sebenarnya, diharapkan akan terjadinya sirkulasi (pergantian) kekuasaan dan kepemimpinan nasional (presiden dan wakil presiden) secara teratur, tanpa konflik. Melalui partai politik pula, sirkulasi kepemimpinan di tingkat daerah, propinsi, kabupaten dan kota. Seperti gubernur, bupati dan walikota. Semua prosesnya melalui pemilu, yang sudah diatur undang-undang. Termasuk terpilihnya anggota legislatif, yang menjadi wakil rakyat di parlemen.
Persoalannya, di partai-partai politik masih sangat terbatas proses pembangunan kepemimpinan di internal mereka. Dengan tingkat kemampuan pemahaman ideologi (nilai), organisasi partai politik, menejerial, dan pengelolaan gerakan, yang masih belum memadai. Aktivitas partai politik hanya berlangsung, dan ramai, setiap lima tahun sekali, menjelang pemilu.Mereka tidak melakukan pembinaan kadernya secara teratur dan ajek. Mereka juga sangat terbatas dalam melakukan kerja-kerja politik, dan kini partai politik menjadi sebuah oligarki, yang sangat elitis, dan tidak egalitarian. Dan, nyaris kebanyakan partai politik, mirip sebuah perusahaan pribadi. Inilah yang melemahkan partai-partai politik yang ada, di tingkat partisipasi. Dan, akhirnya hanya mengandalkan politik ‘uang’.
Partai-partai politik tidak bekerja untuk rakyat sepanjang tahun dengan program-programnya, sebagai bagian dari affirmasi (penguatan), dan advokasi (pembelaan), serta edukasi (pendidikan) politik. Sehingga rakyat mengalami proses penyadaran, sekaligus meningkatkan kualitas mereka.
Sekarang ini, fungsi partai politik baru sebatas, apa yang disebut, ‘agregasi’ mengumpulkan orang (pendukung), yang kualitasnya sangat berbeda-beda. Mestinya menjadi tujuan setiap partai untuk melakukan pendidikan politik yang sifatnya teratur sepanjang tahun. Pengenalan terhadap nilai-nilai ideologi partai, visi, platform, dan program-program mereka.
Tapi, sekarang ini partai banyak melahirkan kader partai dan pemimpin dadakan, yang tidak jelas asal-usulnya, dan hanya mengandalkan iklan. Artinya, yang lahir nanti kelas pemimpin ‘iklan’. Bukan pemimpin rakyat, dan memiliki otoritas sebagai seorang negawaran dan politisi yang sejati. Karena, hakekatnya mereka tidak pernah melakukan kerja-kerja riil ditengah-tengah masyarakat.
Sebenarnya, di masa depan dengan pendidikan politik yang konsisten, terarah, dan teratur, memungkinkan akan melahirkan kader-kader yang memiliki karakter, sikap politik, memahami tujuan perjuangan partainya, dan memiliki komitment yang kuat untuk melaksanakan misi partainya. Bukan jenis kader ‘bunglon’, yang memiliki segala warna, oportunistik, serta model pragmatis, dan hanya mampu bergantung pada dukungan partai, bukan dukungan rakyat.
Maka, kalau model pemimpin seperti ini yang dominan, dan anggota legislative yang akan dipilih, betapapun Indonesia menyelenggarakan berulangkali pemilu, tidak akan menghasilkan proses tranformasi politik yang memadai, khususnya bagi pembangunan dan perbaikan Indonesia. Karena, rakyat hanya memilih ‘pepesan kosong’.
Tentu, demokrasi model ini, yang untung tak lain adalah para pemilik modal dan para ‘cukong’, dan akhirnya pemimpin yang ada hanyalah menjadi boneka para pemilik modal dan ‘cukong’. Wallahu ‘lam (m)