Hanya berselang beberapa saat, sesudah mundurnya Menkeu Sri Mulyani Indrawati, lahir sebuah nama baru, yang dicurigai menjadi ‘kartel’ politik, yaitu sekretariat gabungan (Setgab), yang menjadi ketuanya Presiden SBY, dan ketua pelaksananya Ketua Umum Golkar Aburizal Bakrie, di rumah SBY di Puri Cikeas.
Persoalan berikutnya sesudah terbentuknya Setgab itu, para pemimpin partai politik, yang berada dalam koalisi dengan pemerintah, ramai-ramai menandatangani sikap,yang menegaskan masalah kasus Bank Century, dianggap selesai. Artinya para pemimpin partai politik, tidak akan melanjutkan kasus Bank Century, sempai ke tingkat tindakan hukum.
Ini sebuah bentuk tindakan yang sangat bertentangan dengan keadilan, serta sebuah pengkhianatan terhadap rakyat. Di mana sebelumnya, partai-partai politik melalaui fraksi-fraksinya di DPR, mereka secara mayoritas dalam paripurna DPR telah mengambil keputusan dengan memilih opsi C, yang menyebutkan adanya fihak-fihak yang bertanggung jawab, dan adanya pelanggaran hukum. Tetapi, sesudah mundurnya Sri Mulyani, para pemimpin partai politik, menandatangani sikap bersama yang tidak akan melanjutkan kasus Bank Century, sampai ke tingkat menyatakan pendapat.
Selain itu, DPR seperti menjilat ludahnya sendiri, yang tiba-tiba menghentikan penyelidikan kasus Bank Century. Karena dalam keputusan paripurna DPR itu, yang dalam rekomdendasinya menyebut secara eksplisit terhadap pihak-pihak yang bertanggung jawab atas kasus Bank Century, seperti Sri Mulyan, Boediono, serta sejumlah pejabat lainnya. Tetapi, para pemimpin partai itu, melalui Setgab bertindak lain, serta menghentikan kasusnya.
Masa depan perpolitikan di Indonesia, akhirnya menjadi hanya ditentukan oleh sejumlah pimpinan partai, yang tergabung dalam Setgab. Keputusan di DPR, tidak lagi, menjadi pencerminan aspirasi rakyat, tetapi hanya menjadi pelaksana dari Setgab, yang menjadi sangat berkuasa. Karena itu, kembali negara ini menjadi sebuah oligarki, di mana segelintir orang yang akan menentukan nasib seluruh kehidupan rakyat.
Tentu, selanjutnya, yang menjadi pertanyaan, partai-partai politik mewakili kepentingan siapa? Apakah benar mereka mewakili kepentingan rakyat? Sebaliknya, apakah mereka hanya mewakili kepentingan mereka sendiri. Tidak lagi memperdulikan aspirasi rakyat. Karena keputusan yang penting, dan bernilai strategis, hanya dibahas dan dibicarakan oleh segelintir orang, yang tergabung dalam Setgab. Mereka menjadai sangat berkuasa, dan dapat memotong sebuah proses politik, yang selama sudah melembaga, adanya lembaga rakyat DPR. Termasuk ksus Bank Century.
DPR tidak lagi dapat menjadi lembaga yang mengabdi kepada kepentingan rakyat, tetapi DPR menjadi alat kepentingan para pemimpin partai. Segala keputusan yang strategis, yang berkaitan dengan nasib rakyat, hanya akan dibahas dan ditentukan oleh Setgab. Kehidupan politik kembali seperti di zaman Orde Baru, di mana oligarki militer, yang didukung sekelompok pemimpin partai politik (Golkar), dan militer telah berhasil menciptakan sebuah proses politik, yang penuh dengan rekayasa, guna melangsungkan kekuasaannya selama lebih tiga puluh tahun.
Dulu, adanya Sekber Golkar (Sekretaris Bersama Golongan Karya), di awal Orde Baru, yang dibentuk militer, yang tujuannya untuk menghadapi dan melawan Komunisme. Organiasi-organisasi massa yang membangun wadah politik dan membentuk sekretariat bersama itu, memang dgunakan oleh militer untuk menghadapi Komunisme, yang dinilai mereka sudah menjadi ancaman negara.
Sekarang, Setgab lahir dari akibat kepentingan penguasa dan sejumlah partai yang menjadi mitra koalisisnya ingin melestarikan kekuasaannya, dan yang i dalam lingkaran kekuasaan, tanpa lagi memperhatikan aspek keadilan dan hukum, yang sesungguhnya saat ini menjadi perhatian rakyat secara luas.
Dengan adanya Setgab itu, juga sekaligus menutup peluang untuk mengusut kasus Bank Century secara hukum, yang sudah menelan uang negara sebanyak Rp 6,7 triliun itu. Harapan akan adanya keadilan dan penegakkan hukum, hanya menjadi ilusi belaka.
Rakyat tak dapat lagi dapat mengharapkan akan terwujudnya sebuah keadilan hukum di Indonesia. Karena yang berperkara itu berkaitan dengan mereka yang mempunyai kekuasaan. Sedangkan para pemimpin partai plitik masih butuh dengan kekuasaan. Mereka mendapatkan ‘kue’ kekuasaan yang dapat mereka nikmati. Sementara rakyat yang menjadi konstituen mereka dibiarkan, tak memperoleh keadilan.Wallahu’alam.