Rakyat Aceh bergerak bebas ke seluruh wilayah. Siang malam. Tanpa batas. Kekerasan berakhir. Semua rakyat Aceh dapat tertawa. Berkumpul dengan sanak famili. Puncaknya, pemimpin Gerakan Aceh Merdeka (GAM), Tengku Mohammad Hasan Tiro, yang bermukim di Swedia, puluhan tahun, Sabtu (11/10), menjejakkan kakinya di bumi Serambi Mekkah.
Tengku Mohammad Hasan Tiro, yang lahir di Pidie,. 25 September 1925, adalah pendiri GAM, dan meninggalkan Aceh, sejak situasi keamanan di Aceh, terus memburuk, sebagai akibat langkah-langkah militer yang dilakukan Jakarta. Pemerintah di Jakarta, memberlakukan status darurat di Aceh, dan menggelar operasi militer, yang dikenal dengan DOM. Hasan Tiro, yang masih keturunan Tengku Cik Ditiro itu, meninggalkan Swedia, sesudah ada kepastian situasi keamanan di Aceh. Tak kurang seratus lima puluh tokoh GAM, yang ikut menyertai penerbangan Tengku Hasan Tiro dari Kualalumpur ke Banda Aceh. Tepat pukul 11.02 Wib, pesawat yang membawa rombongan Hasan Tiro, mendarat di Bandara Sultan Iskandar Muda, Blang Bintang. Dalam rombongan itu, terdapat Gubernur Irwandi Yusuf, Muhammad Nazar, Dr.Zaini Abdullah,dan Muzakkir Manaf.
Hasan Tiro menyampaikan pidatonya di Masjid Baiturrahman Banda Aceh, antara lain : “Saya sangat bahagia, Allah Swt telah memberikan rahmat kepada saya dan masyarakat Aceh untuk bertemu, dan saya dapat menginjakkan kakike bumi Serambi Makkah dalam keadaan sehat walfiat”. Selanjutnya, pidato yang dibacakan Malik Mahmud, salah petinggi GAM, menyerukan tetap menjaga perdamaian di wilayah Aceh. “Masyarakat Aceh, saya serukan untuk memelihara dan menjaga perdamaian yang menyeluruh, dan jangan berusaha menghancurkan yang sudah tercipta”, tambahnya. Lebih jauh, Hasan Tiro menegaskan : “Kebebasan dan perdamaian yang menyeluruh di Aceh adalah bentuk nikmat yang diberikan Allah Swt”.
Konflik di Aceh telah berlangsung dalam kurun yang panjang. Puluhan tahun. Dengan menelan korban jiwa yang tidak sedikit. Kehidupan menjadi mandeg. Ketakutan mencekam di seantero Aceh. Ekonomi rakyat menjadi mati. Sepanjang jalan hanya melihat hilir mudik, pasukan militer yang beroperasi di wilayah itu. Tindakan ini dilakukan Jakarta, hanya dalam rangka menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik (NKRI). Pangkal persoalan yang menjadi tuntutan rakyat Aceh adalah keadilan. Adanya pembagian yang adil atas sumber daya alam (SDA), yang dikelola pusat, yang dijual kepada fihak asing. Sementara itu, rakyat Aceh, tak mendapatkan apa-apa. Aceh wilayah yang cukup kaya raya akan SDA. Tapi, rakyatnya tetap miskin, dan kehidupannya jauh tertinggal, dibanding dengan wilayah lain.
Maka, sejak reformasi yang berlangsung di tahun 1998, terjadinya perubahan politik di Jakarta, dan BJ.Habibie memimpin Jakarta, selanjutnya proses de-militerisasi dilakukan di Aceh. Penarikan pasukan non-organik dari Aceh dilakukan, dan mulai dikurangi pendekatan militer. Bahkan, Presiden BJ.Habibi berkunjung ke Aceh. Tentu, yang paling menonjol, political will (kemauan politik) Jakarta, ketika terbit UU Otonomi Khusus Aceh, yang dikenal, Undang-Undang No.18 Tahun 2001, yang memberikan Otonomi Khusus bagi Provinsi Nangroe Aceh Darussalam, merupakan keputusan politik, yang sangat bijak dan adil. Karena dalam undang-undang itu, secara eksplisit dengan adanya undang-undang itu, pusat Jakarta, memberikan kewenangan yang lebih luas kepada Aceh, termasuk dalam pembagian sumber daya alam. Aspirasi lainnya, pusat Jakarta, mengakomodasi aspirasi rakyat Aceh, yang menginginkan adanya tegaknya syariah Islam di bumi Serambi Makkah itu.
Lebih lanjut, kondisi perdamaian yang terwujud di Aceh adalah usaha-usaha yang keras, dan kemauan baik, dari fihak-fihak yang terlibat konflik, termasuk mereka yang berperan menjadi mediasi dalam konflik di Aceh. Hasan Tiro, Wapres Yusuf Kalla, dan mediator, yang handal, Martti Ahtisaari (71), mantan Presiden Finlandia, merupakan tokoh kunci, yang menghasilkan perdamaian di Aceh. Namun, yang paling penting adalah kedua belah fihak antara GAM dan Jakarta, yang mempunyai keinginan kuat mengakhiri konflik dan kekerasan yang hanya menghancurkan dan tidak memberikan manfaat apa-apa.
Klimaks, perdamaian di Aceh adalah Hasan Tiro pulang ke Banda Aceh. Martti Ahtisaari, mendapatkan hadiah Nobel Perdamaian. Tentu, tak bisa dilupakan, Wapres Yusuf Kalla, yang menjadi tokoh kunci dalam perdamaian di kawasan itu. Perdamaian ylang terjadi di Aceh merupakan modal awal, membangun kembali Aceh, akibat perang yang berkecamuk antara GAM da TNI. Rekonsiliasi antara Aceh dan Jakarta, merupakan satu peristiwa penting dalam menciptakan iklim politik yang stabil di seluruh wilayah Indonesia, dan membangun kembali antara pusat dan daerah.
Perkembangan politik yang paling akhir adalah secara de facto, menunjukkan GAM, yang awal merupakan gerakan militer, berubah menjadi gerakan politik yang efektif. Hal ini, dapat dilihat dari seluruh hasil Pilkada di Aceh. Hampir seluruh Pilkada di Aceh, dimenangi oleh mantan GAM. Mulai dari pemilihan Gubernur Nangroe Aceh, sampai kabupaten dan walikota, mayoritas di menangkan oleh mantan GAM. Sekarang, mantan GAM, membentuk partai lokal, yaitu Partai Aceh. Partai ini merupakan wadah bagi mantan para pengikut GAM, yang tidak mau ikut ke dalam partai-partai politik nasional. Nampaknya, mereka akan berjaya dengan partai lokal.
Pertanyaannya, implikasi dari pemilu 2009 nanti, jika secara de facto, partai lokal yang merupakan wadah politik mantan GAM ini memenangi pemilu secara mutlak, apakah masih ada keinginan, memisahkan diri dari NKRI? Karena, sesungguhnya hasil Pilkada di Aceh, merupakan bentuk referendum yang secara mutlak dimenangkan oleh GAM. Tentu, yang menjadi persoalan, bagaimana Hasan Tiro, dan tokoh-tokoh mudanya, mengapresiasi Jakarta, terutama dengan situasi yang ada sekarang ini? Apakah mereka masih mempunyai respect yang tinggi, dan memiliki komitment yang kuat untuk bersama-sama dengan pusat Jakarta? Atau sebaliknya, mereka masih tetap tidak puas dengan pusat Jakarta?
Dan, yang lebih penting lagi, siapa yang akan memenangkan pemilu 2009 nanti, dan bagaimana pemimpn baru nanti, mensikapi terhadap realitas politik yang ada di Aceh? Jika, pemimin baru nanti, dipegang orang-orang yang paranoid terhadap situasi di Aceh, tak tertutup kemungkinan, pusat Jakarta dapat mengambil opsi mengerahkan pasukan ke Aceh.
Dan, harga yang harus dibayar adalah matinya perdamaian di Aceh, yang sudah diusahakan dengan susah payah.Kita berharap kepada semua fihak, termasuk pemimpin yang akan datang cukup kuat memegang komitmentnya atas perdamaian yang ada di Aceh. Termasuk para tokoh GAM, agar tidak membuat keputusan yang provokatif, dan dapat mendorong pusat Jakarta, masuk perangkap untuk melakukan tindakan kekerasan lagi. Kita semua tidak menginginkan terjadinya kekerasan di bumi Serambi Makkah. Semoga. Wallahu ‘alam.