Seperti main sulap. Banyak orang yang menjadi kagum dan berdecak, ketika melihat permainan sulap. Apalagi, yang main sulap sangat ahli. Pemain sulap yang paling tersohor, David Copperfield, entah tukang sulap atau tukang sihir, tapi banyak yang tertarik, dan kagum.
Sekarang, partai-partai politik melalui iklan di media elektronik dan cetak, tak ubahnya seperti tukang sulap dan tukang sihir, yang ingin mengubah pencitraan tokoh atau partainya dengan iklan. Apakah, partai-partai politik yang sekarang memasang iklan di tv dan media cetak itu, kiranya dapat disamakan dengan tukang sulap atau David Copperfield?
Betapa peranannya media elektronik dan cetak sangat luar biasa, khususnya dalam membentuk opini, dan mempengaruhi pendapat masyarakat. Pesan yang disampaikan media pasti mendapat ‘feed back’ dari publik (masyarakat). Maka, tak heran dalam sistem demokrasi yang sudah mapan, media menjadi pilar yang kelima. Media menjadi sarana yang ikut mempengaruhi dan menjaga eksistensi demokrasi. Media bukan hanya mempengaruhi publik, tapi memiliki jangkauan yang sangat luas terhadap kehiduan publik. Seperti di Indonesia, yang bukan negara continental, dan wilayahnya terbagi-bagi menjadi daerah kepalauan, peranan media massa sangat penting.
Kini, media benar-benar menjadi kebutuhan primer bagi partai politik, khususnya dalam memenangkan ‘the battle ground’ (perang darat), menjelan pemilu untuk mendapatkan dukungan politik dari publik atau pemilih. Media massa menjadi pilihan atau alternative. Pilihannya, bukan lagi kader partai, yang menjadi andalan atau tulang punggung. Pilihannya, bukan lagi militansi kader, dan jaringan partai, tapi media massa yang dianggap bisa menjadi ‘tukang sihir’, dan bisa menjembatani antara partai dengan publik. Maka, partai yang sering tampil di media, entah melalui iklan, atau berita, dinilai berimplikasi akan bertambah seringnya dikenal oleh rakykat pemilih.
Maka, partai-partai politik berlomba menciptakan iklan, yang dapat mencintrakan partai atau tokohnya, yang dapat menarik perhatian rakyat. Ini dianggap pilihan-pilihan politik yang kreatif,yang tujuannya mendapat dukungan yang luas.
Bahkan, bagi partai –partai yang ingin menjadi partai besar, tak segan-segan membuat iklan yang lebih populis, merakyat, dan memposisikan partainya benar-benar sebagai partai pembela rakyat. Iklan seperti ini diparalelkan dengan kondisi rakyat yang sekarang sedang tertimpa krisis. Ada partai yang berjanji memberantas korupsi ‘abis’, dan ini menjadi andalannya. Karena, isu korupsi takpernah selesai, dari zaman ke zaman. Seperti, ibaratnya seorang ‘pahlawan’ yang gagah, berlomba membela bangsanya, yang kini sedang menderita akibat krisis.
Ada partai politik yang membuat iklan dengan menampilkan tokoh-tokoh masa lalu, yang berubah menjadi ‘kontroversi’. Tapi, dianggap tidak soal penampilan iklan itu, yang penting kontroversi itu menjadi konsumsi politik rakyat, dan otomatis itu iklan gratis partai, dan itulah kecerdasan, yang berani, dan menurut partai yang memasang iklan itu adalah sebuah kreatifitas luar biasa. Masih belum cukup dengan iklan, tiba-tiba mengangkat Soeharto menjadi pahlawan dan guru bangsa, dan masih menggagendakan anaknya yaitu Mbak Tutut, yang akan diberi gelar, sebagai ‘the most favourable woman’, yang paling memberi inspirasi bagi bangsanya. Semuanya, yang ingin diraih, tak lain sebuah target politik, yang harus diwujudkan di tahun 2009.
Tentu, yang sangat mengagetkan betapa biaya iklan itu sangatlah mahal, tak terbayangkan bagi rakyat kecil tinggal di kolong jembatan atau kaum ‘gembel’ yang tiap hari belum kebayang dari mana dapat makannya? Sebab,belanja iklan itu, menurut Anggota Dewan Pertimbangan Periklanan Indionesia (PPPI), Subiakto Priosudarsono, menjelaskan belanja iklan seluruh Indonesia, tahun 2008, mencapai Rp. 37 trilyun. (Komas 9 Desember 2008).
Menurut Subiakto diperkirakan biaya iklan politik di seluruh Indonesia tahun 2009, jumlahnya bisa Rp.8 trilyun sampai Rp.10 trilyun. Biaya iklan yang sekarang diperlukan oleh partai politik sangat besar. Semuanya, tujuannya adalah hanya untuk politik pencitraan, yang ingin mendapatkan dukungan dan menggalang simpati rakyat. Partai-partai politik tidak lagi terlalu mementingkan kadernya. Tapi, lebih mengejar iklan di tv dan media cetak, yang dianggap sangat ampuh, dan dapat mengubah citra dan memposisikan partai dan tokohnya di tengah-tengah rakyat. Mirip tukang sulap dan David Copperfield.
Sedangkan uang sebanyak itu dari mana sumbernya? Padahal, itu hanya untuk iklan saja, belum kegiatan politik lainnya, yang harus mereka biayai. Tak, heran partai-partai politik sekarang ini, berusaha menggali sumber dana dengan berbagai cara, yang tujuannya sekadar membiayai politik pencitraan.
Padahal, yang dibutuhkan rakyat bukan iklan, yang tidak pernah rakyat rasakan langsung manfaatnya. Sementara itu, banyak rakyat miskin yang sekarat, tak mampu membiayai hidupnya sehari-hari, akibat krisis yang berkepanjangan, dan sekarang ini menerima dampak krisis global. Justru, ditengah kesengsaraan dan penderitaan rakyat yang tak terperikan itu, partai-partai main ‘sulap’ lewat iklan di media massa, yang tujuannya hanya ingin ‘menipu’ rakyat.
Ironinya, ingin membangun citra, justru hasinyal bukan citra yang baik, tapi citra yang ‘bopeng’, karena tak sedikit kader dan tokoh partai, yang sekarang ini diperiksa oleh KPK. Mestinya, kalau mereka ingin serius dan jujur, dan tujuannya ingin membangun citra, partai-partai itu, mengapa mereka tidak lebih memilih melakukan kerja-kerja politik yang riil, dan yang dapat dirasakan langsung oleh rakyat? Bukan, hanya melalui politik pencintraan dengan memborong iklan di tv dan media cetak, sementara kerja-kerja politik mereka ‘nol’, dan tak nampak di dalam kehidupan masyarakat.
Tak heran di Indonesia sekarang ini, banyak tukang sulap, model politisi mirip David Capperfiel, yang ingin menyulap dirinya dengan iklan, tanpa mau bekerja keras. Apa yang dapat diharapkan model politisi seperti itu?