Presiden SBY membatalkan pendeklarasian cawapres yang akan mendampinginya dalam pilpres Juli nanti, yang rencananya akan dilaksanakan di kota Bandung, Senin ini. Pembatalan itu dilakukannya, usai Presiden SBY melakukan pertemuan dengan jajajaran pimpinan Partai Demokrat. Presiden SBY sebagai lokomotif, sudah berhasil menarik ‘gerbong’ yang panjang melalui ‘koalisi’, seperti dengan Partai PKS, PAN, PPP dan PKB.
Gabungan ‘koalisi’ Demokrat (148 kursi), PKS (59 kursi), Pan (42 kursi), PPP (39 kursi) dan PKB (26 kursi), jumlahnya sudah 314 kursi, setara dengan 56%. Artinya, posisi Presiden SBY, kalau terpilih pada pilpres Juli nanti, posisinya di parlemen akan mendapat dukungan yang kuat. Presiden SBY dapat menjalankan pemerintahannya dengan stabil, dan dapat mengambil keputusan secara efektif, karena besarnya dukungan di parlemen. Tapi, mengapa Presiden SBY masih ragu dan menunda pengumuman atau pendeklarasian cawapres, yang menurut rencana semula, di hari Senin ini?
Nampaknya, SBY masih ingin menarik ‘gerbong’ baru, yaitu PDIP, masuk ke dalam koalisi, yang sekarang sudah ada. Presiden SBY mempunyai obsesi di pilpres nanti, hanya ada dua kekuatan politik, yang akan bertarung, yaitu Presiden SBY yang didukung PDIP, dan partai-partai Islam dan berbasis Islam, seperti PKS, PAN, PPP, dan PKB, yang berhadapan dengan pasangan Jusuf Kalla dan Jendral Wiranto, yang didukung Golkar dan Hanura, serta partai-partai kecil lainnya. Pilpres Juli nanti polarisasinya kemungkinan hanya antara Blok SBY dengan JK.
Presiden SBY dengan menggunakan seorang kepercayaannya, Mensesneg Hatta Rajasa, yang dikenal sebagai ‘lobbyist’ dan ‘play maker’ politik yang ulung, dimainkan untuk mendekati PDIP, melalui Mega dan Taufik Kemas, kemungkinannya PDIP akan ditarik menjadi ‘gerbong’ panjang. PDIP sendiri, terutama dengan keputusan Munasnya, serta deklarasinya, yang mencalonkan Mega, sebagai Capres, nampaknya tak bakal terwujud. Pasalnya, Suara PDIP hanya (93 kursi) di perlemen atau setara 14.5%, dibawah Golkar. Sementara itu, ketika ada usaha menggandeng Letjen Prabowo Subianto dari Gerindra, partai ini memasang ‘call’ sangat tinggi, dan ingin memposisikan dirinya sebagai ‘capres’, dan menolak untuk menjadi wakilnya Mega. Maka, sampai disini jalan itu menjadi buntu.
Disinilah, peran yang dilakukan Hatta Rajasa, yang menjadi kepercayaan Presiden SBY mendapatkan ‘gayung’ bersambut, dan Taufik Kemas, yang menjadi suami Mega, akhirnya menjadi realistik, melihat posisi politik PDIP, yang tidak mungkin dipaksakan naik keatas, dan Mega secara perlahan-lahan akan berakhir karir politiknya, dan bersamaan dengan sikap PDIP, yang akan memutuskan tidak ikut pilpres, dan bergabung dengan Demokrat dan mendukung SBY. Dan, mungkin hubungan Taufik Kemas dan Hatta Rajasa, yang sama-sama ‘Wong kito galo’ (Palembang) akan mencapai puncak ‘emosionalnya’, kalau keduanya berhasil membawa gerbong PDIP menjadi bagian dari lokomotifnya SBY. Begitulah politik. Tentu, yang ada hanya kepentingan. Siapa mendapatkan apa. Sebuah rumor,yang bererdar, konon, PDIP akan dibarter dengan 7 portofolio (menteri) dalam kabinet Presiden SBY mendatang (kalau terpilih), dan Tuafik akan didukung menjadi Ketua MPR.
Presiden SBY sebagai lokomotif akan menarik gerbong panjang, yang terdfiri dari Partai PKS, PAN, PPP, PKB dan PDIP. Inilah sebuah episode politik baru di Indonesia. Lima tahun kedepan. Apakah semuanya akan seperti skenario yang diinginkan oleh sang ‘sutradara’ yang sekarang sedang memainkan ‘wayang’ sesuai dengan lakon yang diinginkannya?
Tinggal, persoalannya, siapa yang menjadi ‘second layer’ atau orang kedua mendampingi SBY? Hatta atau Budiono? Menurut sebuah sumber di PDIP, kalangan elit partai berlambang ‘Banteng’ itu menginginkan yang menjadi cawapresnya SBY bukan Hatta, tapi Budiono, yang ekonom, karena ketika Mega menjadi presiden ia menjadi menteri keuangan, dan dinilai sukses mengatasi krisis ekonomi. Jadi, segalanya tidak ada yang berubah secara mendasar, ketika melihat kehidupan politik di Indonesia, saat ini dan masa mendatang.
Tentu yang tetap menarik dan tak pernah berubah, berkaitan kearah mana kebijakan ekonomi dan politik di Indonesia ini di masa mendatang? Dapat dipastikan nanti, yang akan mengendalikan ekonomi Indonesia, mereka yang mempunyai hubungan atau lobby dengan Washington, dan kebijakannya tetap mengacu pada ekonomi liberal, yang pro-pasar, dan tidak berpihak kepada ekonomi rakyat, dan sektor riil. Serta semakin kuat pengaruhnya Barat melakukan penetrasi ke dalam kepentingan nasional Indonesia.
Lengkap sudah. Partai-partai Islam dan berbasis massa Islam (PKS, PAN, PPP, dan PKB) bergabung dan menjadi komplementer bagi partai-partai sekuler, seperti Demokrat dan PDIP, masuk dalam barisan gerbong panjang, dan akan ditarik oleh lokomotif, yang menjadi masinisnya Presiden SBY untuk mendukung kepentingan Barat di Indonesia. Wallahu’alam.