Lemahnya Ikatan Berdasar Kepentingan

Klimaks keputusan DPR terkait dengan bail out (dana talangan) kepada Bank Century, hanya menunjukkan sebuah ikatan yang diikat hanya berdasarkan ikatan kepentingan, tak dapat bertahan lama. Betapa rapuhnya ikatan yang berdasarkan kepentingan. Apalagi kepentingan itu, hanyalah bersifat duniawi, seperti harta, jabatan, dan kekuasaan.

Pameo yang sering diucapkan para politisi dari partai-partai politik, sekarang ini menemukan bantuknya yang asli. “Tak ada teman yang abadi, dan yang ada hanya kepentingan yang bersifat abadi”. Tak aneh bila partai-partai politik yang ada, dan dahulunya bisa ‘manggut-manggut’, dan terkadang ‘munduk-munduk’, tiba-tiba berubah menendang dan meninggalkan, yang dahulunya menjadi patronnya (majikannya) dan dihormati.

“Tak ada teman yang abadi, dan yang ada hanya kepentingan yang bersifat abadi”, sekarang telah menampakkan makna yang sesungguhnya, dan tanpa basa-basi. Karena, ikatan yang hanya berdasarkan kepentingan itu, tak ada yang sifatnya mutlak, dan tidak akan berlangsung permanen atau menjadi langgeng. Hakikatnya, sifat manusia itu, semuanya mudah berubah, sesuai dengan perkembangan dan dialektika yang terjadi.

Sama halnya ikatan yang ada, khususnya antara Presiden SBY dengan partai-partai politik yang menjadi pendukungnya, dan tergabung dalam koalisi, yang kini menjadi berubah. Dinamika dan dialektika antara Presiden SBY dengan para pemimpin partai, pasti akan terus berubah-ubah. Tidak ada pihak-pihak yang dapat menjamin adanya hubungan antara kedua belah pihak itu tetap langgeng.

Partai-partai politik yang menjadi pendukung Presiden SBY dalam koalisi itu, sejatinya apakah mereka telah terpuaskan dengan adanya pembagian kekuasaan (sharing power) itu? Presiden SBY telah membagi sejumlah fortopolio (jabatan) dalam Kabinet Indonesia Bersatu II, dan hampir semua partai politik yang mendukung pemerntahan telah berada di dalam pemerintahan.

Tetapi, partai-partai politik, tetap belum terpuaskan dengan posisi—posisi yang ada sekarang ini, yang mereka tetap tidak dapat menerima. Momentum kasus Bank Century ini, tidak semata-mata terkait dengan pandangan yang berdasarkan nilai-nilai (agama) dan moralitas, di mana ada perintah untuk menegakkan ‘amar ma’ruf nahi munkar’, tetapi masih ada yang sangat terkait dengan pembagian kekuasaan itu sendiri.

Mengapa dahulu kasus yang lebih besar, yaitu BLBI, dan menghabiskan dana Rp 650 triliun, tetapi gagal diangkat oleh Pansus DPR? Kemudian, Pansus yang berkaitan dengan BLBI itu, bubar, tak ada kabar beritanya. Implikasi dana talangan dalam bentuk BLBI itu, i jauh lebih dahsyat, dibandingkan dengan Bank Century, yang manghabiskan dana Rp 6,7 triliun.

Faktanya, hanya dalam waktu 100 Hari pemerintahan Presiden SBY sudah terhempas oleh badai Bank Century, yang pasti akan memaksa kembali Presiden SBY memformat ulang pemerintahannya, dan pasti tidak akan bersikap konservatif mempertahankan format kekuasaannya yang ada sekarang.

Kondisi ini sangat tergantung, bagaimana sikap partai-partai politik yang ada sekarang ini, dan apakah cukup dengan langkah-langkah Presiden SBY memformat ulang pemerintahan, seperti mengganti Menkeu Sri Mulyani dan Wapres Boediono, dan digantikan calon-calon dari wakil-wakil partai politik, sehingga akan dapat memuaskan para pimpinan partai?

Kedepan tarikan kepentingan akan semakin keras. Antara kepentingan Istana dengan para pemimpin partai-partai politik, yang semakin menghendaki ‘share’ (bagian) yang lebih besar. Karena, hakekatnya secara philosofis, tujuan dari partai-partai politik, tak lain adalah berkuasa.

Partai Golkar, yang sudah mulai ‘udzur’, karena umurnya yang sudah tua, tetapi Golkar tetap mempunyai pengaruh yang kuat. Karena, kader-kader Golkar sudah diaspora, ke berbagai lembaga dan partai, yang masih lekat dengan ideologinya, dan bersifat pragmatis, serta pengaruhnya tetap terasa.

Karena itu, ketika Golkar meneriakkan perlawanannya terhadap ‘bail out’, seperti komando, yang kemudian ‘diamini’ oleh partai-partai lainnya, termasuk partai yang selama ini sangat fanatik dan konservatif mendukung Presiden SBY. Ini hanyalah menggambarkan posisi tawar Partai Golkar masih cukup kuat.

Almarhum Abdurrahman Wahid, terkena getahnya, ketika ia berkuasa, dan berusaha membubarkan Golkar, dan memarjinalkan tentara. Dengan menggunakan kasus ‘Bulog gate’ dan ‘Brunei gate’, dan diawali dengan gerakan massa, akhirnya Gus Dur yang banyak didukung LSM dan keluarga Nahdhiyin, tersungkur dari kekuasaannya. Padahal, di tahun 2000, ketika itu, cucu  Hasyim Asy’ari itu, naik ke puncak kekuasaan di dukung partai-partai politik, yang didukung ‘Porong Tengah, minus PDIP, tetapi kemudian Golkar dan Partai-Partai Islam yang tergabung dalam ‘Poros Tengah, bergabung bersama dengan PDIP, dan menggulingkan  Presiden Abdurrhman Wahid dari kekuasaan.

Semua itu, hanyalah menggambarkan betapa, ikatan yang hanya berlandaskan pada kepentingan itu, tak ada yang bersifat kekal. Hari ini menjadi teman, besok atau lusa menjadi musuh. “Tak ada teman yang abadi, yang ada hanya kepentingan yang abadi”. Wallahu ‘alam.