Jumat, 4 November 2016, adzan isya belum lama berkumandang, detik demi detik hingga ke menit, tak sampai hitungan jam, sebuah cahaya merah kekuningan melesat cepat, disusul bunyi menggelegar sepersekian detik kemudian, dari arah aparat kepolisian, menuju kerumunan massa. Suara menggelegar kemudian bersahut-sahutan, mengiring lesatan bola api yang bersusulan menuju kerumunan. Banyak yang terarah pada mobil komando, tempat para alim ulama dan para habaib berdiri dengan tegak. Asap segera memenuhi udara. Asap yang sangat menyakitkan mata, menyesakkan hidung dan perih, serta membuat sesak bernafas.
“Allahu Akbaar! Allaaahu Akbaar! Jangan mundur! Jangan Melawan! Diam di tempat! Tetaplah duduk! Kita bersiap syahid di sini!” demikian Habib Rizieq berseru lantang, tetap berdiri tegak, tanpa ada rasa gentar sedikit pun.
Bom-bom airmata meledak di sekitar ulama dan habaib. Anehnya, orang-orang shalih berilmu tinggi itu sama sekali tidak menunjukkan rasa takut. Wajah-wajah mereka tetap tenang, walau mata mereka mulai memerah dan pasti sakit dan nyeri luar biasa. Hanya mereka yang memiliki keimanan tingkat tinggi yang dapat melihat semua itu bagaikan gerbangnya surga yang indah.
Di bawah mobil komando, kerumunan bergerak liar, panik.
Tanpa menghiraukan seruan para ulama dan habaib, massa bergerak mundur ke segala arah. Kocar-kacir. Meninggalkan para ulama dan habaib yang masih berdiri tegak di atas mobil komando.
Episode Perang Uhud seakan kembali terulang. Ketika mush mulai mendesak menyerang, Rasulullah tetap bertahan dan menyerukan pasukannya juga bertahan. Namun sejarah mencatat, pasukan Rasulullah kala itu kocar-kacir, mundur, meninggalkan Rasulullah yang akhirnya menderita luka.
Episode Perang Uhud, ketika umat meninggalkan panglimanya karena takut, terulang kemarin. Para habaib dan ulama pun bertumbangan, dan dilarikan ke rumah sakit. Untunglah, nyawa mereka masih melekat di raga, walau tekad syahid sudah tertanam kuat dan siap di dalam dada.
Apa hikmah dari ini semua?
Kita, dan saudara-saudara kita, ternyata masih harus berlatih dan berlatih lebih keras dan kuat. Kita mungkin sudah lama terlena kenikmatan hidup dunia. Kita mungkin sudah terlena dengan segala fasilitas dan kenyamanan kehidupan yang fana ini. Kita terbuai. Hingga kita lupa jika semua Muslim adalah lelaki, Asadullah, Singa Allah Swt. Kita lupa jika kita adalah Zulfiqar, pedangnya Rasul SAW.
Wahai saudara-saudaraku, kita lupa dan lalai. Selama ini kita meninggalkan satu tonggak tarbiyah dalam kehidupan kita: Tarbiyah Askariyah. Kita telah simpan buku hebat karya Asy-Syahid Dr. Abdullah Azzam tentang bagaimana kita melatih jiwa dan raga agar selalu siap saat musuh-musuh Allah Swt menyerang ketauhidan kita. Kita sudah lupa dimana kita menaruh buku “Tarbiyah Askariyah” yang tiga jilid itu.
Kita selama ini tidur di ranjang yang empuk, beda dengan Kahlifah Umar ra. Kita selama ini memenuhi rongga-rongga lambung dengan makanan nan nikmat, beda dengan Rasulullah dan para shahabat. Kita lupa berjalan berkilo-kilo jauhnya dan lebih menikmati kemacetan ibukota dengan duduk berleha-leha sambil memainkan candy-crush atau melihat-lihat gambar di instagram yang sama sekali tidak membawa manfaat. Kita lupa semua pelajaran berharga dari Bumi Jihad Afghan, dari Bumi Jihad Bosnia, bahkan dari Bumi Jihad Maluku yang sudah hilang dari benak banyak saudara-saudara kita.
Saudaraku, mari kita kembali.
Mari kita kembali menjadi lelaki. (ts)