Kita segera meninggalkan Ramadhan. Dengan masing-masing amalan ibadah yang sudah kita lakukan. Mungkin kita benar-benar menjadi orang-orang yang masuk kategori orang muttaqin. Karena selama Ramadhan kita melaksanakan ibadah dengan penuh ikhlas dan kesungguhan serta kesabaran.
Mungkin kita menghabiskan selama waktu Ramadhan hanya mendapatkan lapar dan dahaga. Tanpa mendapatkan predikat sebagai muttaqin. Karena kita tidak dapat memahami esensi Ramadhan. Sehingga, selama Ramadhan menjadi sesuatu yang sia-sia dalam hidup kita.
Tentu bagi yang melaksanakan ibadah shaum (puasa) di bulan Ramadhan dengan penuh keikhlasan, sungguh-sungguh, dan shabar, maka akan segera mendapatkan maghfirah (ampunan), dan dijauhkan dari api neraka (itqun minannar), dan sampai digambarkan menjadi manusia yang benar-benar bersih, seperti bayi yang baru lahir atau dalam keadaan fithri (bersih). Kemudian, melaksanakan shalat Idul Fitri, seraya mengagungkan dan memuliakan Allah Azza Wa Jalla. Sebagai hari kemenangan. Kemenangan terhadap setan dan hawa nafsu.
Kemudian, kita akan memasuki bulan Syawal, dan memulai kehidupan lagi, dan menghadapi rutinitas. Kita akan menghadapi kehidupan sehari-hari. Kita akan berinteraksi (bermuamalah) dengan kehidupan sehari-hari. Di kantor-kantor. Di pasar-pasar. Di pabrik-pabrik. Di pusat-pusat kegiatan. Semuanya akan mempengaruhi kehidupan kita. Kita akan berinteraksi dengan seluruh jenis pekerjaan. Kita akan berinterakasi dengan segala jenis kegiatan. Kita berinteraksi dengan segala jenis karakter manusia.
Inilah yang akan menentukan kehidupan kita selama sebelas bulan ke depan. Apakah kita akan masih tetap dapat mempertahankan jati diri kita sebagai orang-orang yang mendapat kategori muttaqin? Dengan tetap tekun beribadah, berdzikir, mengingat Allah Azza Wa Jalla. Membaca, mentadaburi, dan mengamalkan isi Al-Qur’anul Karim dengan terus-menerus di dalam kehidupan sehari-hari? Atau kita lupa. Lupa beribadah, lupa berdzikir, lupa mengingat Allah Azza Wa Jalla, dan tidak lagi menyentuh Al-Qur’anul Karim?
Ramadhan tidak ada lagi atsarnya (bekasnya). Jejak Ramadhan yang pernah ada di dalam diri kita, sirna bersamaan datangnya bulan Syawal. Kita bergumul dengan kehidupan yang tanpa ruh Islam, dan terus berbuat dosa, maksiat, berbuat durhaka, melakukan perbuatan faqisah (dosa besar), dan bahkan melalaikan Allah Rabbul Alamin, serta melakukan perbuatan syirik kepada Rabb?
Maka, semuanya nanti akan nampak dalam fenomena kehidupan, khususnya dalam kehidupan sehari-hari. Ukurannya, bagaimana arus yang kuat dalam kehidupan mayoritas umat atau masyarakat sehari-hari.
Adakah arus yang kuat itu kecenderungan orang berbuat baik, yang menjadi tanda (ciri) orang-orang mukmin, yaitu selalu berbuat baik, dan meninggalkan keburukan dan kejahatan yang dilarang, serta melakukan nahi mungkar (melarang kemungkaran)? Jika arus ini yang kuat di dalam kehidupan umat dan masyarakat, berarti ibadah selama bulan Ramadhan itu, termasuk sukses mendidik dan mengubah karakter kehidupan kita. Sehingga, mempunyai atsar (bekas) di dalam kehidupan sehari-hari. Tidak punah tergerus oleh berbagai kehidupan jahiliyah.
Sebaliknya bila yang menjadi fenomena umum, yang dominan dan menjadi arus utama dalam kehidupan umat dan masyarakat, adalah keburukan, perbuatan yang syai’at, merajalelanya faqisah (dosa besar), serta banyak kedurhakaan kepada Allah Azza Wa Jalla, berarti Ramadhan yang baru kita lalui, tidak mempunyai nilai apa-apa dalam kehidupan kita. Ibadah Ramadhan hanya menjadi sebuah rutinitas dan ritual, yang tidak mempunyai relasi sama sekali dengan kehidupan.
Kemudian, fenomenanya semakin banyak orang yang tamak, tidak shabar, tidak mampu mengendalikan hawa nafsu, berlebihan dalam segala hal, menghalalkan yang diharamkan oleh Allah Rabbul Alamin, hilangnya rasa malu, dan berbuat sewenang-wenang. Tanpa batas. Inilah kegagalan yang nyata.
Setiap tahun dan setiap Ramadhan, seharusnya semakin banyak orang yang muttaqin, jumlahnya semakin banyak, mengikuti deret ukur, dan menjadi sebuah entitas yang baru. Dengan hidup lebih bersih, lebih shalih, lebih shabar berpegang dengan syari’ah Allah. Berbanding lurus dengan semakin sedikitnya jumlah orang yang durhaka, berbuat dosa dan maksiat serta melakukan faqisah. Melahirkan umat yang wahidah, yang satu, satu millah, satu aqidah, satu ghoyah (tujuan), yaitu menjadikan Allah Rabbul Alamin sebagai satu-satunya tujuan hidup. Tidak ada yang lain.
Kita akan menghadapi ujian kembali dalam sebelas bulan ke depan. Mungkin kita tergolong yang selamat dengan iman dan amalan kita, serta tetap istiqomah di jalan Allah Rabbul Alamin, dan mungkin kita termasuk orang yang gagal, dan mengikuti jalan thogut (setan), dan melanggar semua larangan Allah Azza Wa Jalla, dan menolak semua larangan-Nya.
Kita sedang diuji dalam kehidupan kita, sehari-hari, dan ujian itulah yang akan menentukan nasib kita nanti. Apakah kita termasuk orang yang sukses atau orang yang gagal dalam kehidupan. Wallahu’alam.